PERIH PALING BENING

Marsiti
Chapter #1

ARTI SEBUAH KETULUSAN #1

Malam belumlah dewasa. Hujan pun baru saja reda. Namun, gerimis halus masih merinai. Meliuk-liuk di embus angin. Argi menangkapi dengan tatapan dari balkon kamar lalu memejam mata, merasakan getaran cinta pada seorang gadis bermata senja nun di sana. Laksana cinta, sekuntum mawar mekar. Membiaskan sinar lampu taman, berketap-ketip bagai bertabur mutiara. Sementara Melati berteduh di sudut teras, melindungi diri dari gerimis. Tenang, tentram, rumah di kawasan Pondok Indah itu sangatlah nyaman.

“Harshita pasti terkejut sekaligus bahagia dengan kedatanganku kali ini,” gumamnya. Membuka mata, tersenyum pada sepasang kunang-kunang di tangkai bunga Melati.

Setelah menghempaskan napas pelan, Argi pun masuk kamar. Azan Isya sudah berkumandang sejak 45 menit yang lalu. Pemuda benama Argi Muhammad Gifari berdiri di depan cermin besar dalam kamarnya. Rambut sebahunya ia ikat ke belakang. Kaos abu-abu muda yang di padukan dengan jaket semi jas berwarna hitam semakin membuatnya terlihat elegan namun tetap santai karena bawahannya mengenakan jeans berwarna biru dongker.

Pada cermin itu, tertempel sebuah foto seorang gadis berwajah bulat berkerudung ungu. Seolah tersenyum, menatap dengan mata yang senja. Argi pun menatapnya dengan senyum. Lalu menarik napas dalam.

“Malam ini adalah pintu kebahagian bagi kita, Harshita...” desahnya, “dan mata senja setelah hujan itu pasti berkaca-kaca karena bahagia,” lanjutnya penuh percaya diri.

Dari tangga menuju kamar terdengar suara langkah. Tak lama terdengar pintu diketuk. “Sudah siap, Nak?” Terdengar suara lembut dari balik pintu.

“Sudah, Ma. Sebentar!” jawab Argi seraya mengambil syal yang tersampir di pinggirin tempat tidur dan memelilitkanya di leher. Syal hitam itu tak pernah ketinggalan kemana pun ia pergi. Apa pun acara yang dihadiri, syal hitam itu selalu menemani. Senantiasa tersampir di bahu, sebagian melilit lehernya.

Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan gamis dan kerudung putih tersenyum padanya. Ada yang sama antara Argi dan wanita itu. Ya, mata keduanya sama meneduhkan, namun tajam.

”Deuhh... cakep bener anak Mama,” kata Bu Mar bangga. Tangannya spontan mengusap pipi putra semata wayang yang malam itu nampak bercahaya.

Argi tersenyum. “Siapa dulu dong mamanya...,” jawabnya.

Bu Mar kembali tersenyum. “Ayo, papamu sudah menunggu,” katanya lagi sambil menggandeng lengan putranya. Argi menjawab dengan senyum.

Mereka berjalan menuruni tangga yang menghubungkan ruang utama keluarga dengan kamar di lantai dua. Pak Marzuki seorang pensiunan Angkatan Udara sedang duduk menyandarkan punggung di sofa sambil memainkan remote tv. Ia sempat menyipitkan mata ketika melihat putranya turun dari kamar. Namun hanya sebentar, karena detik berikutnya senyum mengembang dari bibirnya.

“Masya Allah... coba kamu berpakaian seperti ini tiap hari, Gi!” serunya.

Argi tertawa kecil. “Memangnya kenapa, Pa?” tanyanya sambil mengempaskan pantat di sofa duduk di depan sang Ayah yang begitu ia hormati dan kagumi.

Pak Marzuki tersenyum penuh. “Keren, rapi, bersih. Dan sudah pasti tampan,” kata Pak Marzuki sambil mengangkat jempolnya.

“Siapa dulu dong Mamanya....” Bu Mar menyahut sambil mengangkat dagu. Lalu duduk di samping suaminya. Pak Marzuki dan Argi tertawa kecil. Bu Mar cemberut.

“Kok malah pada ketawa sih! Nggak lihat apa kalau mata putra kita ini teduh seperti mata mamanya!” timpal Bu Mar.

“Iyaa... matanya Argi memang matanya Mama juga. Tapi, lihat dong senyum dan raut wajahnya yang tampan dan kharismatik. Mirip siapa hayoo?” Pak Marzuki tak mau kalah, “papanya dong ...,” lanjutnya.

“Idih ... nggak mau kalah!” timpal Bu Mar tersenyum.

