Hari yang dinanti Dina dan Jenni akhirnya datang. Selama beberapa hari mereka sudah mempersiapkan diri. Terutama Dina. Dia bahkan melakukan perawatan rambut beberapa jam sebelum pertemuan. Sedangkan Jenni, hanya memilih pakaian terbaiknya.
Sekarang, mereka sudah sampai di restoran western yang didominasi warna merah bata. Dua wanita yang duduk berdampingan itu beberapa kali menatap ke pintu. Menunggu dua lelaki yang katanya datang terlambat. Yah, dua. Dina berhasil membujuk 'pacar online'-nya untuk mengajak teman untuk dikenalkan kepada Jenni.
"Mereka bukan?" Jenni menyenggol lengan Dina ketika melihat dua orang lelaki yang berjalan masuk.
"Bentar!" Mata Dina memicing, memastikan. "Ah iya itu mereka!"
"Serius? Lumayan."
Dina segera berdiri dan melambaikan tangan. Dua lelaki yang sebelumnya tampak mencari-cari itu kini langsung mendekat. Dina tidak bisa menyembunyikan senyumannya, melihat lelaki yang sudah beberapa bulan dekat dengannya, tapi baru ditemui hari ini.
"Udah lama nunggu?" Aven—pacar Dina—langsung mengulurkan tangan.
"Enggak kok. Baru aja." Dina segera menarik tangan Aven dan berpindah posisi ke hadapan Jenni.
Jenni melotot tidak terima. Dina yang terlanjur senang karena akhirnya bertemu dengan sang pacar tidak menyadari itu. Bahkan wanita itu lupa memperkenalkan Jenni.
"Boleh duduk?" Seorang lelaki yang mengenakan kemeja biru tua menatap Jenni.
Dina melirik, tapi pura-pura tidak tahu. Dia lebih memilih menatap Aven yang jauh lebih tampan daripada di foto. Garis rahangnya tegas dengan aroma musk yang menguar. Dia paling suka lelaki yang wangi.
"Ya silakan." Jenni menjawab sopan. Dia menunduk sambil menahan senyuman. Dia tersipu dengan wajah oval dengan alis tebal dan mata dalam lelaki itu. Dia tidak memiliki kriteria lelaki idaman, tapi dia paling suka lelaki yang memiliki sorot mata dalam.
"Gue Jeromi."
Jenni melihat tangan besar yang terulur di depannya. Dia mengangkat wajah, melihat mata Jeromi yang kali ini terlihat lembut. "Jenni."
"Jeromi-Jenni. Cocok!" Dina berseru.
"Hehe...." Jenni yang sering malu-maluin, image-nya sekarang berubah. Dia menjabat tangan itu kemudian menatap Dina.
"Mending kita pindah meja. Biar mereka ngobrol." Dina berdiri dan tidak lupa menggenggam tangan Aven. Lelaki itu juga tidak protes dengan tindakan Dina.
Sedangkan Jenni mulai bingung harus bersikap bagaimana. Sudah lama dia tidak dekat dengan lelaki dalam konteks asmara. Terakhir PDKT jelas ketika SMA. Dia juga lupa cara PDKT yang benar bagaimana.
"Mau pesen?" tanya Jeromi. "Gue pindah aja, ya. Kayaknya lo nggak nyaman gue di samping lo."
"Ah, enggak!" Jenni menjawab cepat. "Ah, ya. Gitu...."
Jeromi terkekeh geli. "Enggak. Gue pindah aja." Dia memilih berpindah di tempat Dina tadi. "Gini lebih enak buat ngobrol."
"Hehe...." Jenni tidak tahu harus berbicara apa.
"Mau pesen apa?"
Jenni menarik buku menu yang sejak tadi dianggurkan. Dia lalu melirik Dina dan melihat buku menu itu bernasib sama. Kemudian, Jenni membuka buku menu itu dan melihat tulisan 'steak' di paling atas. "Steak aja."
"Gue juga mau pesen itu," jawab Jeromi. "Minumnya lemon?"
"Sama."
"Belum apa-apa kita udah klop."
Respons Jenni hanya senyuman singkat. Kesan pertama bertemu Jeromi, lelaki itu cukup tampan dan manis. Rambutnya dipotong tipis dan memiliki cambang, mengingatkannya dengan style lelaki timur tengah. Pakaian Jeromi juga cukup rapi, tidak terlalu santai. Dia suka dengan lelaki yang berpenampilan rapi saat bertemu orang lain, apalagi di pertemuan pertama.
"Kenapa?" Jeromi ternyata sadar sedang diperhatikan.
"Enggak. Nggak apa-apa kok." Jenni lagi-lagi membuang muka. Tindakannya jelas mengundang tanya. Dia benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali PDKT.
"Loh, Dina, kamu di sini?"
Suara yang terdengar tidak asing itu menarik perhatian Jenni. Dia menoleh, melihat seorang lelaki yang memakai sweatshirt berwarna hitam. Dia hendak menutupi wajah, tapi lelaki itu lebih dulu melihatnya.
"Ada Jenni juga?"
"Duh, ngapain sih ada Pak Lendra?" gumam Jenni lalu memaksakan senyuman.
"Udah pilih tempat?" Ternyata ada suara lain lagi yang juga Jenni hafal.
Pandangan Jenni tertuju ke Sagra yang mengenakan jaket berwarna cokelat susu. Penampilan lelaki itu terlihat lebih kasual daripada yang sering Jenni lihat. Tapi, yah, Sagra selalu terlihat tampan.
"Oh, ada yang nge-date." Sagra baru menyadari ada Jenni dan sosok lelaki.
"Anggap gue bukan bos kalian," ujar Lendra sambil mengedipkan mata ke Dina dan Jenni. Setelah itu dia berjalan menuju meja kosong.
Sagra menahan tawa melihat Jenni yang menahan malu. "Kita duduk sana aja."
Mata Jenni membulat karena Sagra menujuk meja di sampingnya. "Pak, di lantai atas lebih nyaman."
"Sagra kurang suka di lantai atas. Seleranya nggak pasaran," jawab Lendra lalu mengikuti Sagra. "Silakan. Gue nggak akan ganggu."
"Hehe...." Jenni mencoba percaya. Dia menatap Sagra yang duduk sejajar dengannya. Lelaki itu beberapa kali menatapnya sambil menahan tawa. "Apa lo?" Jenni menggeram. Sudah jelas Sagra mengejeknya.