Perfect Office Romance

Yoou
Chapter #7

7-DUH APA SIH MAKSUDNYA?

Jam istirahat, Jenni segera beranjak dari meja kerjanya. Ketika melewati ruang keuangan, ternyata sudah kosong. Dina meninggalkannya, padahal dia tadi meminta untuk ditunggu. Memang dasar urusan perut tidak bisa ditunda lagi.

Kejadian ini sering terjadi, Jenni baru beranjak sekitar sepuluh sampai lima belas menit dari jam istirahat. Alasannya, dia sering menyelesaikan pekerjaan agar tidak terlalu terpikirkan. Yah, setidaknya dia karyawan yang bisa dibanggakan.

Kruk.... "Duh. Perut gue udah bunyi." Jenni mengusap perut sambil menunggu lift di depannya terbuka.

Tring....

Jenni langsung masuk tanpa mengalihkan perhatian. Ternyata, di depannya ada sepasang sepatu hitam mengkilat. Barulah Jenni mengangkat wajah dan melihat si pemilik sepatu itu. "Ya ampun." Dia refleks mundur.

Sagra menarik satu alisnya, heran dengan kelakuan Jenni.

"Silakan duluan, Pak...." Jenni telah sepenuhnya keluar dari lift.

Tangan Sagra bergerak ke arah tombol. Jenni menebak lelaki itu menekan tombol tutup. Sayangnya, Sagra menurunkan tangannya kembali dan maju selangkah.

"Loh... Loh...." Jenni bergerak mundur karena tindakan itu.

Sagra terus melangkah dan menatap Jenni. Sedangkan wanita di depannya terus bergerak mundur, hingga punggungnya membentur tembok. Jenni mulai gelisah, hingga akhirnya dia berbalik ingin kembali masuk ruangan.

"Bentar...." Sagra menahan siku Jenni.

Jenni melirik tangan besar yang memegangi sikunya. Dia menggerakkan tangan dan Sagra melepaskan pegangannya. "Maaf, ada apa ya, Pak?"

Sagra menatap Jenni lamat-lamat. Wanita itu terlihat sekali menghindarinya, berbeda dengan waktu itu. Tidak ada raut menantang dan ekspresi melongo Jenni. Wanita itu tampak ketakutan sekarang. "Kamu...."

"Saya minta maaf...," potong Jenni. "Maaf Sabtu kemarin marah-marah ke Bapak."

"Hmm...."

"Saya juga mau ngucapin makasih." Jenni menunduk. "Makasih udah tolongin saya. Tapi lain kali, Bapak tidak perlu melakukan sampai sejauh itu."

Sagra menahan tawa. "Saya nggak ngelakuin itu demi kamu."

Jenni memberanikan diri menatap Sagra. Ekspresi lelaki itu tidak bisa ditebak, tapi sepersekian detik terlihat ada senyum singkat. "Lalu demi siapa?"

"Saya cuma ngikutin Lendra yang kepo. Ternyata di sana ada kejahatan ya saya ngelakuin apa yang sudah diajarkan orangtua. Jangan biarkan kejahatan itu begitu saja."

"Ah, gitu...." Jenni menggaruk lengannya yang tidak gatal. "Ya intinya terima kasih."

Tidak ada respons dari Sagra. Dia memperhatikan wanita yang mengikat rambutnya itu. Jenni memakai cardigan berwarna krem dengan celana panjang berwarna senada. Penampilan wanita itu sedikit kalem dari biasanya yang berpenampilan mencolok.

Jenni melirik Sagra yang terdiam dan tetap berada di depannya. Dia lalu melirik ke kiri dan ke kanan, khawatir ada karyawan lain kemudian menjadi salah paham. "Maaf, Pak, saya harus pergi."

"Tunggu."

"Maaf, Pak...." Jenni berjalan menuju lift dan menekan tombol tidak sabaran.

Sagra masih berdiri di posisinya. Kedua tangannya terkepal erat sedangkan bibirnya mengembuskan napas pelan. Perlahan, kepalan tangan itu memudar. "Kalau mau coba sama saya."

Jenni hampir masuk lift, tapi kalimat ambigu Sagra menghentikan tindakannya. "Bapak ngomong apa?" Dia berbalik, tapi Sagra memunggunginya.

"Kamu boleh coba sama saya," ulang Sagra. "Saya yakin kamu berusaha mencari pasangan. Kamu boleh coba sama saya."

"Pak...." Jenni mendekat dan menarik lengan Sagra.

Sagra akhirnya berbalik dan mendapati Jenni yang masih kebingungan. "Kamu boleh coba sama saya."

"Pak. Apaan, sih?" Jenni mendorong Sagra. Dia mulai mencerna setiap kalimat yang diucapkan lelaki itu. "Jangan bikin heboh, deh."

"Kamu nggak ngerti maksud saya?"

Jenni menatap Sagra intens. Wajah lelaki itu tampak serius, ekspresi yang sering dia lihat. Sorot matanya juga sama. Apa itu artinya Sagra tidak bercanda?

"Kenapa diam?" tanya Sagra karena Jenni hanya memperhatikannya. Diperhatikan seperti itu, ternyata cukup membuatnya gelisah.

"Saya anggap Bapak ngaco!"

"Saya nggak...."

"... permisi...." Jenni berjalan menuju ruangannya sambil menutup kedua telinga. "Gue yakin salah denger. Gue salah denger. Gue nggak boleh mikir macem-macem. Ya, gitu!"


***


Lihat selengkapnya