Aku terpekik saat melihat kepala ibu Daru di bantalku. Andrea terkekeh. Dia melepas genggaman tangan lalu mengibas seolah kepala itu hanya seekor kecoa kecil. Kepala itu seketika menghilang. “Aku tahu dia memaksamu buat makan banyak tadi. Dan aku tahu Daru lebih membela ibunya dan tidak suka kamu menolak nambah makan. Dan itu hitungan kita yang pertama. Kamu siap?”
***
Aku mengangguk. Tapi lekas menggeleng. Kulihat alis Andrea berkerut. “Kamu nggak siap?”
“Ah, bukan gitu. Aku masih marah sama ibunya Daru. Gimana kalau ini hanya soal aku dan Daru saja?” tanyaku ragu-ragu.
Andrea menatapku penuh selidik. “Bukannya membicarakan Daru sama saja membicarakan orang tuanya, keluarganya, temen-temennya? Maksudku itu nggak bisa dilepasin gitu aja lho.”
“Ah, ya, aku tahu, Drea. Tapi, permainan yang bakal menghadirkan kepala itu … ilusi, ya, ilusi menghadirkan kepala itu bakal lebih asyik buatku kalau bukan kepala orang lain. Aku hanya ingin kepala Daru. Gimana?”
Andrea mengamatiku beberapa saat. Mungkin dia tengah menimbang-nimbang. Lalu akhirnya dia mengangguk dan senyumnya terulas. “Tapiiii, kalau nanti ada nyinggung-nyinggung sedikit tentang keluarga, teman, atau siapapun yang di sekitar Daru, kamu harus setuju.”
Aku mengangguk. Bagaimana pun membicarakan Daru sama saja membicarakan keluarganya, sahabatnya, teman, rekan kerja, bahkan mungkin mantan pacarnya atau siapapun itu. “Tapi ini beneran nggak bahaya kan?” tanyaku.
Andrea terkekeh. “Gimana caranya biar kamu yakin? Lagian, sejak kapan kamu menolak mendekat pada bahaya?”