Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #3

Gerbong Tangerang

Di Stasiun Tangerang, terdapat satu rangkaian kereta komuter terdiri dari empat gerbong, sudah tidak lagi beroperasi semenjak Banjir Besar Kedua. Kecuali satu gerbong yang, menjadi kepala rangkaian tempat masinis pernah mengendalikan kereta selain khusus untuk penumpang wanita, tiga gerbong lain sudah berkali-kali beralih fungsi. Orang-orang yang selamat, juga punya patronasi wilayah punya cara baru bagaimana memanfaatkan fasilitas publik yang sudah tidak dimanfaatkan lagi.

Saat ini, tiga gerbong itu secara kreatif dibentuk menjadi sejenis klab malam, tempat para pengendali cakram yang biasanya wanita-wanita berpakaian sensual, mengontrol tubuh jiwa pikiran penikmatnya melalui rekayasa bebunyian elektronik, yang tidak pernah terpikirkan bagi penikmat musik itu dahulu.

Bunyi repitisi melodi yang ritmis dengan komposisi replika suara alam berhasil diaransemen, menciptakan nada-nada yang membikin mereka melupakan dunia luar yang menggila. Tentu untuk melupakan kegilaan kenyataan, kegilaan sebanding dari distorsi bebunyian perlu disusun, menggiring indra pendengaran untuk mensugesti tubuh dan jiwa dan pikiran.

Sudah tiga hari para penikmat musik elektronik yang sebagian besar tidak mau pergi, terhibur oleh duo pengendali cakram, Angela Demona. Pada siang hari, menunggu waktu malam saat kedua DJ menyetel musik mereka, orang-orang akan bergelimpangan, tertidur hingga sore hari, terbangun begitu perut keroncongan dan pergi mencari makan untuk kembali lagi begitu malam menjelang.

Di satu gerbong yang lain, interior ruangannya terlapisi oleh krat-krat telur ayam, tersusun rapih dan tidak membiarkan bunyi apapun dari luar masuk ke dalamnya. Di sebagian permukaan dinding krat telur itu kertas-kertas sketsa tertempel dengan susunan yang tidak beraturan. Di permukaannya adalah goresan-goresan pena yang menunjukkan potret seorang wanita. Dari satu sketsa ke sketsa lain, potret wanita itu menampilkan gestur yang hampir sama, dengan seekor kucing besar yang berdiri di belakangnya dan banyak kucing memenuhi ruang kosong kertas. Dari guratan pena itu, kita dapat mengetahui bahwa sketsa-sketsa itu digambar oleh seorang bocah, persis seperti tugas menggambar sekolah dasar.

Jika diperhatikan, kita dapat melihat dari guratan satu dengan guratan lainnya yang saling tumpang-tindih dan membentuk pola, terdapat ketebalan dan kelenturan goresan, yang berpusat di wajah wanita itu dan semakin meluas semakin goresannya cenderung lebih kasar dan semrawut. Setelah menyelidiki setiap kertas sketsa kita akan menyadari dari satu dan lainnya ada upaya untuk memperjelas imaji, sebagaimana misteri yang perlahan terungkap.

Ruh baru saja menyelesaikan sketsa wanita dengan banyak kucing itu dan menempelnya di dinding krat telur, berjajar sketsa-sketsa lain yang telah digambarnya. Semuanya berjumlah empat ratus lima puluh tujuh dan nmasih ada sedikit ruang sebelum dia berpindah ke sisi lain dinding.

Seisi interior gerbong itu bergetar halus, terdampak rambatan ampliflikasi suara gerbong dansa. Selain lapisan krat telor yang memenuhi seluruh permukaan dinding dan langit-langit, Ruh tidak pernah mencopot pelantang telinga bermotif bintang, kacamata hitam dan masker hidung-mulut, tidak pernah menanggalkan sarung tangan dan kaus kaki, tidak pernah melepas switer tebal, menjaganya tetap sunyi dari sentuhan lima sensasi. Sebagai bocah yang menderita kepekaan panca-indera berlebihan, semua itu mereduksi gangguan terhalus yang datang dari luar gerbong.

Gendang telinganya memiliki kepekaan melebihi kelelawar, yang dapat mendengar suara yang bahkan berasal dari rambatan jauh kicauan semesta. Kulitnya bisa merasakan sentuhan dari paparan gelombang elektromagnetis. Penciumannya dapat menghidu jutaan aroma dan bebauan yang bahkan belum bernama dalam radius satu kilometer. Pandangannya dapat melihat keadaan bahkan dari balik gunung, baik terjaga mau pun terpejam.

Peredam yang dibuat oleh Ros dan Jak di setiap sisi dinding dan langit-langit itu membantu Ruh mengendalikan kelima-inderanya yang dahulu sempat lepas kendali. Bukan perkara mudah menjadi seorang bocah yang terbiasa hidup dalam gelombang otak paling halus yang menyesuaikan diri dengan irama semesta pada tingkatan molar dan molekuler. Sehingga, apabila tidak ada perisai itu semua, persepsi Ruh bisa tersesat di alam bawah sadar yang tumpang tindih dengan alam atas sadar.

