Perempuan, Tragedi, dan Air Mata

Astuti Parengkuh
Chapter #19

EPILOG

Tahun duaribuan, di kampungku berdiri masjid yang ada sejak sepuluh tahun sebelumnya. Masjid itu letaknya berjejer persis dengan gereja. Sama-sama dibangun di tahun yang tidak berbeda. Masjid dan gereja didirikan di atas tanah milik negara yang dahulu adalah tanah pekuburan yang sekelilingnya ditumbuhi oleh pohon trembesi. Pohon trembesi yang tingginya menjulang serta berbatang melebar, terkadang lebarnya lebih dari sepelukan orang dewasa, ditandai dengan akar yang menonjol keluar. Akar-akar ini biasa untuk tempat duduk saat anak-anak santai di sore hari. Ketika zaman telah berubah, tanah milik negara berganti menjadi milik warga setelah dibeli dengan bantuan pengurusan oleh pegawai kelurahan. Jadilah tanah pekuburan menjadi rumah-rumah bata dan masjid serta gereja.

 Ada kegiatan rutin yang diselenggarakan di masjid, selain pengajian khusus para ibu juga pengajian khusus para jamaah laki-laki. Selain itu juga ada kegiatan belajar membaca quran bagi anak-anak yang diampu oleh para jamaah baik laki-laki maupun perempuan. Kegiataan dilakukan di aula, yang terletak di depan masjid dan memiliki dua lantai. Masjidnya hanya memiliki satu lantai. Bangku-bangku dari kayu berjajar di aula dan selepas Shalat Ashar akan diisi oleh anak-anak berbagai umur, dari taman kanak-kanak hingga bangku sekolah menengah pertama.

 Aku mengenal salah seorang perempuan yang menjadi pengajar mengaji quran tersebut. Ia perempuan yang tinggal sendirian di rumah kontrakan tak jauh dari masjid, masih di area kampungku.

 Ia perempuan yang meski sudah lepas dari stigma puluhan tahun lalu, tetapi masih saja dianggap ganjil oleh sebagian kecil tetangga. Ya, ia memang berbeda tampilan dan cara berbicara dengan yang lainnya. Tetapi kecakapannya mengajar membaca quran tidak perlu diragukan. Generasi yang di ajarnya mengaji tidak tahu latar belakang hidupnya dan mereka juga tidak ingin tahu. Yang anak-anak butuhkan adalah guru yang mengajarinya membaca quran dan itu ada pada diri Siti. Ya, Siti kutemui pada suatu sore yang berwarna jingga ketika aku menjemput anak sulungku dari belajar mengaji di aula masjid. Siti menjadi salah seorang guru mengaji dan ia sangat disukai oleh anak-anak termasuk anak sulungku.

"Rose..., " sapa Siti yang kubalas dengan lambaian tangan. Ia lebih tua dariku. Mungkin terpaut sepuluh atau lima belas tahun.

 Dari para tetangga kudengar kabar, selain mengajar membaca quran, untuk penghidupan sehari-hari, Siti berjualan makanan keliling. Sesekali ia juga membawa dagangan berupa baju muslim atau perlengkapan shalat. Sesekali pula ia lewat di gang depan rumah dan menawariku dagangan setelah aku menyampaikan pesan kepada kawannya yang juga temanku. "Minta tolong, suruh Siti lewat dong di depan rumah, supaya aku tahu dia berjualan apa dan aku ingin beli dagangannya, "pesanku pada teman Siti suatu hari.

 Setelah peristiwa "petrus"yang mengorbankan suaminya, Siti sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Namun tak lama kemudian ia kembali hidup di masyarakat seperti semula. Mereka menerima dia apa adanya.

 ***

 Kedatanganku ke kantor komisi nasional untuk sebuah acara diskusi dan pelatihan beberapa hari ini karena undangan atas nama komunitas. Aku datang berdua bersama seorang kawan seniman lukis. Kami difasilitasi naik pesawat dan menginap di hotel. Peserta sebagian besar adalah korban Tragedi Mei 98 atau keluarga korban, atau saksi maupun pendokumentasi. "Rose, boleh aku bercerita tentang almarhum anakku?" kata teman sekamarku.

 Ia seorang perempuan yang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Wajahnya menyimpan kesedihan yang amat dalam. Garis-garis keriput di wajahnya adalah hitungan tahun di mana penantian yang tiada lelah akan permintaan maaf yang dilakukan oleh negara atas peristiwa tragedi yang turut membakar anaknya hidup-hidup. Ia tinggal di sebuah kampung di tengah-tengah belantara Jakarta. "Aku bekerja sebagai tukang masak, Rose. Kerjaku panggilan. Entah siapa yang punya gawe atau punya kerja, boleh siapa pun panggil saya. Maka aku akan datang untuk beberapa hari bekerja, " katanya kepadaku.