Argi tertawa kecil. “Udah ah, Argi’kan emang anak Mama sama Papa. Masa iya mirip tetangga,” katanya. Semua tertawa renyah. Kebahagiaan melingkupi keluarga Argi malam ini.

Di luar gerimis berhenti. Menyisakan embusan pelan angin dingin. Namun itu untuk mereka yang bersedih. Bagi Argi sekeluarga, malam ini adalah malam terindah. Malam di mana cinta akan disematkan kepada seorang dara. Tak hanya cinta, bahkan ia siap menyerahkan separuh jiwa. Sedang separuh lagi ia simpan dalam penghambaan kepada Allah Sang Pemilik Cinta. Tak seharusnya memang. Karena itulah cinta buta. Cinta yang akan menjadi awal bencana dunia.

“O ya, Gi. Papa mau tanya,” kata Pak Marzuki dengan mimik serius.

“Apa, Pa?” tanya Argi.

“Apa kamu benar-benar ingin melamar gadis itu malam ini? Kamu yakin nggak kan kecewa?” Pak Marzuki bertanya sungguh-sungguh.

Ia tersenyum penuh. “Iya Pa. Argi sangat yakin kalau kami telah saling cinta,” tandasnya.

Pak Marzuki manggut-manggut, melirik pada istrinya.

“Baguslah. Bukan apa-apa, soalnya selama ini Papa belum pernah lihat kamu dekat dengan seorang gadis pun. Memangnya kamu kenal di mana dan sudah berapa lama?” tanya Pak Marzuki kemudian. Layar tv kini tak menarik lagi.

Ia menarik napas. Matanya menatap masa silam. “Satu tahun lebih. Argi kenal ketika jadi pembicara di UNPAD. Sejak itu Argi dekat dengannya. Hampir setiap hari kami berkomunikasi meski hanya lewat telepon,” jelasnya.

“Jadi, baru ketemu sekali?!” Bu Mar ikut bertanya.

Argi tersenyum menatap sang ibu. “Tiga kali, Ma. Di Bandung satu kali, di Jakarta dua kali. Setelah dia pindah ke Jakarta.”

“Apa kamu sudah benar-benar yakin kalau dia juga mencintaimu dan akan menerima lamaranmu ini?” tanya Bu Mar kemudian, "dan kamu yakin kalau dia belum punya calon? Apa tak sebaiknya kamu bicarakan berdua dulu sama dia?” lanjutnya. Terdengar kecemasan pada nada suaranya.

“Yakin, Ma. Sangat yakin. Argi juga tentu tidak sekonyong-konyong memutuskan untuk melamarnya jika masih ragu,” jawabnya sungguh-sungguh.

Pak Marzuki dan Bu Mar menarik napas panjang. Saling melirik. Lalu tersenyum. “Baiklah kalau kamu memang sudah yakin. Mama sama Papa hanya tak ingin kamu kecewa saja,” kata Bu Mar.

Pak Marzuki manggut manggut. “Apa tidak sebaiknya kamu telepon dia dulu. Takutnya dia malah tidak ada di rumah lagi,” saran Pak Marzuki.

Sejenak Argi terdiam. Ayahnya memang benar. Akhirnya ia putuskan untuk menelepon Harshita. Dan, ternyata gadis bermata senja itu terdengar sangat senang ketika ia mengatakan ingin main kerumahnya. Semakin yakinlah hatinya.

“Tunggu Kak Argi ya. Assalamu’alaikum.” Ia mengakhiri telepon yang didengar oleh kedua orangtuanya.

“Wa’alaikum salam, Harshita tunggu ya, Kak,” jawab Harshita di sana.

Obrolan terputus. Argi tersenyum pada kedua orangtuanya.

“Berangkat yuk!” katanya.

Hampir bersamaan Pak Marzuki dan Bu Mar menarik napas. Saling menatap dan tersenyum. “Ayo! Bismillah... semoga Allah meridhoi niat kita ya Ma.” Pak Marzuki berdiri dengan diikuti istrinya.

"Aamiin. Benar Pa. Mencarikan dan menikahkan anak memang salah satu kewajiban orangtua yang diamanatkan Allah,” jawab Bu Mar.

Argi berdiri. Membetulkan posisi syalnya. Mereka pun melangkah bersama menuju teras. Di depan garasi yang berada di sayap rumah sebelah kanan, sebuah Terano telah menanti. Mesin telah sejak tadi dipanaskan oleh Pak Marzuki. Bu Mar mengunci semua pintu, setelah itu barulah naik mobil.

