Peri Padi

Encep Nazori
Chapter #7

Peri Di Tengah Kota

15 tahun telah berlalu tanpa terasa. Seorang pemuda dengan celana katun warna hitam dan baju lengan panjang warna krem bermotif garis-garis diagonal warna coklat tua, keluar dari gang membawa sebuah gitar akustik di tangan kananya. Ia memasuki sebuah bus antar kota yang sedang mengetem di dekat terminal. Sebuah lagu dilantunkannya di depan para penumpang yang sudah memenuhi hampir seluruh kursi yang ada. Pemuda berperawakan tinggi dan tegap serta berwajah tampan dengan rambut ikal yang hitam itu membawakan lagunya dengan merdu. Seluruh penumpang yang ada dalam bus tampak fokus pada alunan lagu dengan suara merdu yang dilantunkannya. Beberapa di antaranya tersenyum dan menganguk-anggukan kepalanya tanda cocok dan selaras dengan lagu yang dimainkan.

Pemuda itu mengedarkan kantong plastik bekas bungkus permen kepada para penumpang yang ada. Sebagian besar penumpang memberikannya uang diiringi dengan guratan sumringah di wajahnya tanda apresiasi dengan lagu dan suara yang dimilikinya, bahkan juga langsung memujinya dengan kalimat “makasih mas, suaranya ok juga”. Ada juga di antara mereka yang memberi ala kadarnya. Di salah satu kursi bus bagian belakang, ada juga seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih bergaris yang memberikan kepadanya uang kertas yang dilipat kecil sambil tersenyum kepadanya dan mengacungkan jempol. Zafir membalas senyumnya sambil menunduk mengucapkan terima kasih. Di sampingnya ada seorang laki-laki dengan mengenakan topi warna hitam yang ujungnya menutupi setengah wajahnya. Kepalanya tersandar penuh di kaca jendela dengan mulut berkumis tebal yang setengah terbuka karena dilanda rasa kantuk yang tak tertahankan. Di dekat pintu bus bagian belakang, ada seorang wanita paruh baya dengan kaca mata hitam berbaju kantoran yang memberi isyarat dengan mengangkat tangannya saja sebagai pertanda tidak punya recehan atau memang tidak ingin memberikan.

Pemuda tersebut segera turun dari bus setelah selesai sambil menaruh kantong plastik yang berisi uang itu di dalam kantong celananya yang sebelah kanan. Ketika ia mulai memasukkan kantong plastik berisi uang itu ke dalam kantong celananya, sambil melihat ke kantong celananya, dan tanpa sadar pemuda itu berjalan agak sedikit ke kanan. Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam melintas dan kehilangan kendali sehingga menyerempet pemuda tersebut hingga jatuh. Mobil tersebut berhenti beberapa meter di depan. Pintu depan mobil terbuka. Tampak kaki kanan seorang wanita dengan sendal warna hitam ber-hak pendek mendarat di atas aspal. Kaki dengan celana panjang katun warna hitam mulai melangkah. Blus warna putih dengan motif bunga-bunga menghiasi tubuh gadis berperawakan semampai itu. Rambutnya yang hitam panjang dan lurus terurai turut menghiasi wajahnya yang cantik dan anggun namun juga tampak bersahaja. Langkahnya agak tergesa menghampiri pemuda yang tertabrak olehnya yang masih tergeletak di pinggir jalan. Massa mulai berdatangan dan menegur gadis tersebut dan sebagian mencercanya.

“Hey, hati-hati dong mbak kalo nyetir jangan meleng!”

“Iya, kamu bisa dihakimi masa kalau dia sampe kenapa-napa!” imbuh yang lain.

Si gadis tetap membiarkan bibirnya terkatup rapat tanpa menghiraukan cercaan warga yang sudah mulai panas terbakar oleh keadaan. Akan tetapi, ia lebih mengutamakan kondisi korban dengan ekspresinya yang menajamkan alisnya dan jongkok di samping pemuda yang tergeletak di atas aspal.

“Kalo kamu bukan perempuan pasti udah kami gebuki!” kata salah seorang di antara warga.

“Tapi pak ....”

“Eh, kalo dibilangin, udah nabrak pake mbantah lagi!”

“Baik pak saya akan tanggungjawab!”

Saat situasi sudah mulai memanas, tiba-tiba pemuda tersebut terbangun perlahan dan berkata;

“Saya yang salah bapak-bapak. Mbak ini enggak salah. Saya yang berjalan agak ke kanan tanpa sadar,” mengusap sedikit darah yang keluar dari mulutnya di sebelah kanan.

“Eh, kau terluka mas! Ayo aku bawa ke dokter!”

“Ah, enggak apa-apa mbak. “Aku enggak apa-apa kok!” mengusap kembali sedikit darah yang tersisa.

Warga yang saling berpandangan sambil mengernyitkan dahinya, sambil menunggu jawaban si gadis.

"Enggak Mas, Mas harus ke dokter!" si gadis tetap bersikukuh.

Pemuda itu terdiam beberapa saat. Teringat ketika ia akan diberi betadine oleh seorang anak perempuan di depan rumahnya yang besar waktu baru saja terlanggar sepeda motor sewaktu kecil dulu. Ya, dialah Zafir yang kini sudah dewasa. Ia masih ingat percakapan yang terjadi saat itu;

 “Tidak! Pelipismu terluka, aku harus memberimu obat. Kalau tidak, bisa bahaya, kau bisa terinfeksi!”

“Terima kasih ya, siapa namamu?”

“Rahma”

Pemuda tersebut tampak masih bengong.

“Mas! Mas! Kok bengong?”

“Eh, Oh, enggak enggak apa-apa kok mbak”

Warga mulai tenang karena melihat si gadis tampaknya mulai menunjukkan sikap tanggung jawabnya kepada korban.

“Eh, ayo deh kita bubar, kayaknya udah selesai!” ucap salah seorang dari mereka. Mereka pun akhirnya membubarkan diri.

“Mbak, mbak itu ....,” ingin menebak namanya.

Lihat selengkapnya