Peri Padi

Encep Nazori
Chapter #13

Tetesan Darah di Pagi Hari

Pagi itu Zafir mau berangkat mengamen seperti biasa. Ia tengah bersiap-siap menyiapkan segala sesuatunya. Diraihnya benda andalannya dalam melantunkan lagu pengiring suaranya yang sejauh ini cukup dibanggakan Roy, apalagi kalau bukan gitar kesayangannya. Ya, gitar yang diperoleh dari hasil mengamen dengan modal botol aqua bekas yang diisi pasir! Warnanya sudah pudar yang pasti tak berpendar walau terbias cahaya seisi langit. Dengan langkah mantap, ia mulai meraih gitar dengan tangan kanannya dan membuka pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, tiba-tiba matanya terbelalak seolah melihat hantu di siang hari. Mulutnya terbuka lebar namun tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun saat melihat sesuatu di ruang tamu. Ada kejadian yang membuatnya syok saat itu. Beberapa tetes darah jatuh dari arah tempat tidur ibunya. Tetes darah itu ternyata berasal dari mulut ibunya yang sempat mengalir dan kini tinggal tetesan dari sisa-sisanya. Tanpa sadar gitarnya terjatuh dari genggamannya dan langsung menubruk ibunya;

“Emaaak!!”

Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang telah mengeluarkan darah. Tak ada lagi kesempatan untuk berpikir panjang tentang bagaimana selanjutnya serta sebab akibat. Sebuah teriakan susulan pun dikeluarkannya kuat-kuat secara spontan;

"Tolooong!!!"

Bagaikan terhisap daya magnet dari teriakan Zafir, warga berdatangan untuk menolong Ratih. Beberapa di antara mereka masuk ke dalam untuk mengangkat tubuh Ratih yang tengah tergolek tak sadarkan diri. Sebagian yang lain tampak berjaga-jaga di luar untuk mengantisipasi bila ada hal-hal yang diperlukan. Zafir bergegas keluar mencari angkot yang lewat untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Mustahil baginya untuk menyewa atau memanggil ambulan. Beruntung tak berselang waktu lama, ada sebuah angkot yang melintas dalam keadaan kosong. Zafir langsung menghentikannya dan meminta sopir angkot tersebut agar mengarahkan kendaraannya ke tempat tinggalnya. Sementara angkot parkir, warga lain menyiapkan sebuah kasur yang diambil dari dalam rumah Ratih dan memasukkannya ke dalam angkot, yang kemudian disusul dengan tubuh Ratih yang diusung warga dengan sangat hati-hati. Setelah semuanya siap, Zafir langsung membuka pintu angkot bagian depan dan masuk untuk mendampingi ibunya ke rumah sakit. Sopir langsung memacu kendaraannya dengan segera ke arah jalan raya.

Di dalam angkot, mata Zafir mulai berkaca-kaca. Remuk rasanya perasaannya mengalami kejadian yang sungguh tak pernah diidam-idamkan itu. Lututnya gemetar layaknya berhadapan dengan sang raja yang memutuskan hukuman gantung untuknya. Ia masih ingat tatkala ia menyampaikan kepada Pak Roy bahwa ia selalu berusaha tegar di atas himpitan masalah yang kerap datang menghantuinya dan mengusik ketenangan batinnya walau sesaat. Dan kini ia mengalami kembali hal yang sama sekali tak pernah diharapkan kunjungannya untuk singgah di hatinya yang rapuh walau sejenak. Apa hendak dikata sekarang saat takdir memang telah menggariskan alur kehidupannya melalui jalan terjal berliku, menanjak, berhiaskan hamparan onak dan duri yang turut menaburkan berjuta luka di dadanya. Ia mencoba tetap tenang dan sabar. Lagi-lagi ia coba memberikan pemahaman kepada dirinya sendiri. Tak ada yang lebih berkuasa selain Yang Maha Kuasa itu sendiri.

Zafir sampai di rumah sakit. Ia menggotong ibunya dengan dibantu sopir angkot menuju ke ruang IGD. Setelah membayar sopir angkot, ia segera mengurus segala administrasi yang diperlukan. Zafir tak bisa berbuat banyak saat tiba saatnya ia harus membayar downpayment yang harus dibayarkan ke rumah sakit.

“Untuk DP-nya sebesar lima juta rupiah ya pak dibayarkan di awal mas,” kata bagian administrasi.

Lihat selengkapnya