Cinta menemui ajal, namun beribu-ribu lainnya baru saja terlahir dalam hati umat manusia. Cinta memang selalu memberi warna dan episode baru dalam kehidupan manusia. Cinta yang membawa lebih baik, itulah sejatinya cinta. Sedang cinta yang membawa kemunafikan dan kemungkaran kepada Tuhan, maka cinta itu hanya menjadi sebuah perbudakan. Dengan arogan, cinta akan memperlakukan si pencinta sesuai kehendaknya.
Purnama menyembunyikan diri. Angin berembus, gerimis pun hadir. Harshita menangis. Tersedu di sudut kamar paling bisu. Ia tak menyangka sedikit pun bahwa semua akan menjadi seperti itu. Padahal, baru saja ia merasakan cinta dan kasih sayang tulus yang tak bisa ia dapatkan dari tunangannya. Tapi ia sadar, semua memang harus terjadi seperti ini. Satu hati tak bisa dihuni dua cinta dalam waktu yang bersamaan.
“Maafkan Shita, Kak. Tak ada sedikit pun maksud Shita menyakiti Kak Argi. Shita pun sangat mencintai Kak Argi. Tapi cinta begitu jahat. Ia datang tepat di saat yang tidak tepat,” desahnya disertai isak.
Di benamkannya wajah pada bantal. Perlahan, Harshita mengangkat wajahnya. Lalu telentang memandang langit-langit kamar.
“Betapa baik Kak Argi. Bahkan ia ... ” Harshita tak mampu meneruskan kata-katanya. Karena selanjutnya, air mata yang bicara.
Harshita menyeka air mata ketika teringat kado yang tadi diberikan Argi. Dengan mata sembap, ia pun bangkit. Masih jelas bahunya bergerak-gerak menahan isak. Turun dari tempat tidur menuju meja rias. Lalu duduk. Matanya menatap kado yang masih terbungkus rapi. Perlahan tangannya bergerak, membukanya. Dalam kado itu ternyata ada sebuah gaun muslimah berwarna biru lengkap dengan kerudungnya. Harshita tersenyum perih. Lalu matanya menatap sebuah benda kuning mengkilat berbentuk kupu-kupu. Ia segera mengambilnya. Tiba-tiba teringat akan kata-katanya sendiri.
“Andai ada kupu-kupu dari emas ya, Kak! Pasti Shita akan sangat bahagia.” Kata-kata itu ia ucapkan pada Argi seminggu yang lalu. Air mata pun semakin deras. Ketika melihat secarik kertas dan langsung membacanya.
Asmaraloka
Banyak orang berkata Adam dicipta dari tanah
Dan Hawa, tulang rusuknya
Tapi menurutku, Adam dicipta dari cinta oleh Maha Cinta
Dan Hawa tercipta dari kesepian Adam
Sedang kau, sayangku
Tercipta dari bayangan keluarga kecilku di masa yang akan datang
Duhai gadis bermata senja
Cinta adalah mula dari Makhluk Tanpa cinta, Iblis pun Nirguna adanya
Rindu adalah selimut birahi
Mengenalkan kita pada kesepian
Sedang kau, cintaku
Terlalu dangkal sastra melukisnya
Mari bertukar nafas, kasihku
Agar tak ada kata lelah ketika tahap demi tahap ujian cinta kita jejak
Biarkan saja angin dan hujan mati menahan nafas dalam gigil
Karena kita tak membutuhkannya
Cukuplah kasih menjadi angin Dan kerinduan menjadi hujan dalam penantian kita
“Angin pun berhembus pelan, ketika hujan bicara cinta.”
Namun, tak ada kepentingan hujan kepada Bumi dan manusia
seperti cinta ini
tak berkepentingan dengan apa yang kau punya
cinta hanyalah cinta yang terlahir dari rahim sepi dan kesunyian jiwa
Tak mampu lagi Harshita menahan jerit di hati. Ia tak menyangka, jika Argi memiliki cinta yang begitu besar padanya. Tangisnya lasat. Air mata mengalir, membelah wajah laksana Gangga membelah Negeri Pandawa. Bait bait puisi itu laksana pedang maha tajam. Mengiris-ngiris hatinya. Berdarah, namun mengendap dalam dada. Perih tak terluah oleh kata-kata.
***
Berbeda dengan Argi di sana. Di sebuah bangunan tanpa dinding di halaman belakang rumah. Sebuah bangunan yang pantas di sebut saung karena semua tiangnya terbuat dari bambu, hingga angin dengan leluasa menyapu tubuh Argi yang malam itu hanya memakai kaos singlet.
Argi mencurahkan semua rasa duka dan derita dengan meracik warna-warni cat lukis yang ia goreskan ke dalam kanvas. Cinta tanpa muara, mungkin itulah judul yang cocok untuk lukisannya malam ini. Meskipun air matanya terus bergulir, namun tak sedikit pun keluar suara dari belahan bibirnya.
