Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #2

Mimpi Bayi Bermata Tiga

Setiap orang di dalam kedai kopi itu menghentikan obrolan mereka begitu mendengar pintu masuk berkeriut dan dari luar, tiga orang dengan kombinasi ganjil berjalan memasuki ruang.

Seorang wanita berwajah menggoda dengan daster lingerie merah hati, menggenggam perutnya yang besar dan hampir bundar sempurna. Seorang lelaki androgini mengunyah permen karet, sulit menentukan apakah wajahnya tampan atau cantik. Seorang lelaki berjaket kulit dengan tubuh penuh tato, memandang balik para pengunjung dengan tatapan sengit.

Mereka duduk di sofa persegi yang kosong di sudut ruangan. Orang-orang kembali melanjutkan obrolan mereka sambil sesekali menoleh kepada tiga orang pengunjung baru itu. 

Ros, begitu nama lelaki manis yang mengunyah permen karet, memberikan dua lembar permen karet penghabisan kepada dua kawannya, berniat meringankan ketegangan interior kedai kopi semenjak mereka masuk. Permen karet yang sedang dikunyahnya sendiri sudah sebulan lebih berada di mulutnya. Meskipun rasanya masam dan berbau liur basi, Ros akan berpikir tiga kali untuk melepehnya.

Semenjak banjir besar kedua, orang-orang akan berpikir ulang untuk membuang barang yang mereka miliki seremeh apapun itu terdengar dahulu. Hampir semua orang menjadikan daur-ulang sebagai naluri kedua mereka, sejenis mekanisme bertahan hidup di bumi yang aksisnya semakin berkarat.

Pemberian dua lembar permen karet kepada kedua kawannya itu mengisyaratkan betapa berharganya mereka bagi Ros. Meskipun setelah ini kita akan segera tahu, wanita hamil itu baru saja ditemui kedua lelaki itu beberapa hari belakangan.

“Ada yang salah dengan kita?” kata Jak, pemuda yang dipenuhi tato. “Kenapa mereka menatap kita dengan wajah seperti itu?”

“Kau bisa lihat sendiri,” kata Ros, menoleh kepada Jak dan wanita hamil itu, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling, bertemu mata dengan orang-orang yang masih melirik kepada mereka. “Seorang wanita cantik hamil tua, dengan dua lelaki. Satu berwajah tampan tidak tertolong, satu berwajah cabul sepertimu. Mereka mungkin sedang memasang taruhan; Siapa ayah dari jabang bayi Ayu.”

Jak meludahkan permen karet yang baru saja diberikan Ros, tidak peduli betapa pun berharganya permen karet itu. “Tutup mulut sampahmu Ros. Kita tidak akan pernah tahu bahaya apa yang datang akibat mulutmu itu.”

“Kawan,” kata Ros kepada Jak. “Aku tidak peduli sudah sekental apa persahabatan kita. Sekali lagi kau menghina mulutku, kau akan segera tahu akhir cerita dari tato komikmu.” 

“Kau cuma pandai bertingkah dan ngoceh.” 

“Kawan, enggak pernah dengar lidah lebih tajam dari silet, lebih berbisa dari bisa ular, lebih mematikan dari peluru?”

Jak menarik kerah kaus pastel yang dikenakan Ros, merenggutnya hingga kening mereka beradu. Mereka berbagi pandangan sengit.

“Santai,” kata Ros. “Santai kawan.”

Selagi mereka saling tatap, Ayu, wanita yang sedari tadi menahan cemas menyimak pertengkaran itu, mendapatkan rasa mulas di perutnya. Dia menggenggamnya kemudian mengelus-ngelusnya layaknya peramal yang memainkan kedua tangan pada bohlam Tesla. Ayu mendesah dan kedua lelaki yang beradu kening itu pun menoleh kepadanya. Seketika mereka menyadari seluruh mata menonton pertengkaran kecil mereka dengan wajah-wajah yang tengik.

“Kamu udah mau ngelahirin aja?” tanya Ros kepada Ayu yang terlihat meringis. 

“Melahirkan di kedai kopi ini adalah ide buruk.” 

Ayu menggeleng. “Cuma mau ke kamar kecil. Tapi aku bisa menahannya.” 

Jak mendorong Ros, kemudian membuka jaket kulitnya dan memberikannya kepada Ayu. “Pakai ini agar kau tidak masuk angin.”

Ayu mengenakan jaket kulit pemberian Jak dan mengangguk berterima kasih.

“Syukurlah,” kata Ros. Kemudian dia baru teringat. “Bukankah tujuan kita ke sini untuk minum seloki air?”

“Kau yang ngajak, kau yang traktir,” kata Jak.

“Aku enggak tahu kalau tabiat yang-ngajak-yang-traktir masih berlaku setelah banjir besar kedua. Keluarkan uangmu sendiri. Aku hanya akan membayar air untuk Ayu.” 

“Terima kasih, Ros,” kata Ayu. “Tapi aku enggak haus.”

“Kau harus minum, Ayu,” kata Ros. “Meskipun enggak haus, kau sedang berbadan dua sekarang.” 

“Baiklah,” Jak menyela, kemudian beranjak dari sofa untuk memesan minuman mereka. “Aku akan keluarkan uang hasil Arena Tarungku.”

“Begitu, dong,” kata Ros. “Kau memang sahabat kentalku dan sebentar lagi akan kuangkat menjadi saudara.”

“Kalau enggak karena Ruh, aku enggak sudi berkawan denganmu,” kata Jak tidak lepas dari perhatian orang-orang.

Begitu mendapatkan air minum yang dipesan dari seorang pelayan cantik berwajah Mandarin, mereka langsung menenggaknya tandas. Mereka menyadari tatapan-tatapan jengkel dari penjuru ruangan dan bertahan lebih lama lagi di sana tidak terbayangkan keributan macam apa yang akan terjadi.

Ketika Jak membuka pintu untuk mereka keluar, seorang wanita, bagai muncul dari ruang hampa, melangkah masuk dan mengejutkan ketiga orang itu. Seorang wanita dengan rambut hitam sepanjang pinggang, mengembang dan bergelombong, dengan wajah cantik yang terlihat datar dan enigmatis sekaligus, mengenakan jubah tebal ungu kusam yang terjuntai terseret-seret di lantai. Ros mengerenyitkan hidungnya begitu wanita asing itu masuk melewati mereka. Dia mencium aroma yang sudah langka berada di Jakarta Lama.

“Tidakkah kalian menciumnya?” kata Ros kepada dua kawannya. “Wanita itu bau kucing.” 

Ayu menggelengkan kepalanya tidak memahami. Terlepas dari kondisi wanita hamil yang kerap sensitif terhadap bau-bauan, Ayu adalah wanita yang mengidap sinusitis dan sudah lama hidungnya kebas dari jutaan bebauan Jakarta Lama. Sementara Jak dengan ratusan perkelahiannya di jalan dan pertarungan di Arena Tarung, sudah lama membikin tulang hidungnya bergeser dan penciumannya mati rasa.

“Sudah belasan tahun tidak ada kucing di Jakarta Lama,” kata Jak. 

“Tapi wanita itu sungguh berbau kucing. Atau dia sebenarnya—” 

“Wanita Benggala, maksudmu? Itu cuma legenda urban.” 

Lihat selengkapnya