Dunia itu memang panggung sandiwara. Benar adanya.
Sebagai orang tua aku tahu pasti seperti apa kelakuan anak mudah jaman sekarang. Berita buruk tentang diriku sudah tersebar luas di desa ini. Budhe Sastro gila harta, budhe Sastro gila hormat, budhe Sastro punya ilmu hitam dan sebagainya. Aku hanya melihat dari dalam kepompong diriku yang paling dalam. Karena semua itu mungkin ada benarnya juga.
Semua berawal dari bisikan 'konco-konco' atau teman-temanku sejak kecil.
Merekalah yang memberitahuku kalau waktuku tidak lama lagi. Memang aku sudah tua. Mereka ingin teman yang baru. Aku menyanggupinya. Mereka telah banyak membantuku.Mereka itu titipan nenek buyutku, mereka memasukiku begitu saja. Aku bahagia, mereka bahagia. Sudah begitu saja. Tidak perlu drama, tidak perlu ramai, tidak perlu repot.
Aku memberi mereka makan, mereka membantuku. Aku tidak perlu melihat mereka, walaupun kadang mereka menampakkan diri sebagai nenekku atau suamiku. Aku tidak takut, atau mungkin tepatnya aku tidak peduli. Teman-teman spiritualku itu memilih teman baru mereka sendiri. Dan pilihan mereka benar-benar di luar dugaanku. Mereka memberitahuku dalam mimpi. Dan ketika terbangun aku benar-benar terheran-heran kenapa mereka memilih orang-orang itu.
Sas?
Wanita itu licik. Aku tahu. Dia suka bohong. Dia suka mengambil kesempatan dalam kesempitan, dia terlalu banyak mengambil untuk dalam jual beli emas. Pilihan yang tepat.
Sehingga aku mengarang cerita tentang keinginanku menjadi muda. Keinginanku mendapatkan tumbal dan sebagainya, dan sebagainya dan sebagainya. Aku sudah bosan. Mungkin karena waktuku memang sudah dekat.
Dan seperti dugaanku, Sas menyanggupi hanya dengan iming-iming uang saja. Dia memang cocok menjadi teman baru koncoku. Dan ketika Sas menyanggupinya, koncoku berkurang satu. Masuk ke dalam tubuh Sas.
Aku melihat koncoku masuk ke dalam tubuh Sas, mengalir di aliran darahnya dan menjadi satu dalam watak Sas yang penuh dengan iri dengki. Aku tahu dia yang menyebarkan berita bahwa Budhe Sastro suka sekali dengan harta. Siapa yang tidak suka dengan harta?
Dan benar seperti bisikan koncoku, Sas itu pengkhianat. Benar, dia mengkhianati kepercayaanku dengan menyebarkan gosip tentang pencarian tumbalku. Aku tersenyum dalam gelap. Sas mudah diatasi. Walaupun dia mulai mengaji, aku tahu hatinya mudah goyah dengan harta.
Pada hari itu aku datang ke rumahnya. Berpura-pura memarahinya karena telah mengubah Tumini menjadi baik dan alim. Padahal sebenarnya hari itu membawa bekal air yang sudah diberi doa dukunku, yang kusebar di luar rumahnya, agar koncoku tidak mati kepanasan di dalam tubuh Sas yang mulai mengaji. Kuharap koncoku betah di sana.
**
Hari itu secara tidak sengaja Bu RT datang ke rumahku. Meminta sumbangan katanya. Padahal dia bohong. Salah satu koncoku membisikiku, dia ingin menjadikan Bu RT teman barunya. Aku menyanggupinya.
Aku menghidangkan kopi pahit khusus untuk Bu RT. Kopi yang kudapatkan dari lereng gunung tempatku bertirakat sejak dulu.
"Monggo, Bu. Diminum dulu kopinya," kataku.
Bu RT tersenyum simpul.
"Matur nuwun, Budhe. Jadi repot," kata Bu RT basa-basi. Dia menyeruput kopi itu. Dan temanku berkurang satu lagi. Temanku masuk dengan bantuan kopi yang tlah dimantrai itu.
Aku melihat temanku di senyum Bu RT, nampaknya dia akan suka bersama dengan Bu RT. Aku tersenyum.
"Monggo, Bu, ini ada oleh-oleh dari desa saya," kataku sambil memberikan makanan pertama untuk temanku yang sudah masuk ke dalam tubuh Bu RT, biar dia awet dan betah di sana.
**