Ia tak mau terus menderita dan tenggelam dalam lumpur kesedihan yang ia derita berlarut-larut. Ia melanjutkan perjalanannya menuju ke suatu tempat yang agak sepi di samping sebuah kebun singkong. Tampak rumah berdinding bambu yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Tiangnya yang yang terbuat dari kayu sudah mulai rusak dan keropos diserang rayap yang memang tak mengenal kata-kata belas asih. Dinding bagian bawahnya terlihat banyak yang retak sehingga batu batanya jelas terlihat kotor karena tanah di waktu hujan maupun debu yang bertahun-tahun melekat. Zafir memasuki rumah itu.
“Assalamu’alaikum”
Di dalamnya tampak seorang wanita paruh baya bertubuh kurus sedang berbaring di atas kasur tipis di atas plesteran. Di sampingnya ada segelas air putih. Ia adalah Ratih, ibunya Zafir.
Wa’alaikumsalam,
Zafir menghampiri Ibunya dan membantunya untuk duduk bersandar pada dinding dengan beberapa bantal.
“Zafir, seandainya emak dapat berjalan sebagaimana wanita yang lain, tentu kau tidak capek seperti ini nak”