Perfect Office Romance

Yoou
Chapter #9

9-JADI GUE HARUS NYOBA?

Noda kecokelatan di rok putih Jenni tidak bisa hilang begitu saja setelah dibasuh dengan air. Dia jadi tidak nyaman memakai rok itu karena tercetak jelas bagian yang basah. Ingin pamit pulang, tapi takut Pak Yassar tidak mengizinkan. Jadinya, dia memilih keluar restoran dan berniat kembali setelah agak lama.

"Ah, kenapa, sih, harus ketemu dia?" Jenni berdiri di sudut kanan restoran sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Jenni terbayang saat Sagra marah karena telah menolak lelaki itu. Aneh, padahal lelaki itu yang menawarkan tanpa pikir panjang, harusnya sudah tahu konsekuensinya. Sekarang, Sagra menjadi lebih dingin kepadanya.

"Harusnya, kan, gue yang marah!" geram Jenni. "Dia bikin nggak nyaman sama pertanyaannya. Duh! Sebel."

Jenni menggaruk kepala lalu melihat arloji. Dia tidak tahu pasti berapa lama tiga lelaki itu berkumpul. "Kalau lama gue bisa mati berdiri."

"Kenapa harus mati?"

"Hah!" Jenni berjingkat. Dia menoleh, mendapati Sagra keluar dari pintu belakang. "Loh, Bapak?"

Sagra berdiri bersandar lalu menatap langit yang sepenuhnya gelap. "Kaget saya tiba-tiba muncul? Atau kaget yang lain?"

Jenni bergeser menjauh. "Bukan karena itu."

"Terus?" Sagra menatap Jenni penuh tanya. Wanita itu terlihat gelisah, terlihat dari kakinya yang terus bergerak. 

"Ya, Pak Sagra nggak perlu tahu." Jenni menghentakkan kaki lantas menjauh.

"Kamu hindari saya?"

Langkah Jenni seketika terhenti lalu mengepalkan kedua tangan. Rasanya dia ingin berbalik dan menjawab dengan gamblang. Namun, logikanya menolak.

"Kamu nggak mau dekat sama saya?" tanya Sagra ketika Jenni tidak kunjung menjawab.

Jenni tidak bisa diam lagi. Dia berbalik dan kembali mendekat. "Saya rasa Pak Sagra yang menghindari saya," jawabnya lantang. "Sebenarnya apa salah saya? Bapak sendiri yang memberi tawaran itu. Saya hanya menolak, tapi kesannya saya yang berbuat salah."

Sagra berdiri tegak menghadap Jenni. Dia melihat sosok wanita tegas, berbeda dengan yang ditunjukkan sebelum-sebelumnya. Tanpa sadar Sagra tersenyum.

"Kenapa? Kenapa malah senyum?" Jenni berusaha mempertahankan ekspresi marahnya. Meski agak susah melihat senyum Sagra yang memikat.

"Ini sisi lain dirimu?"

"Bisa nggak jangan terus tanya? Emang Pak Sagra kayak gini? Terus, ngasih pertanyaan balik?" tanya Jenni. "Kayaknya, sih, iya. Nggak ada angin nggak ada apa tiba-tiba ngasih ajakan aneh. Emang dasar orang aneh."

Sagra bertolak pinggang mendengar kalimat terakhir Jenni. "Orang aneh?"

"Ya!" jawab Jenni dengan berani. "Orang aneh yang tiba-tiba ngajak pacaran, giliran ditolak dia marah-marah. Dia yang menghindar, tapi gue yang disalahin. Apa namanya kalau nggak aneh?"

"Hmm...." Sagra mengangguk mengiakan. "Tapi, saya sudah berpikir."

"Tuh, kan, aneh! Lagi ngomong apa nyambungnya ke mana." Jenni geleng-geleng kemudian berbalik. "Mending saya pergi."

"Saya serius dengan ajakan saya!"

"Whatever!" Jenni melambaikan tangan tanpa repot-repot menoleh.

Sagra menurunkan kedua tangannya dari pinggang. Dia mengusul Jenni dan menarik tangannya. "Saya serius, Jen."

"Saya juga serius kalau Bapak emang aneh."

"Mau nggak nyoba pacaran sama saya?" tanya Sagra cepat. Dia menunduk, melihat tangan Jenni yang tampak kaku. Perlahan dia menggenggam tangan itu dan rasa kakunya semakin kuat.

Glek. Jenni menelan ludah. Dia sudah mempersiapkan diri jika Sagra berbicara aneh. Harusnya dia tidak kaget dengan kejadian ini. Namun, mengapa reaksi tubuhnya bertolak belakang? Terlebih, jantungnya berdegup lebih cepat dan ada aliran dingin dari bagian kaki dan naik ke kepala dengan cepat.

"Jen. Nggak mau langsung jawab?" desak Sagra.

Mata Jenni terpejam lalu menyentak tangan Sagra. "Jangan bikin saya berubah pikiran!"

Suara lantang itu terdengar ke setiap penjuru restoran. Pengunjung lain yang sedang makan serempak menoleh. Menatap seorang wanita yang berdiri tepat di pintu. Sedangkan di bagian luar ada seorang lelaki yang memperhatikan.

Lihat selengkapnya