AKU SAKIT. Aku sakit ... "
Dua kata itu diucapkan berulang kali seperti mantra. Sayup-sayup dan menekan.
"Nadira, kamu nggak ke kampus?"
Teguran dari luar kamar memecah keheningan pagi. Si gadis yang sejak tadi bersembunyi di balik selimut itu pun tersentak.
"Ngg ... nggak Tante. Hari ini nggak ada mata kuliah. Lagian, aku juga nggak enak badan," sahutnya terbata-bata.
"Beneran? Soalnya kemarin malam Cindra telepon dan bilang sama Tante kalau hari ini kalian ada presentasi penting."
Nadira menyibak selimut sampai di batas perut. Mata kecilnya menerawang langit-langit. Tiupan halus dari mulut menerbangkan helaian poni yang tadinya jatuh tepat di ujung hidung bangirnya.
Irene masuk ke kamar Nadira. Tangan kanan dan kirinya masing-masing membawa sapu dan sekop. "Sudah mandi sana! Cindra sama Ola pasti sudah nungguin kamu," titahnya.
"Tapi Cindra tahu penyakit demam panggungku, Tan. Aku ikhlas kok kerja di balik layar. Tapi kalau Cindra suruh aku buat ikut tampil di depan sama dia, aku nggak bisa."
"Nad, kamu itu sudah mau semester akhir." Irene menghentikan aktivitasnya dan duduk di samping ranjang Nadira. "Gimana kalau nanti kamu presentasi tugas akhir?"
"Ini masalah trauma Tante. Aku ... belum siap kalau harus kembali berdiri di atas panggung."
"Terus kapan kamu siap? Kesempatan itu dibuat, nggak hanya ditunggu."
"Iya Tante ... tapi beneran, aku nggak enak badan. Nanti kalau aku tiba-tiba pingsan di panggung, Tante baru percaya kalau aku beneran sakit?"
Melihat tangan Irene melayang hendak menyentuh keningnya, Nadira cepat-cepat menarik selimut dan kembali bersembunyi.
Amethyst Nadira Brahmantya, itu namaku. Mama dan papa meninggal sejak umurku dua belas tahun. Sejak itu aku tinggal bersama tanteku yang single ini di Jakarta.
Melanjutkan pendidikan sampai di bangku kuliah, membuatku semakin mantab menentukan jalan hidupku. Aku juga menemukan ikatan persahabatanku di sini.
Cindra dan Ola. Mereka adalah dua sosok yang memiliki kepribadian bertolak belakang denganku. Kami ibarat pelangi dengan banyak warna, namun menyatu. Selalu saja ada hal menarik dan berbeda setiap kami bersama.
"Tantee!" teriakku selembut mungkin dari bangku depan mobil.
Membayangkan Cindra akan sangat marah dan kecewa, akhirnya aku memutuskan pergi ke kampus. Meskipun ... beraaatt.
"Iyaa sebentar! Debunya tebal banget ini!"
Melihat tante Iren serius membersihkan debu di badan food truck kesayangannya dengan kemucing, diam-diam aku mengutuk diri. Seharusnya aku bangun lebih pagi untuk menggantikan tante membersihkan mobil. Itu hal terkecil yang bisa aku lakukan sementara tante menjadi driver-ku sekaligus orang tua tunggalku.
"Tante masukan susu di tas kamu. Jangan lupa diminum!"
"Iyaa, Tante! Makasih."
Tante Iren mengikat scraft di kepalanya sambil berkaca di spion depan mobil. Bagian bawah tubuhnya yang sintal dibalut rok rumbai dan sepatu boots kulit warna cokelat tanah. Aku yakin, banyak orang awam akan bilang gaya berbusana Tante Iren ini norak, kecuali sahabatku, Cindra. Soalnya mereka berdua penggila fashion yang aneh-aneh.
Sekilas menengok ke belakang, tercium aroma harum masakan Tante Iren dari dalam panci besar stainless. Usaha breakfast take away-nya berjalan lancar sejak 2 bulan terakhir ini.
"Aku bungkus tiga salad ya, sekalian buat Cindra sama Ola."
"Iya, Tante juga udah siapin sup kacang merah juga buat makan siang kalian."
Semenit kemudian food truck kami melaju.
"Selesai presentasi kamu ada kuliah?"
"Nggak ada. Tante pulang aja ya. Jangan nonton!"
"Loh, kenapa?"
"Presentasinya tertutup. Cuma juri-juri aja yang ada di teather. Tante nggak usah nungguin aku. Nanti aku pulang bareng Ola."
"Memang Ola bawa skuter matic-nya? Dia nggak lupa bawa helm buat kamu? Anaknya kan pelupa."
"Tadi pagi aku udah ingetin kok."
Food truck Irene melewati bundaran utama kampus internasional dengan signboard megah nan kokoh bertuliskan Verona University of Art. Ikon kampus berupa patung diambil dari anatomi mahkota bunga berbentuk "V" dan alat musik harpa, terlihat megah dengan material kuningan.