"Kamu gila?! Kamu mau masuk ke lubang buaya?!” Kelly langsung menumpahkan emosinya begitu mendengar rencanaku.
“Aku yang bakal ngelakuinnya, Kell. Bukan kamu.” Aku meyakinkannya. Pundaknya kutepuk-tepuk yang sedetik kemudian langsung ia tepis.
“Tetep aja. Kamu bakal bawa-bawa namaku begitu semuanya terungkap.”
Aku diam mencerna kalimat Kelly. Dia ada benarnya. Tapi aku tahu, semua akan jadi lebih menyesakkan selama aku hanya berpangku tangan.
“Nggak. Nggak bakalan! Aku akan menanggungnya sendiri. Aku yang melakukannya,” balasku, meyakinkan perempuan yang sudah lima bulan menjadi pacarku ini.
“Mereka akan mengusutnya.” Ia tak mau kalah.
“Tapi, kamu nggak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Aku yang menjadi dalang. Aku nggak bisa kalau harus hidup santai seolah semuanya normal. Seolah semua baik-baik aja.”
“Terus apa? Yang kamu lakuin ini nggak lebih dari memancing ikan di air keruh. Kamu cuma cari masalah.”
“Aku nggak akan membiarkanmu menanggungnya. Aku jamin kamu aman.”
“Tetep aja ....” Sanggahan Kelly segera terpotong begitu langkahku berbalik. “Red!” Ia memanggilku setengah teriak. Namun, tak kuhiraukan. Aku sudah berlalu dari hadapannya.
***
Aku berdiri di depan gerbang besi setinggi satu setengah meter yang melingkupi rumah dengan halaman luas di dalamnya. Gerbang di depanku ini tak terkunci meski rumah di dalamnya terlihat lengang. Kubaca sekali lagi papan putih yang menempel di sisi gerbang bagian kanan. “Kosan Indira”. Ya, benar. Ini tempat yang kucari.
Dengan mendorongnya sedikit, gerbang yang sudah berkarat ini dapat dimasuki oleh tubuh kurusku yang hanya berbobot 55 kilogram. Aku menginjak tanah berlapis batu bata yang sudah banyak ditumbuhi rumput liar dengan perasaan gugup. Jantungku berdetak lebih cepat. Dengan susah payah, aku melangkahkan kakiku semakin ke dalam. Langkahku perlahan, pelan-pelan hingga menyentuh sisi paling depan lantai abu-abu yang mendasari teras rumah.
Aku mengetuk pintu kayu di depanku yang tak terlalu lebar. Dua kali ketukan dengan rentang waktu tak sampai satu menit, suara kunci dari dalam segera terdengar, diikuti gerakan kenop pintu yang membuat sesosok wanita paruh baya menyembul dari dalam. Kutaksir umur beliau sudah melebihi 50 tahun. Mungkin 55, 56, 57, atau entahlah. Ia kelihatan sedikit lebih tua daripada ibuku yang baru 40-an.
“Iya, ada perlu apa, Dik?” tanyanya dengan wajah dan suara ramah.
“Apa ada kamar kosong di kosan ini?”
Perempuan di depanku seketika terpaku. Ia tampak memikirkan sesuatu.
“Apa Adik ingin ngekos di sini?”
“I-iya, Bu,” jawabku sedikit gagap yang kemudian diikuti pertanyaan serupa dengan pertanyaan pertamaku, “apa ada yang kosong?”
“Sudah tiga bulan kosan ini kosong. Nggak ada lagi yang ngekos di sini.” Ia menghentikan ucapannya sejenak. Matanya berkilat, menerawang, mencari sesuatu yang dibayangkannya. “Banyak yang bilang, kosan ini kejauhan dari kampus dan ...,” ia memandangku tajam, “... kosan ini serem.”
“Saya ambil,” tanggapku cepat yang membuat perempuan berambut seleher ini menatapku heran. “Iya saya ambil, Bu. Saya nggak peduli alasan mereka.”
Ia lalu tersenyum tipis. Ramah. Namun, hampa.
“Panggil saya Bu Rima. Ayo masuk. Kamu bisa memilih sendiri kamarnya.”
Aku mengikutinya dari belakang setelah terlebih dulu melepas sepatuku yang tak bertali.
***
Ini adalah malam kelimaku menetap di rumah indekos ini. Kamarku berada di sisi yang berlawanan dengan kamar Bu Rima. Dipisahkan oleh sebuah ruang keluarga dengan televisi 14 inci dan sofa yang sudah agak mengempis. Kamarku cukup lebar dengan langit-langit bermotif timbul yang cukup tinggi. Di tengah-tengahnya, lampu hemat energi berbentuk lonjong menerangi setiap sudut ruangan seluas empat kali empat meter ini.