Dari seluruh pelanggan tetap di kedai kopi itu, tidak ada yang tidak mengenal Fei Wong, pelayan yang lebih pantas sebagai model. Tentu saja dia terlalu cantik untuk berada di kedai kusam dan berdebu, dengan penerangan buram, dan sebagian besar pelanggan berasal dari kaum papa yang sewarna dengan kemuraman interior kedai kopi tersebut. Namun, dia terlalu dingin untuk dapat digoda, dan terlalu angkuh untuk profesi rendahannya, dan terlalu tinggi bagi kebanyakan lelaki yang nyaris cebol. Kecantikannya dan sikap dinginnya yang bengis memberi jarak dengan para pelanggan. Fitur itu dilengkapi dengan rahasia umum pelanggan lama bahwa Fei Wong lebih dari sekadar pelayan. Dia adalah anggota Wisanggeni88.
Tidak ada yang berani menggodanya, juga tidak ada yang berani menahan informasi dari wanita itu. Dari para pelanggan, Fei Wong mengetahui apa yang perlu dipahaminya untuk menjaga kelangsungan penguasaan air bersih di Jakarta Lama oleh Wisanggeni88. Meskipun sebagian besar informasi yang didapatnya sekadar remeh-temeh yang tidak mungkin bisa menggoyang patronasi gerombolan mafia itu.
Bersama pelanggan lain, bersandar di konter bar dan menggenggam baki, Fei Wong melihat mereka memasuki pintu utama kedai kopi itu. Dua pria dengan seorang wanita hamil. Kemunculan mereka yang tiba-tiba menjelang sore yang terik menarik perhatiannya. Tentu ada kisah menarik yang mereka simpan mengingat kombinasi ketiga tamu yang tidak pernah terlihat mampir di kedai itu begitu mencolok dan nyentrik. Terlebih, keberadaan mereka sungguh berisik dan Fei Wong menyadari wajah-wajah jengkel dari tamu lain dengan kehadiran mereka bertiga. Dari beberapa pelanggan yang dikenalnya, Fei Wong mengetahui bahwa wanita hamil itu dikenal sebagai seorang mantan pelacur fenomenal di utara Jakarta Lama. Tapi tidak seorang pun mengenali dua lelaki yang menemaninya. Namun, firasat intelegen Fei Wong berintuisi bahwa mereka memiliki informasi dari sekadar bermain gila di atas ranjang.
Setelah kepergian tiga pengunjung aneh itu, setengah jam kemudian Fei Wong meninggalkan kedai kopi untuk menelusuri informasi lebih dalam terkait mereka, dan tiga jam setelahnya dia sudah berada di atas taksi air membawa karung goni yang berisi sesosok tubuh manusia. Semenjak membawa karung goni berisi itu di dalam taksi air, dua bocah pendayung dengan supirnya terus memandang curiga akan apa yang dibawa wanita itu.
“Nona,” kata supir itu. “Kau pernah nonton Chungking Express?”
Fei Wong tidak menjawabnya. Wanita itu hanya memandangi puncak obelis Monumen Nasional yang nyala apinya sudah tidak ada lagi, begitu mereka memasuki Medan Merdeka Barat.