Langit masih mendung, seperti pagi kemarin, jua kemarinnya lagi. Hampir setiap pagi gerimis menggantikan posisi matahari. Baru setelah lewat jam sembilan, matahari baru benar-benar menerangi bumi. Tak jarang juga Jakarta diguyur hujan. Dan seperti biasa juga sebagian wilayah Ibu kota terendam banjir. Namun, semua itu tak pernah menyurutkan langkah para pencari kesenangan dunia yang sebenarnya fana.
Akan tetapi, tak semua orang bekerja untuk mengejar kebahagian dunia semata. Masih ada orang-orang yang meniatkan kerjanya untuk beribadah. Memberi manfaat untuk sesama, demi meraih ridho Allah Yang Maha Kuasa. Salah satu di antaranya adalah Dokter Rubi dan Putrinya, Harshita. Mereka mengabdikan diri di sebuah rumah sakit yang sama. Meski mereka menerima upah dalam pekerjaannya itu, tapi mereka lebih mengutamakan pelayanan terhadap pasien. Juga tak pernah mereka membeda-bedakan status pasien. Kaya atau papa, mereka perlakukan sama.
Pagi itu, meskipun wajah Harshita terlihat muram, hatinya masih tak karuan, namun dia nampak telah bersiap untuk berangkat kerja. Pun dengan Dokter Rubi. Mereka duduk di ruang makan. Tak lama, Bu Nining keluar dari dapur sambil membawa dua porsi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi setengah matang.
“Kamu baik-baik saja’kan, Ta?” tanya Dokter Rubi. Sambil mereguk segelas susu yang sudah tak terlalu panas.
Sedari tadi, semenjak Shita duduk, wajahnya nampak semuram langit pagi itu.
“Insya Allah, Shita baik-baik saja, Pa,” jawabnya.
“Ibu harap kamu bisa berpikir jernih dalam hal ini, Ta. Jangan sampai kamu terjebak dalam cinta segitiga yang pada akhirnya akan menyakiti semua orang. Dan pasti kamulah nantinya yang paling tersakiti,” kata Bu Nining lembut.
“Shita juga sangat menyesal, Bu. Tapi apa yang bisa Shita lakukan sekarang?” Matanya senantiasa mengembun, sayu.
“Menyesali kesalahan itu harus agar kita bisa berbuat lebih baik untuk kedepannya. Saran Ibu, sebaiknya kamu cepat menikah dengan Ridho. Agar kamu bisa lebih menjaga hatimu,” saran Bu Nining.
Harshita terdiam. Dia memang menyesal telah menyakiti Argi dan mendustai Ridho. Namun jika harus menikah dengan Ridho ia pun tak mau. Rasa cintanya pada Ridho seakan sudah hilang tertutup oleh rasa bersalahnya pada Argi.
“Tapi bagaimana dengan Kak Argi, Bu?”
“Argi’kan sudah bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Dia memang baik, tak layak untuk disakiti. Namun, terkadang kita tak bisa mencegah diri sendiri untuk tidak menyakiti orang lain jika dihadapkan pada dua pilihan. Saran Bapak, nanti kalau hatimu sudah tenang, bicaralah pada Argi, minta maaf dan doa padanya untuk kebahagianmu.” Dokter Rubi yang berkata.
“Baik, Pa.” Pendek Harshita.
“Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi bagaimana untuk lebih baiknya. Yang pasti masalah kamu ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Sekarang sudah jam 7, kita harus berangkat kerja, Ta,” kata Dokter Rubi, “mau bawa mobil sendiri atau mau bareng?” lanjutnya.
“Bareng, Pa.” Singkat Shita seraya berdiri dan melangkah menuju kamarnya untuk mengambil tas berisi berkas-berkas pasien. Sedang Dokter Rubi langsung melangkah menuju teras diikuti oleh Bu Nining yang membawakan tas suaminya.
Dokter Rubi segera mengeluarkan BMW-nya. Tak lama, Harshita pun datang. Setelah mencium tangan ibunya, ia segera masuk mobil. Beberapa menit kemudian, mobil pun telah melaju tenang, menyelinap di antara rintik gerimis menuju Rumah Sakit Pondok Indah.
***
Sementara itu Argi baru saja terbangun ketika mendengar suara gorden jendela di singsingkan. Di luar langit masih muram. Namun hatinya langsung tenang ketika kedua tatapnya di sambut oleh senyum teduh ibunda tercinta.
“Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?” tanya sang Ibu lembut sambil melangkah dan duduk di samping Argi.
“Alhamdulillah, lebih baik, Ma,” jawabnya, “kata dokter Argi sakit apa?” lanjutnya.
“Cuma gejala Tipus. Kamu terlalu lelah katanya,” jawab Bu Mar.
“Alhamdulillah ... tapi ....”
“Kenapa?” Bu Mar sedikit cemas.
“Argi lapar,” jawabnya sambil nyengir.
Bu Mar tertawa kecil. Dibelainya wajah sang putra.
“Gimana nggak lapar la wong sejak kemarin siang kamu belum makan apa-apa,” sahut Bu Mar, “sebentar, papamu sedang keluar beli bubur ayam.”
“Emang Papa nggak kemana-mana, Ma? Bukannya pagi ini Papa ada urusan bisnis di Singapura?” tanya Argi.
Belum sempat Bu Mar menjawab, pintu ruangan terbuka. Pak Marzuki masuk sambil membawa tiga porsi bubur ayam spesial.
“Papa nggak kan kemana-mana sebelum yakin kamu sehat seperti biasa,” kata Pak Marzuki. Rupanya mendengar apa yang dibicarakan oleh istri dan putra semata wayangnya tadi.
Argi tak menjawab. Ia menyesal telah merepotkan kedua orangtuanya.
“Katanya lapar, ayo sarapan dulu!” seru Bu Mar, “bantu Argi duduk dong, Pa,” lanjutnya kepada Pak Marzuki.
“Argi bisa sendiri kok, Ma.” Ia bangkit dan duduk. Tubuhnya masih sangat lemas. Namun ketidakinginan merepotkan orangtua membuatnya kuat.
Bu Mar segera menuangkan air mineral dari botol ke dalam gelas. Lalu diberikannya kepada Argi.
“Minum air putih dulu.” Argi menerimanya.
Hatinya kian yakin bahwa cinta orangtua kepada anaknya adalah salah satu cinta tersuci dan tertulus. Bagaimana pun anaknya, seperti apa pun anaknya, orangtua tetap akan mencintainya.
“Terima kasih, Ma,” katanya dan tersenyum.
Bu Mar membalas senyum putranya.
“Makan nih, kalau kurang nanti Mama beli lagi.”
Hanya butuh waktu 3 menit saja bagi Argi untuk menghabiskan semangkuk bubur ayam. Perutnya sudah kenyang. Bu Mar pun tak lupa membuatkan Argi susu. Segelas susu itu pun dihabiskan hanya dalam satu kali tegukan. Setelah itu Argi kembali menyandarkan tubuhnya. Lalu menarik napas panjang.