PERHIASAN TERKUTUK

Endah Wahyuningtyas
Chapter #7

Bagian 7 : Cerita-cerita

Cerita Saras

 

Aku langsung lemas ketika ustadz mengembalikan kalung itu kepada wanita yang disebut Bu RT itu. Wanita pertama yang langsung pingsan ketika awal ruqyah tadi. Aku takut.

"Sabar, Ras, ustadz pasti punya alasan sendiri," hibur teman-temanku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Tapi aku melihat sendiri kalung itu di kios bunganya. Kalung itu begitu mencurigakan, seperti diberi sesaji," isakku.

Tyas dan Aina memelukku.

"Setelah ini kita tanya ustadz kenapa kalung itu dikembalikan, ya, sabar dulu, orangnya masih di sini," bisik Aina ketika Bu RT melewati kami dengan pandangan sinisnya. Ya Allah, aku sangat ingin merebut kalung itu. Tapi tentu saja aku tak kuasa. Lututku terasa begitu lemas.

 

*

Malam harinya kami dikumpulkan ustadz di aula masjid. Dia menjelaskan tentang terapi ruqyah yang kami lakukan tadi. Beliau menerangkan banyak hal tentang sihir dan jin yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia.

"Jin itu mahluk yang berbeda dengan manusia. Seandainya bisa dijelaskan dengan kata-kata maka jin itu seperti halnya energi, beda dengan manusia yang memiliki wadah berupa tubuh atau raga kita. Sehingga mungkin orang tidak percaya ketika kita mengatakan ada jin yang masuk ke dalam aliran darahnya. Lagipula mahluk macam apa yang bisa masuk ke tubuh manusia seluwes itu, bisa mengikuti bentuk tubuh kita, bisa mengikuti aliran darah kita. Tapi tetap saja tugas kita adalah percaya pada hal gaib yang diciptakan Allah. Karena jin juga mahluk Allah," jelas ustadz.

"Fitrah jin tidak bisa terlihat oleh manusia dan apabila jin itu bisa dilihat oleh manusia maka ada dua pendukungnya yang pertama ada jin di dalam manusia itu dan yang kedua ada bantuan sihir dari dukunnya para jin. Iya, di dunia jin juga ada dukun seperti halnya di dalam dunia manusia."

Kami menggumam setuju. Begitu ajaibnya semua ciptaan Allah, yang walaupun kadang membuat merinding tapi sangat menantang untuk dipelajari.

"Kita bisa melihat bagaimana manusia yang meminta bantuan kepada jin, atau mendapat bantuan jin. Semua tidak pada tempatnya sehingga muncul kejanggalan-kejanggalan di luar akal pikiran manusia. Tentu saja meminta bantuan kepada jin sangat besar dosanya, ditambah pula dengan sulitnya memutus hubungan dengan jin dan memintanya keluar dari tubuh manusia. Sebenarnya meminta bantuan kepada jin itu sangat besar resikonya, bahkan mungkin harus ditanggung sampai akhirat nanti," lanjut ustadz lagi.

"Nah, sekarang ustadz juga ingin menanyakan kepada salah satu akhwat di sini, Mbak Saras, mengenai masalah kalung tadi," kata ustadz lagi, membuat semua orang melihat ke arahku.

"Iya ustazd," jawabku. Walaupun takut dan malu, aku berniat akan menanyakan hal itu pada ustadz.

"Awalnya beberapa pekan yang lalu saya diajak saudara saya ikut darma wisata dengan sekolahnya dari Jakarta. Setelah berdarma wisata kami mampir ke toko bunga Bu RT kemarin. Kami membeli bunga untuk oleh-oleh," lanjutku.

"Apakah Mbak Saras melihat hal aneh di sana?" tanya ustadz.

Aku mengingat-ingat apa yang kulihat di sana.

"Rasanya tidak ada yang aneh, ustadz. Hanya sebuah kios bunga kecil bernama "Kios Bunga Kanthil", kios bunga yang biasa sebenarnya. Tidak ada yang benar-benar istimewa, cukup banyak bunga dan tanaman-tanaman yang sedang ngetren, yang menarik perhatian hanya ada beberapa gantungan bunga melati atau kanthil yang hampir sama seperti yang diPakai para pengantin di beberapa sudut kios. Baunya juga bau wangi melati itu. Saya pikir memang untuk memberi efek dramatis. Tapi secara umum kios itu biasa saja, tidak seperti gambaran dari 'guide' kami yang mengatakan bahwa kios itu sedang 'booming'."

Kami terdiam. Ketika mengingat bau bunga melati di kios itu, kok aku jadi merinding sendiri, jangan-jangan itu syarat agar kios bunganya laris, ya?

"Di mana kamu menemukan kalung itu, Ras?" tanya beberapa temanku tidak sabar. Ustadz tersenyum bijaksana.

"Sabar dulu, ya? Nanti juga sampai ke sana juga ceritanya. Tolong lanjutkan, ya, Mbak Saras."

"Saat itu saya memang tidak berniat untuk membeli, saya sendirian berada di luar toko mengamati tanaman-tanaman yang ada di sana. Kemudian saya mulai berjalan-jalan berkeliling kios itu. Nah, di salah satu sudut kios saya melihat sebuah wadah porselen cantik berwarna biru muda. Cantik sekali. Isinya penuh dengan bunga kanthil. Saya ambil saja. Ternyata isinya kalung." Aku berhenti sebentar.

"Saya ambil saja. Dan karena saya merasa kalung ini berada di tempat yang agak ganjil, maka saya berniat memberikannya kepada ustadz," lanjutku sambil menundukkan kepala. Aku malu karena aku memang bersalah telah mencuri kalung itu.

"Apakah kalungnya seperti ini, Mbak Saras?" tanya ustadz.

Teman-temanku berseru terkejut. Aku juga terkejut dan terkesiap. Mataku melotot tak percaya dengan apa yang kulihat. Jadi, yang tadi itu?

"Kok, bisa ada di ustadz?" tanyaku sangsi. Ustadz tersenyum lebar.

 

**

 

Cerita Ustadz Irfan

 

"Sejak ustadz menerima kalung ini, ustadz jadi bimbang. Kenapa seorang santri di pesantren ruqyah malah mencuri. Tapi tidak ada salahnya ustadz mencoba satu hal," kataku, membuat Saras terkesiap sekaligus malu dan anak-anak yang lain berseru terkejut.

"Ketika terapi ruqyah tadi ustadz meminta seseorang membawa kalung itu ke belakang dan meMbakarnya. Siapa tahu ada yang bereaksi. Ustadz kira kalung itu milik Mbak Tumini. Ternyata dugaan ustadz salah," lanjutku.

"Tapi kalungnya sudah di berikan kepada Bu RT lagi, Ustadz," seru seseorang. Aku menggelengkan kepalaku.

"Kalungnya sudah ustadz tukar. Ustadz takut nanti beliau semakin terjerat dengan syirik," jawabku.

Anak-anak menyerukan hamdallah. Termasuk Saras yang langsung terlihat lega. Beberapa santri akhwat berpelukan.

Lihat selengkapnya