Pernah merasakan jadi yang paling jelek? Pernah merasakan jadi yang paling aneh? Pernah merasakan jadi yang paling tertinggal?
Ya, itulah aku, Sas. Namaku hanya tiga huruf saja, S-A-S. Itu saja.
Sejak awal namaku sudah jadi bahan ejekan. Sas, Ses, Sus, Sos. Selalu ditertawakan, kalau Bu Guru memanggilku, Sas, maka anak laki-laki akan menyahut : Ses, Sus, Sos, dan mereka tertawa, dan Bu Guru diam saja. Belum lagi tubuhku yang kerempeng dan tinggi, ditambah jelek pula. Ketika aku lewat di depan anak laki-laki biasanya mereka akan bilang,
"Awas ada triplek lewat! Awas ada kartun lewat!" Teriak mereka sambil tertawa-tawa.
Aku sudah bisa menelan semua ketidakadilan itu bulat-bulat. Dan secara kebetulan, aku juga bodoh. Atau paling tidak itulah yang dikatakan guruku kepadaku : bodoh.
"Belajar, Sas, kamu sudah kelas tiga. Masak dari kelas satu sampai kelas tiga kayak gini aja. Kapan majunya kalau kamu jalan di tempat?"
Aku sudah biasa menelan ketidakadilan itu bulat-bulat. Aku hanya duduk diam, memandang lurus ke depan atau menunduk. Aku tidak melawan, aku tidak menangis. Aku mencatat dalam hati dan berharap suatu hari nanti aku bisa menunjukkan kepada mereka bahwa aku pasti akan berhasil membuktikan bahwa aku bisa.
*
Tapi seisi alam semesta memang seakan melawanku.
Setelah dewasa pun aku tidak banyak berubah. Masih kurus, masih tinggi, dan masih jelek. Diantara teman-temanku aku hanya pelengkap penderita saja. Mereka mengajakku bermain atau belajar bersama-sama untuk alasan etika, rasanya tidak pantas kalau Sas tidak diajak ikut serta.
Setelah menikah pun aku masih sama. Malah bertambah kurus setelah tahu suamiku ternyata tukang selingkuh dan kuputuskan untuk meninggalkannya. Kemalangan nasibku belum berhenti sampai di situ, setelah aku berpisah dengan suamiku aku masih harus menanggung hutang-hutangnya.
Tetapi aku tetap diam. Tidak berontak, tidak menolak. Aku hanya diam.
**
Dan aku mulai berdagang. Jual beli emas kecil-kecilan. Dan kemudian aku bertemu dengan Budhe Sastro.Sejak awal aku tidak suka dengan orang satu itu. Dia tidak seperti penjual pada umumnya. Dia biasanya akan datang ke pasar siang bolong. Membuka toko emas kecilnya, duduk bersilang kaki dan merokok. Dia nampak tidak peduli ada yang mau beli atau tidak.
Dia juga nampak tidak menyukaiku. Setiap aku datang ke tokonya, dia selalu pamer ini, pamer itu. Bercerita tentang barang barunya, tentang keuntungan yang di dapatnya, yang pasti segala sesuatu tentang uang. Kadang hatiku terbakar mendengar semua bualannya itu. Tapi aku hanya mendengarkan saja.
"Kamu itu harus belajar mengungkapkan isi hatimu, Sas. Jangan dipendam saja," kata Budhe Sastro.
"Maksud budhe apa? Saya juga sering ngomong, lo Budhe," jawabku naif.
Budhe tersenyum mencibir.
"Bukan itu, maksudku. Maksudku kamu harus lebih pintar berkomunikasi dengan orang lain, jangan manut saja, jangan diam saja kalau diakali orang lain. Kamu harus melawan," kata Budhe Sastro.
Aku menjengit dan merasa tidak suka dengan yang diungkapkan Budhe Sastro barusan.
"Kamu harus punya kharisma, Sas. Tidak perlu belajar aku punya cara yang lebih nyaman bagimu," lanjut Budhe Sastro.
Dan, begitulah, aku mulai mengenal susuk, aku mulai mengenal cara-cara lain dalam memikat hati orang.
*
Aku menunggu dukun itu lebih lama dari yang kukira. Dan yang lebih menyebalkan lagi aku harus menunggu di gubuk sudut desa, yang sepi. Aku malah takut ketahuan orang, tempat ini sangat mencurigakan.
Beberapa kali kutengok ke jalan kecil di depan gubuk itu. Tidak ada tanda-tanda orang atau kendaraan yang lewat. Aku menelan ludah. Kok, aku jadi takut, ya? Mungkin seorang Sas memang tidak pantas berada di sini. Kuputuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Kalau memang duku langganan Budhe Sastro itu tidak datang aku akan pergi saja.
Tiba-tiba sebuah motor dinas mendekat ke arah gubuk tempatku menunggu.
Lho, itu kan Pak Carik?
Waduh, malu aku ketahuan Pak Carik sedang menunggu dukun di sini. Jangan-jangan nanti dikira aku akan melakukan tindakan mesum di tempat sepi seperti ini.
"Sas!" panggil Pak Carik keras.
Aku menganggukan kepalaku.
"Dalem, Pak," jawabku hormat.
"Kamu yang nunggu aku?" tanya Pak Carik.
Hatiku mencelos.
"Menunggu baPak?" tanyaku bingung. Seandainya aku menjawab iya, terus aku ada kepentingan apa dengan Pak Carik. Kalau aku menjawab tidak malah akan menimbulkan kecurigaan, terus aku sedang apa di sini. Haduh, bingung.