“Kamu nggak mau nambah lagi, Dit?” tanya Bu Vira, ibunya Endaru, seraya menunjuk makanan yang terhidang di meja. Aku mengucap terima kasih sebagai tanda penolakan. “Masakan ibu memang kalah enak dengan masakan di restoran, Dit. Tapi ini beneran dimasak setulus hati buat calon mantu ibu, lho.”
Endaru menyepak kakiku perlahan. Alisnya terangkat dan matanya memberi isyarat agar aku mengambil makanan lagi. Melihatku diam saja, dia berdeham. Aku tahu maksudnya. Masalahnya aku sedang tidak ingin makan banyak malam ini.
Aku menghela napas. “Maaf, Bu. Bukan masakan Ibu tidak enak. Dita hanya sedang kurang enak badan saja. Kerjaan di kantor hari ini agak banyak.” Aku melirik Daru. “Akhir pekan besok pun harus lembur. Jadi, agak capek dan kurang selera makan saja, Bu.”
“Justru itu. Kalau kamu lagi nggak enak badan, mestinya dilawan dengan makan. Makan yang banyak. Lagian Daru kan nggak masalah dengan berat badanmu itu,” kata Bu Vira. Sejenak Bu Vira memandangiku seolah tubuhku telah mengembang dan menjijikkan.
“Iya, Bu. Dita tahu,” kataku.
“Nah, itu tahu. Sinikan piringmu itu,” kata Bu Vira seraya mengulurkan tangan ke arahku. Melihatku diam saja, perempuan itu berdecak. Dia meletakkan sendok hingga terdengar suara berdenting. “Ya udah kalau nggak mau. Mungkin kamu mau diet, meski itu nggak perlu. Mungkin juga calon mantu ibu ini maunya sakit dan diperhatikan Daru. Inget lho, Ru. Nanti kalau kalian menikah, nggak bisa kayak gini terus. Banyak kerjaan terus jadi alasan nggak mau makan. Nggak enak badan terus maunya makan enak di restoran. Repot betul nanti urusannya.”
Aku meraih gelas dan menandaskan isinya. Suasana makan malam semacam ini sudah beberapa kali terjadi. Sejak Daru pindah tugas, kami memang sering bertemu. Daru juga sering memintaku datang ke rumahnya. Makan bersama keluarga Daru pun tak terelakkan.
Sejujurnya, aku lebih suka Daru bekerja di Kota S. Kami berpacaran setelah sama-sama menyelesaikan sidang skripsi tiga tahun lalu. Daru langsung diterima bekerja di Kota S meski belum diwisuda. Tak lama, aku mendapat pekerjaan di kota kami.
Hubungan jarak jauh mungkin melelahkan bagi beberapa pasangan. Namun, sekarang aku menyadari, berada di kota yang sama dengan Daru jauh lebih melelahkan. Entah mengapa dia ingin kami bertemu lebih intens. Katanya, itu untuk menebus kebersamaan yang tak kami rasakan selama tiga tahun.
Masalahnya, aku tidak sependapat. Meski demikian, aku mencoba memaklumi. Selebihnya aku memang tidak bisa menolak ajakan bertemu itu. Sejujurnya, semua pertemuan dengan Daru membuatku kehilangan waktu untuk diri sendiri.
Belum lagi desakan dari keluarga kami untuk lekas menikah karena mereka berpikir kami telah cukup siap dan mampu. Usia menjelang 35 tahun, lamanya pacaran dan sudah bekerja menjadi indikator hal itu. Sementara saat ini, aku malah merasa tidak siap dan jauh dari mampu untuk menghabiskan sisa usia bersama Daru. Perasaan itu muncul, salah satunya, saat berhadapan dengan ibunya Daru. Seperti malam ini.
Kulirik perempuan yang melahirkan Daru itu. Dia melengos lalu membawa piringnya ke dapur. Tampaknya perempuan itu masuk ke ruang keluarga setelah meletakkan piring di kitchen sink.
“Susah bener, ya, buatmu nyenengin hati ibuku?” kata Daru. Pertanyaan retoris itu jelas tak perlu kujawab. Aku sudah tahu kalimat lanjutan yang akan disampaikan kekasihku itu. Dan aku juga tahu aku memang tak perlu bereaksi apa-apa terhadap pertanyaan ataupun pernyataan Daru.
Aku bergegas membereskan meja makan. Kubawa piring dan gelas kotor. Samar-samar kudengar Daru mengomel. Kucuci semua bukan karena aku merasa harus membersihkan rumah Daru. Tapi sekadar ucapan terima kasih karena aku dijamu. Meski situasinya tidak menyenangkan.