 Ia bercerita dengan lancar. Sore itu Jakarta tengah membara dan si Ibu hatinya gundah-gulana karena anak laki-lakinya yang sebenarnya sudah pulang sekolah lantas telah berganti kostum dan pamit mau jalan-jalan ke rumah teman serta melihat suasana di luar. Jakarta sedang penuh dengan uap panas, mana ada ibu yang tega mengizinkan anaknya keluar rumah. Pasti sangat berisiko. Tetapi sang anak yang sudah remaja, dengan tekad dan rasa ingin tahu besar serta memiliki jiwa petualang, tidak mengindahkan kata-kata ibunya.

 Atas inisiatif sendiri setelah malam sang anak belum juga pulang, didorong dengan nuraninya yang kuat, mengantar kaki si ibu melangkah ke sebuah mall yang saat itu masih membara di bagian tertentu namun di bagian yang lain menyisakan tempat untuk dia terobos. Tak dihiraukannya udara panas dan suasana mencekam karena ia memiliki perasaan kuat bahwa anaknya terakhir kalinya ada di mall besar itu. Pamitnya anak itu, ingin jalan-jalan melihat suasana kota yang saat itu mencekam. Sesudah menyusuri lorong yang gelap, ia tak menemukan tanda-tanda si anak masih hidup. Sebab semuanya adalah hitam dan hangus adanya.

 Ia kemudian pulang ke rumah dan mengabari sang suami untuk menemani dan menyusuri lagi mall yang terbakar itu. Ia yakin dan intuisinya seakan tepat jika anaknya malah berada di sana. Sang suami lantas cekatan digandeng tangannya dan mereka berdua kembali masuk ke mall yang masih penuh asap dan masih menyisakan udara panas.

 Tak hanya di mall yang terbukti memiliki korban paling banyak. Sang suami kemudian menyusuri setiap rumah sakit untuk melihat mayat-mayat yang dikeluarkan dari toko-toko dan rumah bertingkat kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong jenazah dan diangkut ke rumah sakit.

 Lebih dari lima rumah sakit telah ditelusuri sampai kemudian di rumah sakit yang terakhir, entah karena naluri orangtua yang sangat kuat. Entah karena jasad sang anak juga ingin diketemukan oleh orangtuanya, oleh karena sebuah tanda, sepotong kain yang mencuat dia antara jasad-jasad yang sudah gosong, dan kain bermotif kotak itu tidak ikut terbakar, sebagai tanda jika itukah jasad yang sudah berhari-hari mereka cari.

 "Anakku ingin dikubur oleh kami, Rose, " kata si Ibu tanpa air mata. Rupanya tangisnya sudah mengering lama. Kesedihannya sementara telah lenyap, meski harapan selalu menyala. Asa yang sama dengan sesama korban pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya, lebih-lebih tatkala mereka berkumpul dalam suasana nostalgia dan bertajuk reuni serta diskusi untuk menentukan langkah-langkah ke depan.

 "Ibu masih sedih hari ini, masih teringat anakmu terus? " tanyaku kepadanya. "Yang kuingat adalah kali terakhir dia pergi memakai kemeja kotak-kotak itu, Rose, " jawab perempuan itu.

 Sementara di dalam sebuah kelompok diskusi keesokan harinya, aku dan kawan sekotaku bercerita tentang hal-hal yang telah kami lakukan tentang upaya untuk membuat memorialisasi Tragedi Mei 98.

 Bagaimana dulu beberapa tahun sebelumnya komisi datang ke kota, mengadakan asesmen lantas juga melakukan napak tilas. Beberapa aktivis perempuan bertemu dengan anak-anak sekolah dan memberi perspektif kepada mereka agar melek sejarah dan supaya sejarah tidak terulang lagi. Kami juga bertemu walikota dan mengupayakan adanya monumen untuk kuburan massal. Juga berupaya ada petunjuk jalan atau tapak tilas sejarah setidaknya berbentuk . seperti maket, yang dipajang di balaikota sehingga semua masyarakat dan publik tahu bahwa ada peristiwa besar terjadi di kota ini.

 Lantas ada pula diskusi dan paparan dari para kepala dinas di antaranya kepala rumah sakit, dinas kesehatan, dinas pertamanan yang mengurus tentang makam, yang bertanggung jawab saat terjadi tragedi di masa itu, berapa mayat yang ditemukan, berapa mayat yang dikubur massal. Apakah ada catatan autopsi. Semua untuk upaya adanya memorialisasi.

 Aku pun bertemu istri aktivis yang dihilangkan dan tak diketemukan hingga kini. Perempuan tangguh, dibuktikan dengan nada bicaranya yang tegas. Perempuan yang setia menunggu sang suami pulang dan yang sudah dipanggil oleh tentara berulang-ulang. Ia menghidupi kedua anaknya dengan bekerja menjahit. "Semua penduduk di sini, yang dulu belum memiliki tanah secara legal, kami yang bantu supaya legal, " katanya ketika itu sambil tangannya mengarah ke suatu tempat. Perempuan yang kala memberi sambutan di kantor walikota, bicaranya dengan nada seperti kebingungan, kelelahan secara mental.

Lihat selengkapnya