PERHIASAN TERKUTUK

Endah Wahyuningtyas
Chapter #8

Bagian 8 : Tak Tertolak

 

Nur memandangi botol air yang dibawakan budhe Sastro barusan dengan galau. Sejak awal dia sudah curiga, kenapa budhe Sastro kok, tiba-tiba datang ke rumahnya yang berada di ujung desa. Jauh dari mana-mana. Biasanya kalau hanya mengantarkan oleh-oleh dia pasti akan menyuruh orang melakukannya. Anehnya Budhe Sastro sudah tiga kali datang ke rumah Nur, hanya untuk melalukan itu. Tidak mungkin tidak ada apa-apanya.

Nur membuka botol itu. Dengan cepat air dalam botol digunakan untuk menyiram tanaman di kebunnya. Nur bergidik.

Naudzubillah!

Hiih, ngeri, kalau dia benar-benar meminum air itu. Bisa gawat urusannya.

 

**

 

"Nur, buatkan kopi yang kemarin itu, ya! Ada tamu," kata mas Slamet suaminya.

Nur menjengit.

"Kopi apa, mas?"

"Kopi yang ada di plastik kemarin itu. Aku kemarin malam buat sendiri. Buruan, buatin!" jawab mas Slamet dan buru-buru ke ruang tamu. Nur beristighfar.

"Astaghfirullah, jangan-jangan mas Slamet minum kopi dari Budhe Sastro. Aduh, mau kubuang malah lupa!" desis Nur. Dia segera membuang kopi itu dan membuatkan kopi yang lain untuk suami dan tamunya.

 

**

 

"Aneh, ya. Kopi yang kamu buatin kemarin nggak ada pengaruhnya, Nur," kata Slamet pada malam harinya.

"Pengaruh gimana?" Tanya Nur curiga.

Nur tidak suka kalau urusannya sudah masalah ini. Dia sering ikut mengaji dengan Ustadz Irfan. Kata Ustadz Irfan, rezeki bukan berasal dari benda, rezeki dari Allah. Contohnya kalau kita Pakai cincin akik terus kita merasa rezeki kita jadi banyak, kata Ustadz Irfan itu namanya syirik. Nur takut dia berbuat syirik. Nur mengingat dan mencatat dalam hati bahwa kalau dosa syirik itu tidak akan diampuni Allah.

 

"Ya, kemarin aku minum kopi itu, Nur. Tiba-tiba banyak banget yang mau beli burungku. Aku udah deal sepuluh transaksi, lho, Nur. Eh, yang kesebelas ini kok gagal. Padahal tadinya dia mau harga tiga puluh juta. Tiba-tiba dia tadi nawar sepuluh juta. Haduuuh, ya terPaksa kulepas aja, daripada nggak dapat duit," kata Slamet penuh penyesalan.

Hati Nur mencelos. Besok dia harus menemui Ustadz Irfan.

 

**

 

"Apa yang dilakukan Bu Nur sudah benar," kata Ustadz Irfan sambil tersenyum, "kopinya dibuang di mana?" Tanya Ustadz Irfan lagi.

"Saya buang di halaman belakang, terus saya bakar dengan sampah daun sambil saya bacakan Al Ma'tsurat seperti yang diajarkan ustadz," kata Nur.

Ustadz Irfan memuji Nur, membuat Nur berdebar-debar bangga. Berarti apa yang dilakukannya selama ini benar. Alhamdulillah.

 

**

 

"Nur... Nur..."

Nur terbangun, terduduk. Keringatnya bercucuran. Siapa yang memanggilnya?

Panggilan itu terasa begitu dekat. Tapi Nur sadar suara itu jelas bukan dari dirinya. Dari sesuatu yang lain yang ada di dalam dirinya. Nur terhenyak.

Dia ingat pengajian Ustadz Irfan tentang orang yang dimasuki jin, salah satu cirinya adalah seperti mendengar suara bisikan dari dalam dirinya. Nur beristighfar berulang kali. Dia berusaha membaca surat-surat dalam Al Ma'tsurat yang sudah separuh dihafalnya. Tapi bibirnya terasa kelu.

"Jangan di lawan, Nur. Kamu masih kecil," kata suara itu disusul dengan tawa kikikannya.

Nur merinding. Dia segera bangun dan berniat ke kamar mandi untuk berwudhu.

"Jangan, Nur! Jangan lakukan itu!" Perintah suara itu.

Nur berniat hendak melawan. Dia tetap memaksakan diri untuk bangun. Nur berhasil bangun dan berjalan sampai ke pintu kamarnya, ketika dia mendengar suara ledakan maha dahsyat diatas rumahnya.

Duarrrr!!!

Lihat selengkapnya