Sesuatu yang tidak pasti, sebaiknya ditinggalkan.
Jenni selalu ingat nasihat ibunya, terutama dalam hal perasaan. Sering kali orang menunggu perasaan yang tidak pasti dan berujung sakit sendirian. Ada pula orang yang menunggu dalam ketidakpastian, mereka hanya meyakini jika perasaan mereka lebih besar dan tidak ada salahnya terus menunggu.
Kali ini, Jenni akan menjadi orang yang beranjak dari ketidakpastian. Memang dari awal dia tidak suka hal-hal semacam itu. Dia paling suka sesuatu yang pasti, yang terlihat goals dari apa yang dikerjakan.
"Oke! Hari ini harus selesai."
Empat hari telah berlalu setelah ajakan "ambigu" Sagra. Sejak saat itu, Jenni tidak bertemu Sagra lagi, seperti sebelum-sebelumnya. Jenni yakin tidak ada keseriusan dari lelaki itu. Lagi pula, mereka tidak saling kenal. Aneh saja jika tiba-tiba mengajak pacaran.
Dari sekian kemungkinan, lebih banyak kemungkinan jika Sagra dan Jenni tidak akan bersama. Daripada buang-buang waktu, Jenni akan mengakhiri secepat mungkin. Dia tidak ingin terus kepikiran dan bertingkah aneh. Apalagi, Dina selama beberapa hari terus mengomentari keanehannya.
"Semoga belum balik." Jenni menarik jasnya ke bawah lalu melangkah mantap menuju ruangan bosnya.
Meja berbahan kayu dengan komputer putih di bagian tengah itu tampak kosong. Dia lalu menatap ke kursi besar berwarna biru yang posisinya agak miring. Dia menebak si pemilik meja sedang pergi, belum pulang. Jenni segera menuju pintu utama lalu mengintip. Seorang lelaki dengan setelan kemeja hitam dan dasi merah marun masih berada di dalam dan sibuk membaca sesuatu.
"Permisi.... " Jenni perlahan membuka pintu.
Si pemilik ruangan tersentak melihat kedatangan wanita berjas biru muda dengan blouse yang terdapat tali menggantung dan sok span tepat di atas lutut. Dia sempat berhenti bernapas sambil menebak-nebak mengapa wanita itu menemuinya. Sebelum akhirnya, perhatiannya tertuju ke tas yang dipegang wanita itu. Artinya bukan dalam konteks pekerjaan. Dia segera menutup berkas yang dibaca dan beranjak mendekat. "Ada perlu apa?"
Jenni mengedarkan pandang, khawatir jika Aleya atau karyawan lain di ruangan Sagra. "Boleh bicara sebentar?" tanyanya. "Tapi, ini masalah pribadi."
Tidak ada respons dari Sagra. Dia memperhatikan Jenni yang terlihat bertekad, ekspresi yang baru dia ketahui. "Masuk aja." Dia menggerakkan tangan menuju sofa. "Mau minum?"
"Saya bakal to the point," ujar Jenni setelah duduk di sofa. Dia menatap Sagra yang masih berdiri dengan satu tangan mencengkeram tasnya. "Masalah empat hari lalu." Dia berhasil mengatakan itu tanpa rasa gugup.
Kedua tangan Sagra refleks terkepal. "Ya, kenapa?"
"Saya menolak!" jawab Jenni tegas. "Saya nggak mau nyoba apapun."
Sagra segera duduk di hadapan Jenni. "Saya juga salah."
Selama beberapa hari Sagra dipusingkan dengan permintaannya kala itu. Dia ingin meminta maaf, tapi gengsi. Dia beranggapan biarlah masalah itu berlalu begitu saja. Tidak disangka, Jenni dengan berani datang ke ruangannya dan membahas lebih dulu. Dia kalah gentle.
"Salah?" tanya Jenni memastikan. "Ajakan waktu itu yang salah?" Dia menahan tawa. Sudah bisa ditebak jika Sagra gegabah saat mengajaknya.
Sagra mengambil tisu dan mengusap telapak tangannya. "Mungkin saya terbawa suasana. Atau saya cuma kasihan ke kamu makanya mengajukan seperti itu."
"Kasihan?" Jenni memajukan tubuh dengan ekspresi tak percaya. "Karena kejadian di tempat karaoke?"
"Ya! Saya yakin kamu berusaha mencari pasangan."
"Ck! Sok tahu," ejek Jenni meski kenyataannya seperti itu. "Bapak nggak kenal saya. Jadi, nggak usah ikut campur."
"Ya, saya minta maaf." Sagra meremas tisu yang sudah lecek itu. "Tolong lupakan ajakan saya waktu itu."
Jenni memperhatikan Sagra yang enggan menatapnya. Lelaki itu aneh dan angkuh. Padahal, Sagra sendiri yang mengajaknya, tapi alasan lelaki itu terkesan menyudutkannya. "Oke! Saya bakal lupain." Setelah mengucapkan itu Jenni berdiri.
"Ya...."
"Tapi saya jadi tahu kalau Pak Sagra gegabah. Terus, nggak mau disalahin."
"Kamu!" Sagra berdiri dan menunjuk Jenni. Ketika melihat dagu Jenni terangkat menantangnya, dia segera menurunkan tangan. "Mending kamu keluar daripada saya emosi. Cepat!"
Jenni mengangkat bahu acuh tak acuh. "Memang saya ingin keluar." Setelah itu dia benar-benar keluar.
Bugh.... Sagra mengempaskan tubuh di kursi. Dia mengusap kening, tidak menyangka reaksi Jenni seperti itu. Bahkan wanita itu marah-marah. "Gila, emang harus gitu responsnya?"
Mata Sagra terpejam. Bahunya naik turun. Dia menarik napas pelan untuk menghilangkan emosi yang mulai bergejolak. Sedangkan pikirannya kembali terbayang ketika dia mengajak Jenni. Sayangnya, ekspresi wanita itu barusan benar-benar melukai egonya. Namun, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul.
Dia orang yang gue butuhin. Setidaknya kebutuhan kita sama.
Sagra butuh seseorang untuk menumbuhkan perasaannya lagi. Kebetulan dia tahu Jenni berusaha mencari pasangan. Kebetulan? Segegabah itu? Ya, Sagra kali ini bertindak sangat gegabah. Bahkan dia menyelesaikan permasalahannya itu dengan gegabah pula. Bukan ciri khas Sagra sama sekali.
"Ini gara-gara dia yang matiin perasaan gue!" Sagra membingkai kepala ketika terbayang wajah cantik yang dulu mengisi hari-harinya.
Sagra tahu, berurusan dengan hati sering kali menggeser logikanya. Meski, dia terus berusaha menggunakan logika, tapi sering kali terlewat batas. Buktinya, dia mengajak Jenni untuk menjalin hubungan dalam kesepakatan. Di saat wanita itu menolak, ego Sagra terluka. "Emang seharusnya gue pakai logika aja daripada hati."
***
Keputusan gue nggak salah, kan?
Jenni terus memikirkan kalimat itu setelah keluar dari ruangan Sagra. Dia ingat telah berbicara ketus, padahal lelaki itu bosnya. Dia juga mulai khawatir ekspresinya saat berbicara dengan Sagra terkesan berlebihan. Sayangnya, setelah mengkhawatirkan itu dia akan menggeleng tegas, menyangkal semuanya. Dia yakin yang dilakukan tadi adalah tindakan yang benar.
Tapi bentar....
Langkah Jenni terhenti. Dia menyentuh dada merasakan ada sesuatu yang aneh. "Gue terbawa emosi. Gue juga ngerasa sedih? Aneh, deh!"