Sunyi membangun istana di tengah-tengah daratan keramaian. Megah lagi mewah. Bagaikan batu bata kecemasan telah lama tersedia. Istana sunyi itu kian menjulang saja.
Namun istana yang melebar dan meninggi itu malah menyesaki hati Tari. Usai membangun dinding-dinding keterasingan, kian tebal, diteruskan dengan menjelmakan penjara untuk hatinya sendiri. Semakin ngeri.
Buat apa istana megah tapi hanya untuk mengurung kehendak hati? Sama halnya dengan situasi ini, untuk apa keramaian kalau hanya demi mendukung kesunyian? Hati Tari terus bertanya-tanya, kepada siapa kesepian ini akan terbagi, tapi selama itu pula tak ditemukan jawab.
Keinginan Tari membagi istana sepi selalu bersamaan dengan pikiran bahwa itu tak perlu.
Kembali Tari menatap sekeliling.
Dijatuhkan pandangannya lekat-lekat pada punggung Darsi yang membungkuk-bungkuk ikut membantu Suriah, kakak iparnya yang mengadakan syukuran khitan anaknya. Tampak ia sedang membenahi tikar yang terlipat setengah, entah tadi tersandung siapa. Menjumputi remahan roti yang tercecer, kulit-kulit kacang, dan sekitar lima bungkusan snack.
Tak jauh dari Tari mengamati, sesekali Darsih melemparkan senyum kepadanya sambil berusaha melakukan apa pun biar tampak sibuk. Tari melihat, ada saja yang harus dikerjakan. Meski sesekali dia harus melewati tamu dan tuan rumah dengan basa basi, di antara senyum, tawa yang pecah seketika, ledekan, tanya-tanya tentang berapa anaknya, cubitan bertubi-tubi karena canda porno tentang tabiat suaminya sambil menikmati snack yang tersaji. Tamu-tamu itu rasanya tak pernah berhenti mondar-mandir sejak tadi.
Sangat riuh, tapi Tari tak tahu kenapa hatinya tampak jauh meninggalkan keriuhan itu.
Riuh-redah ini masih ditindihi dengan alunan tembang dari seperangkat sound system yang diotak-atik tiga pemuda tanggung tepat di pojok teras rumah, dekat jendela. Pelan, salah seorang menarik-narik tombol equalizer, yang lain coba menikmati hasilnya, sedangkan yang lain setengah memprotes begitu mendengar nada yang keluar. Kadang, diam-duam pemuda yang potongannya setengah botak itu mengganti musik kerondong dengan musik metal Megadeth. Praktis banyak tamu yang tersentak, melengos ke arahnya.
Dia hanya cekikihan. Sampai kemudian ia menggantinya, tetapi dengan kaset pop melankolis suara Nia Daniaty. Tentu saja suami Suriah, biasa dipanggil Pak Tomo yang pencandu berat lantunan merdu suara Waljinah itu mendelik kepadanya.
Setelahnya banyak tetangga coba menyibukkan diri dengan menata kursi yang masih tertumpuk. Sewaan kursi baru saja datang. Sekelompok yang lain menata dekorasi, mengatur letak kertas-kertas berwarna dan balon yang telah diisi udara. Sering, seorang yang bekerja sedang yang lain cuma memerintah. Saking seringnya, bukan melaksanakan, namun malah memaki. Meski sambil tersenyum, tetap saja makian bakal membuat mager (malas gerak). Mereka seperti tak kenal istilah lelah, seperti halnya ketika jam menunjukkan pukul tiga sore dan sebentar lagi mengemas barang-barang meninggalkan kantor. Sebab mereka tahu, snack, makan siang, kudapan yang berlimpah, ledekan yang sahut-menyahut, tetap saja menjadi barang mahal yang tak jauh beda dengan gaji di akhir bulan.
Tapi mereka tak tahu, dalam kebersamaan selalu saja tersembul kesendirian, terpencil, tanpa sahut sapa. Tari sangat merasakannya. Seperti halnya tentang dongeng ketakutan Tari yang sedang menanti kesepian menggerus-gerus dirinya sampai mati.
Entah, Tari harus mengerjaakn apa. Dia merasa dicuekin sejak tadi.
Sibuk membagi-bagikan snack? Mencuci piring? Mencari air? Menyongsong tamu? Mengelap meja? Ikut larut dengan obrolan tak bermutu? Atau apa? Ia tak lebih sebuah patung yang ditonton para tamu sambil lalu.