Lani masih memandangi gambar dirinya pada foto IG seorang gadis cantik. Mirip sekali dirinya, sepertinya dunia tidak ingin jauh-jauh membuang wajah cantiknya untuk ada kembarannya. Hanya gadis cantik ini masih muda, dihiasi senyum riang serta background alun-alun kota Bandung. Bibir tipis terpoles warna merah tua, menjadi kontras saat sinar surya membingkai. Gadis bandung memang terkenal dengan mojang-mojang FGsexinya. Sudah terkenal sejak dahulu kala. Bahkan saat jaman kerajaan Sunda berdiri saat Prabu Maharaja sebagai rajanya. Adiknya menjadi buah bibir para bangsawan dan raja majapahit kala itu yang diperintah oleh Bhre Prabu Hayam Wuruk. Raja Majapahit begitu terpesona melihat lukisan yang dikirimkan oleh seniman yang ditugaskan untuk memotret wajah cantik sang Dewi Dyah Pitaloka Citaresmi. Sayang, keangkuhan Mahapatih Gajamada akan kebesarannya, membuat kisah asmara sang Dewi dan Raja gagal terlaksana. Lewat Perang Bubat di Lapangan Bubat, Mahapatih Gajah Mada bersama balatentaranya menyerang dan membinasakan pasukan kerjaan Sunda beserta Dyah Pitaloka. Begitulah, kecantikan bisa membuat bencana juga sejak dulu. Perang Bubat membuat Gajah Mada Amukti Palapa, atau berhenti menjadi Mahapatih dan menjadi pertapa hingga kematiannya yang sampai sekarang misterius.
Wajah cantik yang terpampang di layar kaca Hape itu diusapnya, seakan kerinduan ingin dituangkan. Andaisaja dia seorang sakti bisa menembus waktu pada layar kaca hape, maka dia akan menembus ruang waktu untuk sekedar memeluknya. Sayangnya dia hanya manusia biasa, penuh harap dan rasa rindu yang tak terbalas. Terpampang jelas di sudut IG nama sang Empunya, Dinara Safina, pekerjaan pelajar dan tinggal di kota Bandung. Banyak sekali foto gadis tersebut terupload dengan sudut dan seni keindahan fotografinya.
Belum lagi insta Stori yang menceritakan tentang kesehariannya. Para Netizen terutama kaum lelaki membanjiri like and comment di kolom komentar. Tampaknya Dinara Safina mempunyai banyak pengikut, terlihat dari like dan comment-nya yang di atas 500 orang. Dinara memang bukan artis selebgram seperti Anya Geraldin atau artis papan atas seperti Nikita Mirzani, tapi entah kenapa kecaantikannya begitu membius para pengguna IG.
Tak terasa butir bening meleleh di pipi halus milik Lani. Segera dihapusnya jajaran butir bening tersebut yang sudah membentuk pasukan berbaris. Sesak mulai menyeruak batin, mencoba mengempaskan masa lalu sekuat tenaga. Namun akhirnya bendungan kegelisahan menyeruak jebol. Mengirisi dinding hati, sakit yang tak berdarah kata orang-orang, tetapi sakitnya seperti tertusuk sembilu. Tak mudah hilang, selalu saja timbul walau kadang tenggelam silih berganti mengganti luka di serpihan hati.
Waktu memang cepat berjalan, sepertinya belum lama dia melahirkan.Waktu itu, dia Sendiri menjalani persalinan. Malam dingin berubah jadi panas, badan bergetar hebat menimbulkan gemeretak gigi, dibaluti pagar urat biru menyembul dan menegang pada lehernya. Sakaratul maut siap menjemput demi sang buah hati. Apakah dia akan mati hari ini? Beginikah para hawa bejuang demi calon masa depan? Tangisan dan teriakan seperti menjadi satu kesatuan prajurit yang bertempur mengunus pedang di medan perang. Lani menekan sekuat tenaga.
Suara Azan Subuh memecah pagi dan menyudahi segala asa, setelah melalui perjuangan 5 jam, bayi mungil berjenis kelamin perempuan lahir. Panjang 50 cm dan berat 3,2 kg menandakan ukuran bayi normal. Lani menyudahi perlawanan melawan maut. Tangis bayi pecah dikeriuhan merdu lafal azan yang bersahut-sahutan membelah pagi. Tubuhnya bergetar dengan tangisnya, rasa haru membuncah melihat Sang anak lahir sehat walafiat. Rasa sukur dan kebahagiaan terpanjatkan dari pria bersorban yang berdiri di sampingnya.Pagi itu, pria bersorban menunggu subuh, namun cucunya lahir terlebih mendahului suara azan. Dunia menyambut cucunya dengan lantunan doa dari berbagai masjid dan mushola. “Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Fabiayala irobbikuma tukajiban” begitu pria setengah tua bernama Rahmat, ayah Lani mendesis dengan senyum haru. Akhirnya dirinya mempunyai cucu pertama.
Hanya sebentar keriangan senyum telah terpendar kembali, hilang di telan kabut tipis pada matanya. Cucunya lahir tanpa didampingi Sang Ayah, hatinya benar-benar terpukul halus. Perih dan luruh. Dengan kekuatan tersisa akan kesedihan, Rahmat menkomatkan dan mengazani telinga cucunya dengan suara bergetar. Dia berharap suara azanya di telinga cucunya dapat memberikan secercah kehidupan yang baik di masa depan. Tidak seperti…, ah, sudahlah. Elaknya segera pergi ke masjid di depan rumah bersalin kecil di daerah soreang untuk menunaikan solat Subuh berjamaah.
Bayi mungil yang belum mempunyai nama itupun tenang setelah dikomat dan azankan kakeknya. Doa-doa memanggil dan mengingatkan solat membuatnya diam setelah menangis waktu lahiran. Mata jenaka memutar-mutar pelan, seakan sedang menonton perjalanan hidup yang sedang diputarkan Tuhan untuknya, bahwa seperti inilah kamu setelah lahir dan besar serta kemudian mati kembali kepadaKu. Guratan takdir sudah digariskan oleh Sang Pencipta alam semesta, kita tinggal menjalaninya. Sejatinya setiap manusia terlahir baik dan suci.
Rasanya baru kemarin, ya rasanya baru kemarin semua peristiwa yang paling menakjubkan dalam hidupanya berlalu. Waktu memang seperti air, mengalir tiada henti. Tak ada y;ang bisa menhentikan, bahkan sebuah bencana sekalipun. Air akan mencari jalan lain untuk dilalui. Ya air seperti waktu tak bisa dicegah bila sudah mengalir, dia akan turun ke bawah mencari muara baru. Begitu juga kehidupan, tak lepas dari waktu yang terus berjalan tanpa kita sadari bahwa kita telah melewatinya.