Tanpa terasa enam tahun telah berlalu dimana masing-masing figur baik Rahma maupun Zafir terbawa arus kegiatannya masing-masing. Apa dan bagaimana hanya sejarah yang dapat menceritakannya. Sama sekali tidak ada komunikasi antara keduanya baik lewat telepon maupun SMS atau bahkan media lainnya. Mungkin hanya ruang dan waktu yang dapat menjelaskan dengan detail setiap langkah mereka.
Rahma kini sudah kembali dari luar negeri dan tinggal bersama orang tuanya seperti semula. Pagi itu, Rahma diajak mengobrol oleh kedua orang tuanya di ruang tamu. Ketiganya duduk di atas sofa. Angga segera mematikan televisi yang sedang ditontonnya. Sindy kembali ke dapur sebentar untuk mengambil makanan dan minuman sebagai sajian pagi itu. Tanpa berpanjang lebar, Angga langsung membuka pembicaraan;
“Rahma, kamu kan sudah cukup dewasa dan papa makin lama makin tua. Tentu sudah saatnya kamu memiliki pendamping.”
“Iya Rahma, mama juga kayaknya udah enggak sabar pengen punya cucu nih,” timpal Sindy.
“Iya sih pa, tapi sama siapa pa?”
“Nah pertanyaan bagus, kemarin ada seorang pengusaha datang ke sini dan meminta papa dan mama untuk mengizinkannya mengambilmu sebagai istrinya.”
“Hah, lalu apa papa setuju?”
“Ya setuju Rahma, sayang kalau enggak papa terima permohonannya. Apalagi ia itu termasuk rekan bisnisnya papa, ya meskipun belum lama bergabung.”
“Wah gimana ya pa, kalau Rahma boleh tau namanya siapa pak?”
“Namanya Rahmat. Mudah-mudahan kamu bisa cocok dengannya Rahma. Tapi papa yakin, yang papa berikan kepada kamu, ya pasti yang terbaik. Bagaimana? Papa dan mama sih sudah menerima permintaan Rahmat, karena sayang kalau harus mencari pengganti lagi. Apalagi zaman sekarang susah mencari menantu yang ideal.”