"Gimana kemarin?"
Jenni baru keluar dari lift dan berpapasan dengan Dina—tim akuntan yang dekat dengannya. Wanita yang membawa koper itu terlihat tidak peduli dan terus berjalan menuju meja kerjanya. Dia meletakkan koper di bawah meja setelah itu duduk di kursi sambil meluruskan kaki.
"Capek banget, ya?" tanya Dina yang ternyata membuntuti Jenni. Dia memperhatikan temannya itu memakai make up ala kadarnya dan rambutnya berantakan. Belum lagi terdapat kantung mata. "Berarti emang capek."
"Aneh lo!" Jenni duduk tegak lalu menyalakan komputer. "Ya capeklah. Mana sekarang kerja!"
Dina terkikik. Itulah tidak enaknya setelah dari luar kota. Memang, sisi positifnya bisa mencari suasana baru. "Terus, nggak ada oleh-oleh?"
"Boro-boro beli oleh-oleh!" geram Jenni. "Tempat yang gue datengi cuma hotel sama event. Lo bayangin."
"Aah.... Gitu?" Dina manggut-manggut. "Katanya Pak Sagra kemarin ngasih sambutan? Sehotel juga sama Pak Sagra?"
Rahang Jenni seketika mengeras. Dia terbayang serangkaian kejadian paling memalukan dalam hidupnya.
Melihat temannya yang terdiam dengan napas naik turun, Dina kian mendekat. Dia menggerakkan tangan di depan wajah Jenni, tapi wanita itu tetap terdiam. "Woi. Ada apa?"
"Ada apa kalian ngobrol di sini?" Tiba-tiba ada suara berat yang menginterupsi.
Dina berdiri tegak dan melihat atasannya yang berdiri beberapa langkah darinya. "Maaf, Pak. Saya permisi." Sebelum kena semprot, dia memilih ke ruangan sebelah.
Jenni menghela napas lalu mencoba tersenyum ke bosnya.
"Pak Yassar nitip sesuatu?" Pak Lendra mendekat lalu bersedekap di depan Jenni.
"Ah, iya!"
"Saya sudah hafal kamu pasti lupa."
Jenni mendekati koper dan membukanya. Dia menarik kantung kertas yang sedikit sobek di bagian ujung dan menyerahkan ke Pak Lendra. "Ini, Pak."
Pak Lendra menerima kantung itu dan melihat isinya. Bibir tipisnya langsung tertarik, sebelum akhirnya menghilangkan senyuman itu. "Thanks."
"Ya...." Jenni menunduk hendak menutup kopernya lagi. Saat itulah dia melihat benda yang terjepit di antara kantung pakaian kotor. Jenni menarik benda itu dan mendapati sebuah kotak makan dan roti yang masih tertinggal setengah. "Ya ampun."
Jenni segera berdiri dan membuang roti beberapa hari yang lalu.
"Pasti udah jamuran."
"Ha?" Jenni mengangkat wajah karena suara berat itu. Saat mendapati Sagra, dia segera membuang muka. "Pak Lendra ada di ruangan." Dia segera kembali ke meja kerjanya dengan bibir komat-komat.
Kok bisa tiba-tiba muncul?
Mana pas gue lagi buang roti lagi.
Sagra memperhatikan Jenni yang duduk di balik meja kerjanya dengan bibir ditarik ke dalam. Wajah wanita itu terlihat mengeras dan memerah. Sagra mengangkat bahu, tidak mengerti dengan keanehan Jenni.
Lelaki itupun melanjutkan langkah menuju ruangan Lendra. "Langsung dipakai?" Dia mendapati si pemilik ruangan sedang memakai dasi yang kemarin dilihat.
"Lo juga dapet?" Lendra melepas dasi pemberian Pak Yassar. "Udah jelas, lo karyawan tersayangnya."
Sagra mendekat dan duduk di hadapan Lendra. "Tersayang apaan?"
"Ya tersayang. Dia terus nanyain lo," jawab Lendra apa adanya. "Gimana acara kemarin? Gue belum dapet laporan apapun."
"Yah gitu."
"Si Jenni juga kenapa nggak laporan ke gue!" Pandangan Lendra seketika tertuju ke kaca di samping pintu. Dia melihat sekretarisnya itu tampak serius menghadap kompuer. Dari ekspresinya, sepertinya telah terjadi sesuatu.
Sagra mengikuti arah pandang Lendra, mendapati Jenni yang tampak fokus. "Lo nemuin di mana sekretaris kayak gitu?"
"Emang kenapa?" Lendra duduk bersandar dengan ekspresi penuh tanya. "Dia bikin lo marah?"
"Malu."
"Emang dia sering malu-maluin," jawab Lendra. "Tapi. dia bisa diandelin pas keadaan kepepet. Dia mau lembur, meski terus ngomel kerjaannya tetep selesai."
Sagra manggut-manggut. "Gue ke sini mau ngasih tahu, bulan depan Pak Yassar ke Paris. Gue rencana mau nemuin. Lo ikut nggak?"
"Ya ikutlah. Gue juga harus bilang terima kasih."
"Ya udah, lo yang atur!"
"Lah, kok gue?" Lendra duduk tegak, tidak terima dengan perintah itu. Ketika melihat Sagra tampak biasa saja, dia tahu tidak mungkin mengandalkan temannya itu. "Oke, emang ini bukan yang pertama kali."
"Bagus."
"Oke, nanti gue atur."
Sagra seketika berdiri dan berjalan keluar begitu saja. Lendra mengepalkan tangan karena perintah sepihak itu. Ketika Sagra berbalik hendak menutup pintu, Lendra langsung menurunkan tangan dan tersenyum.
"Sudah selesai, Pak?" Jenni menatap Sagra yang berdiri di depan pintu.
Sagra terdiam, melihat keringat sebiji jagung yang keluar di pelipis Jenni. Padahal, AC di ruangan cukup dingin. "Perang sama siapa?" Sagra melangkah mendekat lalu membungkuk ke komputer Jenni.
Jenni segera menekan mouse dan layar kembali ke menu utama. Setelah itu dia menatap Sagra sambil tersenyum samar. "Lagi nyari semangat."