Sembilan belas tahun lalu di Jakarta, tepatnya pada 8 Oktober 2058, hujan tumpah sepanjang tiga hari. Sebelum hujan benar-benar turun, selama seminggu langit berkabung awan kelabu yang pekat dan rendah, dan dalam rentang itu orang-orang merindukan langit biru dan sinar matahari, namun batas antara siang dan malam menjadi kabur seakan fajar tidak pernah datang dan senja tidak pernah berlalu. Kecuali hewan-hewan yang dengan ganjil menjadi lebih tenang seperti saat terjadinya gerhana, kecemasan yang mengendap selama seminggu itu menyeruak menjadi kepanikan tertahan. Orang-orang pun kehilangan sensasinya terhadap waktu dan mereka tidak tahu lagi kapan waktu untuk bekerja dan kapan waktu untuk tidur.
Hujan selama tiga hari itu beriringan dengan guncangan di tanah yang tidak terdengar seperti rekahan atau patahan sebagaimana gempa bumi. Permukaan yang amblas perlahan akibat rongga tanah yang keropos, terdengar seperti auman makhluk buas belaka, yang nyaris mengambrukkan gedung-gedung di permukaannya. Alam meneror Jakarta tidak hanya dari langit dengan buliran hujan sebesar kerikilnya seakan tidak pernah berhenti mendera, tapi juga air laut yang merangkak dari Jakarta Utara, merengkuh relung dataran yang belum pernah mereka sambangi. Hingga hujan benar-benar berhenti pada hari terakhirnya, banjir sudah sampai setinggi Monumen Nasional pada anak tangga ke-26.
Semenjak genangan yang tinggi itu tidak lagi hengkang, orang-orang tidak lagi menyebutnya banjir, melainkan bahar. Selama itu pula orang-orang tidak peduli lagi dengan kendaraan mereka, mobil-mobil dan motor-motor, bus-bus dan truk-truk, dibiarkan berserakan di ruas-ruas jalan, ditenggelamkan air yang tidak pernah setinggi dan seluas itu. Kau dapat melihat kendaraan-kendaraan yang berserakan pada waktu yang telah ditetapkan air surut selama enam jam sebelum meninggi lagi. Selama air meninggi, sampah-sampah mengambang bersama ganggang merah yang datang dari Laut Jawa, dan ikan-ikan bergelimpangan tidak tahan lagi dengan bahar yang tercemar limbah beracun. Kau juga dapat menemukan mayat-mayat manusia mengambang di antaranya dan tidak ada yang tahu nama dan silsilah mereka semasa hidup, hingga mereka kembung dan pucat, terlihat hendak meletus, tidak ada yang peduli untuk memberikan mereka pemakaman yang layak.
Hari pertama setelah bencana itu langit malam jernih, aliran listrik yang terputus menjadikan malam Jakarta gulita, menyingkap Bima Sakti yang selama ini bersembunyi dari polusi cahaya. Bulan tampak lebih besar dari biasanya dan lebih benderang dengan lingkaran halo berpola pelangi. Pada pagi hari langit biru pucat menghampiri tabula rasa dan keterikan sinar matahari sanggup membuat kulit yang telanjang terlalu lama bersisik dan mengelupas. Semenjak itu orang-orang tidak bisa lagi mencirikan perputaran musim.
Sebagian besar penduduk Jakarta memutuskan eksodus. Terutama segelintir elit yang menjadikan sehampar di perbukitan Pulau Borneo sebagai ibu kota baru, membawa serta relikui api emas dari Monumen Nasional untuk mereka pajang pada puncak tonggak obelis yang baru, menyebutnya Jakarta Baru sementara kota yang telah tenggelam itu disebut Jakarta Lama.