Sampai apartemen, Dina masih saja menangis. Dia memang salah karena tidak melindungi diri sendiri. Dia juga sakit hati karena Jenni terus marah-marah. Ada beberapa orang-orang yang tidak bisa bereaksi apapun karena kaget. Sekujur tubuh mereka seolah kaku dan bibirnya terkunci. Hanya air mata yang terus keluar.
"Nih, minum!" Jenni menyerahkan segelas air putih ke Dina. Setelah itu mengambil minuman kemasan untuknya.
Dina menyeruput air putih itu. Rasanya ada yang aneh karena tenggorokannya masih tercekat. "Huh...."
Jenni berbalik, melihat Dina yang masih, syok tapi tidak separah tadi. "Din. Lain kali jangan kayak gitu."
"Hiks...." Kalimat itu justru mengingatkan Dina akan kebodohannya. "Gue nggak tahu kenapa diem aja."
"Hmm...." Jenni duduk di hadapan Dina, memperhatikan ekspresinya. Sepanjang perjalanan dia terus mengomel dan Dina menangis dalam diam. Jenni perlahan menyadari, dia terlalu keras ke Dina. "Sorry...."
Dina menggeleng tegas. "Kalau bukan karena gue...."
"... nggak akan terjadi?" potong Jenni. "Yang ada lo jadi korban Aven. Tuhan sayang ke lo. Kalau nggak ada gue nggak tahu jadinya kayak apa."
"Hiks...."
Jenni menggaruk kepala karena Dina kembali menangis. "Yah, jangan sedih dong," pintanya. "Tuh, cowok brengsek emang. Mending lo putus saja."
"Hmm. Gue emang gegabah."
"Baguslah lo sadar." Jenni berdiri dan menarik tangan Dina. "Malam ini nginep sini aja daripada orangtua lo curiga."
Dina mengangguk. Dia tidak bisa menunjukkan wajah sedihnya di depan orangtuanya. Ah, semuanya memang salahnya karena terlalu gegabah memilih pasangan. Tapi, mau bagaimana lagi, dia sedang di usia yang terus ditarget tentang pasangan. Sedangkan dia sebelumnya seperti Jenni, jomblo. Meski tidak selama Jenni, hanya jomblo tiga tahun.
"Nih. Lo bisa pakai baju tidur gue." Jenni menyerahkan baju tidur berwarna merah ke Dina. "Sebelum itu lo mandi. Hilangin jejak brengsek tuh cowok."
"Hmm...." Dina menerima pakaian itu lalu menuju kamar mandi. Saat itulah tangisnya kembali pecah.
Jenni yang belum beranjak dari posisinya masih mendengar jelas Dina kembali menangis. Dia memilih menjauh daripada semakin menyakiti Dina jika kata-kata buruknya keluar.
Drttt....
Begitu sampai ruang tengah, samar-samar Jenni mendengar getar ponsel. Dia mengedarkan pandang dan menemukan tas Dina yang tergeletak di kursi makan. Dia mengambil benda itu dan melihat panggilan dari Aven. Tanpa pikir panjang, Jenni mengangkat panggilan itu. "Woy, Brengsek! Ngapain lo telepon Dina?"
"Gue mau minta maaf."
"Maaf lo bilang?" geram Jenni. "Lo bikin Dina ketakutan tahu nggak?"
"Gue juga. Ini bos lo nyerang gue."
"Bos?" Jenni terdiam sejenak. Kemudian dia ingat Sagra dan Lendra yang tadi ada di restoran. "Bentar!" Jenni langsung melakukan sambungan video.
Mata Jenni melebar melihat Aven dan Jeromi duduk diapit oleh Sagra dan Lendra. Entah apa yang dilakukan dua bosnya itu, tapi Aven dan Jeromi terlihat ketakutan. "Pak Lendra, kok bisa Bapak...."
"... saya ngikutin kamu," jawab Lendra. "Ada gunanya rasa penasaran saya. Setidaknya bisa bantu karyawan saya."
Biasanya Jenni marah karena dibuntuti, tapi kali ini dia sangat lega. "Pak, terima kasih. Kalau nggak ada Pak Lendra...."
"... nggak ngucapin terima kasih ke gue?" potong Sagra.
Perhatian Jenni tertuju ke Sagra. Lelaki itu masih sama seperti sebelumnya, ekspresinya biasa saja, tapi tidak terlihat menyebalkan. "Ya udah makasih, Pak."
"Nggak ikhlas," jawab Sagra.
Jenni memaksakan senyuman. "Pak, laporin aja mereka ke polisi."
"Tapi, lo nggak punya bukti!" jawab Aven.
"Aaaaa!" Jenni menjerit. "Tapi, lo salah! Gue sumpahin masa depan lo nggak berfungsi."
"Woy!" Aven berteriak. "Gue janji nggak bakal ganggu Dina. Bilang ke bos lo biar lepasin gue. Aneh banget mereka terus nempel-nempel."
Jenni melihat Lendra yang mengusap dagu Aven, seperti sengaja menggoda. Dia menahan tawa, melihat Lendra yang terus mendekat bahkan menggerakkan bibir seakan ingin mencium. Dia hampir lupa jika bosnya itu sangat jail. "Asal kalian tahu, mereka itu...."
"... stop!" Jeromi berteriak. "Gue minta maaf. Jadi, biarin gue pergi."
Layar berubah gelap sebelum akhirnya menunjukkan wajah Sagra. Jenni terdiam, karena lelaki itu hanya menatapnya lelah. Jantung Jenni berdegup lebih cepat, tiba-tiba dia takut Sagra berteriak marah seperti sebelumnya. Namun, ekspresi lelah Sagra perlahan berganti dan Jenni tidak tahu arti sorot mata itu.
"Jadi, lo lagi usaha cari pacar? Kenapa nggak tanya gue?"
Jenni mengerjab beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Akan lebih baik jika Sagra memarahinya, bukannya memberikan pertanyaan aneh. "Bentar...." Dia beranjak menuju ruang tengah sambil bertolak pinggang. "Pak Sagra bukan bapak saya. Jadi, ngapain harus tanya dulu?"
"Ha?"