PERHIASAN TERKUTUK

Endah Wahyuningtyas
Chapter #9

Bagian 9 : Pertemuan

POV TUM

 

Setelah ruqyah itu, secara pribadi aku jadi membenci Bu Nur. Dia yang mengajak kami semua ikut ruqyah, sehingga ketahuan semua siapa yang memiliki 'bekal' di dalam tubuhnya. Dan secara pribadi ustadz meruqyahku, membuat tubuhku sakit semua, dan 'bekal' dalam tubuhku mengancam untuk pergi dari tubuhku.

"Kalau kamu ruqyah lagi, aku akan pergi, dan semua rahasiamu akan terbongkar, Tum!" seru jelmaan jin itu dalam mimpiku. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Atau aku bisa mengambil sukmamu, dan kamu akan berada di antara hidup dan mati sampai ajal menjemputmu," bisiknya lagi. Aku terdiam tapi aku tidak ingin ditinggalkan oleh 'dia'. Aku mendongakkan kepalaku.

"Jangan pergi!" bisikku lirih tapi tegas, entah kenapa aku menangis, "jangan tinggalkan aku!" bisikku lagi.

'Dia' tersenyum lebar. Tepatnya wujud yang ada di depanku tersenyum lebar.

"Bagus! Kalau begitu jangan pernah bergaul dengan mereka lagi!" teriaknya keras.

Dengan ketakutan aku menganggukkan kepalaku. Aku menunduk, takut melihat wajah murkanya.

Hening.

Ketika aku mendongak sosok itu tidak ada. Dan di depanku aku melihat masjid. Aku berada di dalam masjid. Ketika Bu RT sedang melihat kalungnya. Di sudut lain aku melihat pemandangan yang sangat aneh, sekaligus mengagetkan. Aku melihat Bu Sas sedang berlutut di depan lemari penyimpan mukena. Dia seperti memungut sesuatu dari dalam lemari itu.

Kemudian dia tersenyum puas, dan langsung memasukkan apapun yang ditemukannya itu ke dalam tasnya. Bu Sas langsung bertingkah biasa lagi dan langsung menghampiri rombongan kami.

Dari mimpi ini aku melihat diriku sendiri terduduk diam, menahan rasa sakit dicekik oleh 'Dia' yang pada saat itu merasa kepanasan karena di ruqyah. Aku masih merasakan 'Dia' begitu marah, mencengkeram leherku kuat-kuat. Tubuhnya panas terbakar ayat ruqyah. Tapi 'Dia'bertahan.

Oh, ya, 'dia' memang kuat.

 

**

 

"Bu Sas!" panggilku dari depan pagar rumah bu Sas. Bu Sas sedang menyapu halaman rumahnya.

Bu Sas menoleh ke arahku.

 

"Eh, Tum. Ada apa Tum?" tanyanya. Wajahnya tanpa dosa.

"Kemarin nemu cincin, ya?" tanyaku tanpa basa-basi.

Bu Sas nampak terkejut. Dia menghentikan aktivitasnya menyapu halaman.

"Jangan fitnah, Tum! Fitnah itu dosa," jawabnya enteng, dan berpura-pura tenang. Sekilas terlihat ketakutan di matanya.

Aku tersenyum.

"Nemu cincin di masjid. Berliannya asli, beratnya 3 gram, lho! Tadi sudah diperiksakan ke Koh Lim, kan?" lanjutku, menyebutkan semua aktivitas bu Sas hari ini. Bu Sas melotot marah. Mulutnya bergerak-gerak seperti hendak berbicara, tapi tidak jadi.

"Bener, kan, Bu?" tanyaku dan menatapnya menantang.

"Kurang ajar, kamu, ya, Tum!" desis Bu Sas marah.

Kami berpandangan. Diam.

"Apa maumu?" tanya bu Sas dengan penuh kemarahan.

"Saya cuma mau bilang hati-hati. Cincin itu isinya berat, Bu. Kalau nggak kuat Bu Sas bisa jadi korbannya. Bisa gawat, Bu!" kataku tandas.

Bu Sas masih memandangku tajam. Dia tidak mau mengalah. Walaupun aku tahu, dia sebenarnya takut.

"Aku tidak akan menyerahkan cincin itu padamu, Tum!" seru Bu Sas keras.

Aku mencibir.

"Saya nggak minta!" kataku sambil pergi.

 

**

 

Setelah Budhe Sastro meninggal memang jadi beda. Yang berangkat pengajian sekarang sedikit. Bu RT sibuk dengan kios bunganya yang sedang ramai-ramainya, Bu Sas entah bisnis apa, selalu sibuk ke sana ke mari. Cuma Bu Nur yang rajin mengajakku mengaji. Tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. Aku tidak mau 'dia' marah lagi padaku.

"Tum, kok, sekarang nggak pernah ngaji?" Tanya Bu Nur pada suatu sore, "kamu juga nggak pernah sholat di musholla lagi?" Tanya Bu Nur lagi.

Aku tersenyum ramah.

"Sedang datang bulan, Bu," jawabku asal.

"Oh, gitu, besok kalau sudah nggak datang bulan sholat di musholla lagi, ya," ajak Bu Nur.

Aku hanya mengangguk, mengiyakan, biar Bu Nur cepat pergi. Aku malas pergi-pergi dengan Bu Nur, soalnya pasti mengajak ke ustadz yang kemarin meruqyah itu.

 

Huuh, kalau ingat Ustadz Irfan, tiba-tiba aku merasa begitu marah. Aku benci padanya. Tapi entah kenapa di relungku yang paling dalam aku merasa ada sedikit harapan pada ustadz itu, dan setiap pikiran itu muncul pasti sesuatu terjadi.

Telpon genggamku berbunyi. Aku melihat siapa yang menelpon. Membaca namanya aku tersenyum lebar.

"Halo," saPaku dengan senyum yang semakin lebar.

"Halo, Tum. Lagi apa?" Tanya suara di seberang sana.

"Baik, Mas. Mas juga baik kan? Kapan Tum boleh ke kota lagi?" tanyaku. Tiba-tiba hatiku merasa begitu rindu.

"Mampirlah kapan pun kamu mau. Mas sekarang sering di rumah," jawab suara itu.

Aku tersenyum.

"Benar, Mas? Wah, kalau pekan depan boleh nggak Tum main ke kota, Mas?"

"Boleh, Tum. Kamu masih menuruti Kanjeng Ratu kan?" Tanya suara itu lagi.

"Masih, Mas. Selalu," jawabku.

"Bagus. Jangan sampai tidak. Jangan terlalu memikirkan ustadz itu. Jangan terlalu sering bergaul dengan temanmu yang mnegajak ngaji, Tum!"

"Iya, Mas," jawabku pendek.

Entah kenapa aku merasa agak sedikit heran. Kenapa setiap aku merasa hendak percaya dengan kaya Ustadz Irfan, pasti dia menelponku dan mengatakan hal yang sama. Jangan percaya dengan ustadz, jangan dipikirkan apa yang dikatakan ustadz, jangan sering mengaji, jangan sering bergaul dengan teman yang mengajak ngaji, kok bisa tahu dengan tepat isi hatiku?

"Tum! Jangan berpikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan!" teriak suara itu. Membuatku terkejut dan bergetar.

"Iya, Mas, maaf," kataku terbata-bata.

"Untuk meyakinkan Kanjeng Ratu, nanti malam kamu harus menyiapkan sesaji seperti biasa, Tum. Yakinkan Kanjeng Ratu untuk selalu mau membantumu," kata suara itu lagi.

Aku mengiyakan suara itu dan dia pun menutup telpon.

Lihat selengkapnya