Peridot Vow

Mahira Kana
Chapter #3

BAB 3| Biola Ajaib

DIDIAGNOSA menderita tifus dan demam berdarah, Cindra terpaksa rawat inap selama dua minggu. Musibah tak terduga ini membuatnya tak bisa melanjutkan kompetisi ke tahap selanjunya.

Siang itu ia berkemas ditemani Nadira dan Ola. Wajah murung kedua sahabatnya tak kunjung menghilang, meski kejadian itu sudah berlalu cukup lama.

"Kalian kenapa sih?"

Teguran Cindra menarik kesadaran Ola dan Nadira.

"Sorry, Cin. Aku ..." Terdengar nada penyesalan yang tebal dalam suara Ola.

"Hey, kita nggak kalah gaes! Menurut gue, kita bertiga udah menang, setidaknya buat diri kita masing-masing."

Ucapan Cindra mengubah ekspresi wajah Ola dan Nadira secara drastis dari murung menjadi hidup kembali.

"Gue merasa menang karena berhasil bikin diri gue nggak menyerah di saat-saat terakhir."

Cindra lalu menunjuk lurus pada ujung hidung Ola. "Lo sanggup ngebawain gaun kita dengan gaya lo yang ceria dan tulus. Pasti rasa bangga dan bahagia lo saat memakai gaun itu, sampai ke hati para juri juga."

Cindra kemudian mengalihkan pandangannya pada Nadira. Kali ini wajahnya sedikit tegang dan serius, karena terbawa air muka lawan bicaranya. "Nad, gue nggak nyangka kalau trauma lo di atas panggung masih separah itu. Gue minta maaf!" ucap Cindra tulus. "Tapi lo bisa memerangi ketakutan lo, Nad. Buktinya, lo berdiri di atas panggung dan mempresentasikan desain gue ke mereka."

Nadira hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Bohong jika dia berkata baik-baik saja. Masih sulit baginya untuk menghapus peristiwa dua minggu lalu. Terutama sosok lelaki yang duduk di antara para juri itu.

"I like you."

Mengatup kedua sisi wajahnya yang mendadak panas, Nadira berusaha mengusir suara Arthur dari pikirannya.

"Oh iya, aku inget!" Ola berseru sambil menepuk kedua tangannya keras-keras. "Ada salah satu juri paling senior disana. Tapi dia masih cantik banget. Aku lupa namanya. Aduh, siapa ya?"

"Apa sih yang berhasil lo inget, La?" sindir Cindra.

"Dia sempat menyudutkan Nadira. Tapi untung ada juri paling ganteng di situ yang belain Nadira."

"Maksud lo, cowok yang sempet ngasih pancake madu ke Nadira, yang akhirnya gue makan, tapi Nadira bela-belain nyekik gue, dan minta gue buat muntahin lagi makanan itu?" sahut Cindra tanpa jeda.

"Iya, dia. Tapi aku lupa namanya, Cin!"

"Tanya Nadira. Dia pasti inget sama cowok yang ngasih dia pancake saus madu itu." Cindra memberi solusi.

"Aku nggak ingat,” sahut Nadira cepat. “Dia juga pasti lupa sama aku."

"Ciee, ngarep diinget sama cowok itu ya?" goda Cindra. "Nggak papa kok Nad, manusiawi."

Nadira tertunduk malu. Diam-diam ia mengingat papan nama di meja juri sang lelaki.

"Eh!" tiba-tiba secangkir teh luput dari tangan Ola, nyaris jatuh di depan Nadira.

"Arthur!" Nadira spontan terkejut.

Ola dan Cindra saling menatap kemudian berseru kompak, "Oooh Arthur!"

"Ola, kamu sengaja ya?!" sentak Nadira.

"Maaf, Nad! Kalau nggak dikerjain, kamu nggak mau ngasih tahu kita. Ya kan, Cin?" Ola membela diri.

"Eh, tunggu-tunggu! Arthur? Maksud lo, Arthur cucu pemilik kampus ini? Arthur Maximiliano Louvier, si chef itu?! Jadi keterlibatan dia jadi juri bukan hoax dong?" Cindra memelototi Nadira menuntut jawaban.

"Astaga, Cindra! Aku baru kepikiran!" ujar Nadira terkejut.

"Eh, maksud kalian siapa?" Ola loading.

 

∆∆∆

 

Hujan deras mengguyur waktu siang. Arthur berdiri di sudut teras asrama kampus, menikmati serdadu langit yang mengaburkan pemandangan replika taman bergaya Eropa di depan matanya.

"Hasil penilaian sudah diumumkan pada masing-masing peserta." Renata datang nyaris tanpa suara.

Arthur melirik sekilas dari balik bahunya sambil tersenyum. “Kamu akan kembali ke Mexico hari ini?” Tangannya masih dengan santai masuk di saku celana training-nya. Jaket parasut dan kaos tipis tanpa kerah, membalut tubuhnya yang menjulang.

Renata mengangguk kemudian mengamati gaya berpakaian Arthur. Kesan maskulin yang elegan saat menjadi juri, kini berubah menjadi sporty. "Kau akan pergi olahraga?" tanyanya tak yakin melihat cuaca buruk siang itu.

“Aku mau mengajak Jacob bermain tennis, sekalian memuaskan rasa penasaranku pada kampus ini," jawab Arthur.

Renata tersenyum sekilas. "Soal penilaian, aku terkejut melihatmu memberikan nilai sempurna pada konsep peserta bernama Kalandra."

"No! Aku memberikan nilai pada gadis yang mempresentasikan desain Kalandra," Arthur mengoreksi.

"Siapa namanya?" pancing Renata. "Aku sempat mengikutimu saat kau menemui dua peserta itu setelah mereka turun dari panggung. Kulihat kau bicara dengan gadis yang menjadi model Kalandra. Kau bahkan memberinya pancake madu buatanmu."

"Entahlah. Aku menitipkan pancake itu pada temannya. Wajahnya pucat sekali saat di atas panggung. Dia harus makan sesuatu yang manis, kalau tidak ingin pingsan di tengah jalan."

Renata mengangguk-angguk. "Tapi sayang sekali, pemberian score darimu yang sempurna tidak cukup membantu Kalandra untuk sampai ke babak final. Kudengar, Elena Rojas memberinya nilai nol."

"Really?" Arthur terkejut.

∆∆∆

 

Lihat selengkapnya