Di rumah ini, mereka memang hanya tinggal bertiga. Tak punya sanak saudara. Pak Marzuki dan Bu Mar sama-sama anak tunggal. Makanya ketika kedua orangtua mereka meninggal, tak ada lagi keluarga selain mereka bertiga. Sedang keluarga dari pihak kedua orangtuannya Bu Mar dan Pak Marzuki entah berada dimana.

Argi membuka pintu pagar. Mobil melaju pelan. Setelah berada di luar, ia menutup dan menguncinya kembali. Lalu segera masuk mobil mengambil alih kemudi dari sang ayah.

Detik berikutnya, Terano hitam mengkilat pun melesat di antara keramaian jalan Ibu kota. Sesekali menyalip motor dan mobil di depannya. Lampu-lampu kendaraan, laksana parade kunang-kunang. Saling berkejaran. Argi terus memacu mobilnya menuju Kawasan Menteng tempat di mana Harshita dan keluarga besarnya tinggal.

Sepanjang perjalanan, Bu Mar terus bertanya tentang wanita yang akan dilamar putranya karena memang belum pernah bertemu sekali pun. Pun dengan Pak Marzuki, ia sangat penasaran, gadis seperti apa yang mampu meluluhkan hati putranya yang selama ini ia kenal dingin terhadap perempuan.

45 menit plus macet kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah di kawasan Menteng. Sebuah rumah bergaya itali dengan halaman yang luas. Dua buah pohon palm setinggi dua meter lebih berjejer di depan pagar rumah. Ibarat dua penjaga yang tak pernah lelah menjaga rumah.Di sayap kiri, sebuah garasi besar terbuka, di dalamnya sebuah BMW Hitam mengkilat bergandengan dengan sebuah honda Jazz putih. Sedang di sudut halaman lain terdapat kolam ikan dengan air mancur buatan. Suasana semakin terlihat asri karena di atas kolam tersebut ada sebuah saung terbuat dari bambu.

Pak Marzuki dan Bu Mar sampai geleng-geleng kepala kagum. “Indah bener ya, Pa,” kata Bu Mar. Pak Marzuki menjawab dengan anggukkan.

Argi turun dan menekan bel pada pintu pagar besi setinggi dua meter berwarna hitam. Tak lama seorang gadis berkerudung merah muda dengan gamis biru muda keluar dan langsung membuka pintu pagar. Senyumnya terkembang ketika bertemu tatap dengan Argi.

“Idihh rapih banget, Kak!” serunya, “eh, sama siapa?” lanjutnya begitu melihat dalam mobil seorang wanita setengah baya melongo dari jendela.

“Mama, Papa,” singkat Argi.

“O...” Harshita terlihat sedikit heran. Hatinya langsung bertanya, “Ada apa ya? Kok Kak Argi datang sama orangtuanya.” Namun segera membuang pertanyaannya. Ia tak ingin menduga-dua dulu.

“Silakan masuk, Kak. Kebetulan ibu sama ayah juga sedang santai,” kata Harshita kemudian.

Argi tersenyum. Menaiki mobil kembali lalu mulai memasuki halaman dan memarkir mobilnya di depan garasi. Harshita menunggunya di teras dengan senyum bingung. Hatinya tiba-tiba berdebar tak karuan. Yang pertama turun adalah Argi. Lalu membukakan pintu untuk ibunda tercinta. Sedang Pak Marzuki turun dengan membawa sebuah parcel. Harshita semakin heran melihat itu. Belum lagi penampilan Argi yang tidak seperti biasanya. Lebih terlihat resmi.

“Ada apa ya?” tanya hatinya kembali. Dengan keramahan yang tidak dibuat-buat, Harshita segera menyambut kedua orangtua Argi.

“Ini kedua orang tua Kak Argi, Ta.” Ia mengenalkan orangtuanya setelah berhadapan dengan Harshita.

“O iya, saya Harshita, Bu. Senang sekali bisa bertemu ibu,” sahut Harshita sambil mencium tangan Bu Mar. Sedang kepada Pak Marzuki, Harshita hanya merapatkan kedua tangan di depan dada seraya mengangguk hormat. Pak Marzuki paham, bahwa gadis di depannya ini tahu syari’at yang melarang pria dan wanita saling bersentuhan.

“Cantiknya ..., ini toh gadis yang telah membuatmu susah tidur, Nak?” kata Bu Mar sambil membelai pipi Harshita yang sedikit tembem. Wajah Harshita seketika merona.

“Ah ibu bisa aja, paling Kak Argi tidak bisa tidur kerena sibuk melukis dan menulis iya’kan, Kak?” sahut Harshita menatap Argi. Sedangkan yang ditatap hanya menjawab tersenyum.

Lihat selengkapnya