Suara Brooke terdengar sungguh-sungguh. Dan, Milly yakin kalau temannya tidak berdusta. Berbeda dengan dirinya yang harus membuat cerita karangan yang melibatkan gurunya. Kapal bergoyang lagi dengan cukup kencang. Milly bergidik membayangkan petugas yang harus berjaga sepanjang malam untuk memastikan semua baik-baik saja. Badai dan dingin yang menusuk tulang merupakan kombinasi tepat untuk membuatnya ingin menangis.
“Ke mana yang lain?” Milly baru menyadari kalau hanya dia dan Brooke yang berada di kabin itu. Tempat tidur lain masih rapi dan kosong.
“Mereka biasanya lebih suka berkumpul bersama di ruang makan. Entah untuk mengobrol, berdoa, atau berbagi pengalaman. Terutama dalam kondisi seperti ini.”
Mata Milly membulat, bulu tangannya meremang. “Apa maksudmu?” tanyanya cemas.
Brooke tertawa geli. “Aku yakin, kamu bahkan tidak punya pengalaman naik kapal laut sebelum ini. Itu pasti yang membuatmu selalu ketakutan, setiap kali kapal berguncang. Untungnya, kamu tidak sampai mabuk laut.”
Milly mengabaikan nada menyindir dari suara Brooke. “Apakah kita dalam bahaya?” Wajahnya memucat. Brooke buruburu menggeleng.
“Tidak, ini hal yang biasa. Di sini memang sering terjadi badai. Sinead Purple bukan kapal sembarangan yang mudah takluk. Percayalah!”