Setidaknya itulah yang terjadi sebelum empat ratus lima puluh delapan hari yang lalu Ruh memutuskan untuk berhenti tidur. Pada malam terakhir dia tertidur, Ruh bahkan belum sampai kepada fase tidur-nyenyak di mana seluruh kerja tubuh berada dalam arusnya yang paling lamat sebelum memasuki lapisan mimpi. Begitu matanya terpejam, Ruh langsung memasuki alam mimpi dan tidak lagi bisa keluar darinya. Mimpi yang dialaminya senyata dalam keadaan terjaga, alih-alih hanya berupa sketsa-sketsa imaji dan simbol-simbol samar. Dunia yang bagi gudang linguistiknya yang miskin sulit dijelaskan sebab dia terus tenggelam melebihi alam metafora, melewati alam hikmat, menembus alam hakikat, mengawang di suatu entah.

Segala teknik penggambaran dan pelukisan dan pengisahan dan penafsiran dan penerjemahan tidak menemukan bentuknya. Yang diingat oleh Ruh hanyalah imaji seorang wanita, atau simbol seperti wanita atau konsep seperti wanita atau sesuatu yang disebut wanita, dan ribuan kucing dan seekor harimau Benggala.

Wanita itulah yang mengeluarkannya dari ketersesatan alam bawah sadar di lapisnya yang paling dalam. Entah bagaimana caranya wanita dengan ribuan kucing dan harimau Benggala itu menyelamatkannya. Ruh tidak mengingat adegan detailnya. Bocah itu hanya terbangun dan menyadari sudah berada di gerbong Tangerang.

Di dalam gerbong itu Ruh tidak sendirian. Adalah Einstein, kucing Himalaya tua yang selalu menemaninya. Ruh akan bermain-main dengannya dengan permainan apapun yang terlintas di kepala. Satu kali Ruh akan melemparkan bola karet yang dibuatnya dari gelang-gelang karet, ke sisi lain gerbong lalu Einstein akan mengejarnya dan menangkapnya kemudian mengembalikannya kepada Ruh. Lain kali mereka hanya akan memandangi semut-semut hitam yang merayap di lantai gerbong, memberi mereka sebongkah kecil roti kasar kemudian menyaksikan semut-semut mengeroposi setiap bagiannya, memboyongnya ke luar gerbong.

Hari itu, Einstein menemukan seekor kecoak tersesat dari celah bawah pintu gerbong yang tertutup. Tanpa pengawasan Ruh Einstein bermain dengan kecoak itu tanpa nafsu untuk memakannya, mempreteli kaki-kaki dan kepak-kepaknya hingga serangga malang itu tidak bisa lagi bergerak. Begitu Ruh mengetahuinya dengan terlambat, bocah itu tidak bisa melampiaskan kemarahannya kepada Einstein dengan menendang kucing itu. Tidak. Ruh tidak bisa demikian. Dia adalah bocah paling empatik yang dapat ditemui setelah banjir besar kedua. Menyakiti Einstein berarti menyakiti dirinya sendiri. Ruh hanya akan menangisi kematian kecoak itu kemudian menjalankan semacam ritual kematian yang layak dengan cara memasukkan bangkai mungilnya ke dalam kaleng susu dan melarungnya di bahar terdekat di luar stasiun.

Malam berselang dan bosan berada di dalam gerbong, Ruh akan memanjat atap stasiun, duduk merangkul kakinya, memandangi langit malam di mana bulan terlihat begitu besar. Ruh punya kebiasaan mengukur lingkar bulan dengan membandingkan lingkar koin Kronos. Einstein menemani di sebelahnya. Selain mengamati bulan yang semakin membesar dan bintang-bintang yang semakin menjauh, Ruh menunggu lampion-lampion terbang melarung di langit malam. Ruh penasaran dari mana datangnya lampion-lampion terbang itu. Pada saat lampion-lampion itu melewati pandangan mereka, Einstein selalu mengeong sendu.

Setengah jam sebelum kedatangan rekan-rekannya, Einstein menunjukkan gelagat yang tidak biasa. Sebuah kecemasan dari bulu-bulunya yang tegak, pupil matanya yang menyempit, dan kuda-kuda tubuhnya yang terkejut. Einstein terus menggeram seakan sesuatu yang amat buruk akan segera terjadi.

Selain sebagai sahabatnya saat Ros dan Jak sedang tidak bersamanya, Einstein juga menjadi semacam sinyal alamiah akan sesuatu yang buruk pada persentuhan masa depannya menjalankan pekerjaan. Semacam isyarat agar Ruh meningkatkan kewaspadaan. Detail sensasional halus yang menghunjam panca-indera kerap membuatnya letih, dan keberadaan Einstein sangat membantu di saat bocah itu membentengi diri dari pergerakan kosmos yang berjejaring laba-laba dengan perangkat sensasinya.

Einstein terus menggeram dan menegakkan tubuh dan bulunya, dengan kuda-kuda siap menyerang di saat pintu gerbong kediamannya terbuka. Mereka memasuki gerbong dengan menggeser pintunya. Begitu melihat lelaki bertato itu, Einstein langsung melompat kepada Jak, dan lelaki itu membelai bulu-bulu tua yang mudah rontok dari kucing itu. Einstein menyadari seorang wanita hamil yang datang bersama mereka lantas menggeram kepadanya, menunjukkan taring-taringnya yang rapat, memandangnya dengan pupil mata menyempit. Ros memeluk Ruh seakan mereka sudah tidak bertemu dalam waktu lama.

“Bagaimana kabarmu, bocah sensitif?” kata Ros.

Lihat selengkapnya