"Ya Tuhan, aku lelah sekali." seru Maya menyembunyikan segala beban jauh di lubuk hatinya. Ia sedang berbaring di kamar kosannya yang sempit. Hanya ada satu jendela kecil yang membiarkan sinar matahari masuk. Poster-poster tua menutupi dinding kamarnya, saksi bisu dari mimpinya yang dulu menjadi kenyataan. Sekarang semuanya tampak kosong. Dengan perasaan campur aduk, dia meraih benda kecil nan tajam yang ia simpan di bawah bantal dan mulai ia mengukir garis-garis di pergelangan tangan kirinya. Rasa sakit di pergelangan tangannya adalah semacam luka yang tak terlihat di hatinya. Air matanya semakin deras mengalir saat merasakan hangatnya darah mengalir dari luka yang baru saja ditimpakannya dan juga air matanya yang membasahi pipi. Anehnya, rasa sakit fisik memberikan kelegaan sesaat dari beban mental yang membebani dirinya. Namun keringanan ini hanya bersifat sementara. Penglihatannya mulai kabur, sebuah suara batin berbisik, "Inikah akhirnya?" Kegelapan perlahan menyelimuti kesadarannya.
RUMAH SAKIT
"May, bangun yuk, Maya. Kita belum menikmati waktu berdua pergi ke pantai dan menyusuri tepi pantai sambil makan es krim. Banyak hal lain yang belum kita lalui sama-sama dan aku belum siap kehilanganmu, Maya," bisik Rinia, sepupu Maya yang selalu ada setiap langkah hidupnya. Air mata masih mengalir, Rinia duduk di samping tempat tidur sembari memegang tangan Maya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Setiap detik yang berlalu terasa sangat lambat, seolah itu adalah hukuman Rinia karena tidak menyadari kecerobohan Maya lebih awal. "Dokter, apakah Maya baik-baik saja?" tanyanya cemas melihat keadaan Maya yang sedang diperiksa oleh dokter dan masih terbaring disana dengan mata terpejam, wajahnya pucat karena kehabisan darah. Dokter, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas namun lembut, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Ia kehilangan banyak darah, sehingga tubuhnya sangat lemah dan syukurnya adik ini dibawa ke rumah sakit. Sekarang kita hanya bisa menunggu siumannya dan mendoakan” jawab sang dokter dengan suara yang menenangkan, tambahnya setelah penjelasan dokter sambil memeriksa kondisi Maya, namun rasa khawatir masih tetap ada. Rinia masih menggenggam tangan Maya dan mengharapkan keajaiban. "May, kamu harus kuat. Aku di sini untukmu," bisiknya untuk menguatkan dirinya dan berharap sepupunya mendengar lirihan Rinia.
Beberapa jam kemudian, Maya perlahan membuka matanya. Cahaya di ruangan itu tampak begitu menyilaukan hingga membuatnya menyipitkan mata. Di sebelahnya, Rinia langsung meraih tangan Maya dan memeluknya erat. "Aku takut kehilanganmu, Maya," bisik Rinia dengan suara bergetar. Maya hanya bisa mengangguk pelan sembari air matanya mengalir tanpa suara. Mereka saling berpelukan erat dan merasakan kehangatan yang sejenak mengusir rasa dingin dan kesepian dari hati Maya. Maya mencoba memahami situasinya. Kepala yang berat dan badan yang lemas membuat sulit berpikir jernih. Dia merasakan cinta tulus pada Rinia yang jarang dia rasakan akhir-akhir ini. "Maafkan aku Rin. Aku telah membuatmu khawatir," ucap Maya dengan suara serak. "Jangan pikirkan itu sekarang, May. Yang terpenting kamu selamat. Kita akan melalui ini bersama-sama ya," jawab Rinia dengan mata berkaca-kaca. Dia memutuskan tidak akan meninggalkan Maya sendirian. lagi. Secercah harapan muncul di wajah Maya "...bahkan Engkau belum mau menerimaku untuk kembali kepadaMu, entah rasa syukur Engkau memberikan kesempatan kedua atau sedih karena aku harus lalui ini. Aku harus apa, Ya Allah. Aku hilang arah." yang keluar hanyalah wajah penuh kesakitan.
Hari demi hari berlalu, Maya pun kembali beraktivitas seperti biasanya setelah mengajukan cuti karena sakit, namun dengan getir ia memandang semua yang ada dihadapannya "Apakah ini kehidupan yang seharusnya aku jalani?" pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam. Setiap langkah menuju kantor terasa berat, seperti menginjak tanah. Dia bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak mendengarkan doanya. "Apakah kamu benar-benar di sana?" bisiknya pelan sambil memandang ke luar jendela bus menatap langit gelap untuk berangkat kerja. Dan sejak kejadian naas yang dialami oleh Maya, Rinia mulai sering mengunjungi kos-kosan Maya karena khawatir Maya akan melakukan hal yang tidak menyenangkan lagi bahkan jauh lebih nekad. "May, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," ucapnya lembut. "Rin, aku merasa tidak ada lagi yang tersisa untukku," keluh Maya. “Setiap hari sangat sulit. Aku lelah berpura-pura menjadi kuat.” jelasnya, "Kamu tidak perlu berpura-pura di hadapanku May, ceritakan semua perasaanmu. Apa yang sebenarnya kamu rasakan?" Rinia bertanya dengan cemas. Maya menarik napas dalam-dalam. “Semuanya, Rin. Luka dan traumanya masa kecil tidak diterima, dijauhi oleh teman-teman, dan stres di tempat kerja. Aku merasa terjebak di kampung halaman ini, penuh dengan kenangan pahit." Rinia menggenggam erat tangan Maya. "Mungkin kamu butuh perubahan, Maya. Pertimbangkan kemungkinan untuk memulai hidup baru di tempat lain." Maya terdiam sejenak sambil memikirkan perkataan Rinia. "Mungkin benar, aku butuh perubahan, tapi aku takut. Bagaimana jika kegagalan yang aku hadapi? Bagaimana jika rasa sakit ini mengikutiku kemana pun aku pergi?" Maya melawan pikirannya, merasa terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Rinia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan Maya. "Kita semua punya ketakutan, May. Tapi kamu tidak sendiri. Aku akan selalu ada untukmu. Mungkin memulai dari awal akan menjadi awal yang baik untuk menyembuhkan lukanya." Maya menatap sepupunya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih Rin. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi setidaknya aku memilikimu.