Warna-warna cat itu tergores begitu saja. Tanpa rencana, tak ada rekayasa. Tangannya bergerak bebas mengikuti kemana kuas membawanya. Sesuai kata hatinya. Kantuk menjauh dari sepasang mata nan sembap. Angin tak mampu menangkap tubuh atletisnya. Rambutnya tergerai, begitu saja. Kadang meriap disapu angin malam. Meriap, acak-acakan, laksana awan hitam yang digiring embus angin malam.
***
Seperti yang dirasakan oleh Argi, itu juga yang dirasakan Bu Mar. Namun, Bu Mar lebih menjadikan Al-Qur’an sebagai tumpuan kesedihan. Bu Mar selalu mengadukan semua rasa suka dan duka semata kepada-Nya. Allah Sang Penggenggam jiwa –jiwa di alam semesta.
“Sudahlah Ma, istirahatlah dulu. Nanti kalau Mama sakit, Argi bisa tambah sedih.” Pak Marzuki mengingatkan istrinya dari tempat tidur.
Bu Mar menghentikan tilawahnya.
“Bagaimana Ibu bisa istirahat, Pa. Sementara Putra kita kini sedang tersakiti,” jawabnya, “meskipun ia terlihat tegar dan selalu tersenyum, tapi hati seorang ibu tak’kan pernah bisa dibohongi. Argi pasti sangat menderita,” lanjutnya. Air mata berlinang.
“Apa yang kalian rasakan, Papa pun merasakannya, Ma. Tapi bukan berarti kita harus membiarkan kesedihan menghilangkan rasa syukur kita kepada Allah. Dan Papa yakin, Argi pasti bisa melewati ini. Sekarang Mama istirahat, besok kita bicarakan lagi. Ini perintah suami kepada istri,” sahut Pak Marzuki tegas.
Bu Mar tak bisa membantah. Apa yang dikatakan suaminya memang benar adanya. Ia tak boleh terlalu terhanyut dalam kesedihan seolah dirinyalah yang paling menderita. Mengeluh bukan jalan terbaik untuk bisa terlepas dari kesedihan. Bu Mar berdiri. Membuka mukena dan segera menghampiri Pak Marzuki yang sedang duduk di tepan tempat tidur. Suami istri itu pun kemudian berbaring.
***
Malam kian beranjak. Sepertiga malam nan tentram dilewatinya dengan sia-sia. Biasanya Argi tak pernah alfa salat tahajud dan tilawah. Namun malam ini terbukti imannya masih sangat lemah. Kesedihan yang seharusnya menjadikan jiwanya kuat dan semakin yakin akan Kuasa Allah malah sebaliknya. Argi lupa pada Allah. Bahkan ketika azan subuh berkumandang pun, ia masih saja terus berkutat dengan warna warni cat dan kanvas.
Sebuah lukisan bayangan hitam tengah berjalan di gurung pasir, selesai hanya dalam waktu setengah malam. Argi melempar kuas. Dan ternyata, cipratan cat dari kuas itu menjadikan lukisan semakin terlihat natural dan hidup. Lukisan itu seolah ingin mengatakan bahwa perjalanan untuk mendapatkan cinta tak mudah. Ada gurun yang membentang panas yang harus di lalui. Hanya dengan kesabaranlah kita bisa menerimanya. Atau, bercerita tentang cinta yang mati sebelum terlahir. Hanyut dalam derasnya arus hidup.
Fajar merekah, barulah ia merasa tubuhnya sangat lelah. Dihempaskanya badan pada bale-bale bambu. Fajar yang memecah kegelapan malam ditatapnya dengan mata lelah. Lalu terpejam. Kemudian terlelap. Sementara gerimis halus masih mengungkapkan rindunya pada bumi. Langit Jakarta pagi ini muram, sebagaimana wajah Argi yang terlelap, lelah. Diselimuti udara pagi yang dingin.
***
Rasanya baru semenit Argi tertidur ketika merasakan sentuhan lembut di kepalanya. Ia membuka mata. Namun hanya sebentar. Kepalanya terasa sangat sakit. Tubuhnya menggigil, tulang-tulang tubuh terasa ngilu. Di sampingnya kini duduk Bu Mar yang tak henti mengelus-ngelus kepalanya.
“Bangun, Nak,” lirih Bu Mar.
Argi membuka mata kembali. Namun tak segera bangkit. karena tubuhnya terasa sangat lemah. Ditatapnya wajah teduh sang ibu dengan mata sayu. Lalu mencoba tersenyum.
“Assalamu’alaikum, Ma...” katanya pelan. Bu Mar tersenyum.
“Wa’alaikum salam. Bangun dulu, Nak. Sarapan, lalu lanjutkan tidurnya di kamar. Kamu demam,” sahut Bu Mar.