Sosok anak laki-laki dengan kalung terbuat dari tali lentur berwarna hitam yang bandulnya berbentuk lingkaran sebesar ukuran ibu jari orang dewasa berwarna perak menelusuri jalan dengan membawa karung ukuran kecil bergambar padi yang sudah usang. Baju pendek dan celana panjang yang dikenakannya tampak lusuh dan beberapa bagian ditambal dengan kain perca. Jahitan yang ada pada bagian-bagian tambalan itu jelas terlihat. Kakinya dibiarkan telanjang dan bergesekan dengan aspal yang panas karena sengatan matahari siang itu. Kendaraan yang lalu lalang dan orang-orang berpakaian rapi tak sedikit pun memedulikannya. Di tangan kanannya ada sebatang besi kecil dengan panjang setengah meter yang ujungnya membentuk pancing. Sesekali ia berhenti ketika menemukan botol minuman plastik atau kemasan minuman gelas dan langsung mengambilnya dengan besi itu dan memasukkannya ke dalam karung yang ia bawa di punggungnya. Bawaannya tampak mulai banyak dan hampir memenuhi karungnya.
Ia segera bergegas seperti ingin melakukan sesuatu. Sampai di suatu tempat, ia berbelok menuju gang sempit yang menuju pada tempat pengumpulan sampah. Ia adalah Zafir, si anak malang yang sudah ditinggal ayahnya sejak masih bayi. Ia melangkah mendekati sebuah tempat tinggal yang di sekelilingnya dipenuhi dengan barang-barang bekas yang terbuat dari plastik. Di tempat tinggal tersebut ada seorang laki-laki paruh baya yang sedang memilah-milah botol-botol plastik dan mengumpulkannya di dekat kebun pisang. Zafir segera menghampiri laki-laki tersebut.
“Assalamualaikum mang Qohar”! sapa Zafir dengan wajah ceria sambil menaruh karung berisi barang-barang bekas dari plastik itu di sebelah kirinya.
Wa ’alaikumsalam, eh, kau Zafir! Gimana hari ini? Apa dapat barang yang banyak? kata lelaki paruh baya itu yang ternyata adalah pemilik bank sampah plastik. Ia keluar rumah gubuknya dengan menggunakan celana kolor warna coklat tua, kaos oblong warna putih dan topi anyaman pandan. Handuk kecil masih tersampir di lehernya
Zafir menjawab dengan senyum dan mengangkat karung yang dibawanya yang cukup penuh. Mang Qohar mengacungkan jempolnya sambil tersenyum tanda salut atas usaha Zafir hari itu.
“Ayo sini duduk, kau pasti haus. Nih mang Qohar ada minuman untukmu”.
Ia menuju ke arah meja yang ada di depan jendela rumah. Ia mengambil dua gelas minuman dari lima gelas yang ada di atas meja tersebut, kemudian kembali ke arah Zafir dan menyodorkan segelas minuman kemasan plastik dengan sedotannya yang ia taruh di atas kemasan dan menjepitnya dengan jari telunjuknya. Adapun yang satunya lagi ia genggam dengan tangan kirinya.
“Wah, terima kasih Mang, kebetulan memang Zafir sedang haus nih!”.