Sarai menyadari seorang lelaki yang terhenti di depan pintu setelah berpapasan dengannya. Dia juga menyadari, beberapa tamu kedai kopi itu kor-batuk setelah pemuda itu keluar menutup pintu. Dia berjalan menuju konter kedai. Semua orang melihatnya dan menyadari bau asing yang sudah lama tidak mereka dapati di Jakarta Lama.
“Kau punya aroma tubuh yang tajam,” kata seorang pelayan bertubuh tinggi ramping, berwajah oriental, berdiri bersandar di konter. “Berkarakter dan kuat.”
Sarai tersenyum tipis dan mengangguk samar.
“Hari ini aku bertemu orang-orang yang unik di kedai,” katanya lagi, sebelum membawa baki berisi dua seloki air putih.
“Apa yang kau butuhkan, Nona?” kata pelayan konter yang lain, lelaki berwajah bosan yang berada di sisi dalam.
Sarai memasukkan tangan kanannya ke saku jubahnya, lalu mengeluarkannya, meletakkan lima keping Kronos di atas meja konter. “Satu seloki air putih, dan sebongkah roti kasar.”
Sebelum mengerjakan permintaan itu, pelayan itu terdiam memikirkan nada suara datar dan dingin wanita itu. Sesuatu yang sulit ditemukan, semenjak banjir besar kedua sebagian besar wanita punya nada suara yang melengking, seperti, seluruh emosi mereka berada di hadapan wajah mendahului nasib. Pelayan itu pun beranjak ke rak gelas-gelas, dan menuang air putih dari cerek air ke dalam gelas seloki.
“Orang-orang sudah lupa kami masih memiliki persediaan kopi,” katanya sambil meletakkan seloki air itu di hadapan Sarai. “Tapi orang-orang lebih membutuhkan air putih semenjak air bersih sulit ditemukan dan orang-orang tidak lagi butuh kopi agar terjaga. Sekarang kopi-kopi itu sudah tercemari udara dan apak.”
Sarai menggenggam seloki airnya dan langsung menenggaknya. Dia mendengarkan semua yang dikatakan pelayan itu meskipun tidak bereaksi sama sekali terhadapnya. Pelayan itu mengambil sebongkah roti kering, membungkusnya dengan kertas tisu dan memberikannya kepada Sarai. Wanita itu mengambilnya dan memasukkannya ke dalam saku jubah.
“Bedebah!” kata salah seorang tamu, yang sepertinya tidak berhenti untuk batuk semenjak kedatangan Sarai. “Ini bau kucing! Aku tahu meskipun sudah lama tidak lihat!”
Pelayan wanita yang mengantar dua seloki air, memandang Sarai setelah mendengar umpatan tamu tua itu.
Sarai mendengar itu sembari memunggungi semua tamu yang mengejek wanita Benggala. Wanita itu merasa tidak bisa berlama-lama di sana dan memutuskan untuk keluar setelah berterima kasih kepada pelayan itu. Sarai tidak memandang mereka. Wajahnya lurus ke depan menuju pintu utama tapi dia tahu seluruh mata menatapnya berlalu.
Sarai mengambil dua tas keril 60 liter yang tersampir di tembok kedai kopi itu dan menyeretnya menuju tepi balkon. Sarai menemukan sebuah taksi air yang kebetulan mendekat dan langsung memesannya dengan melambaikan tangan. Selain taksi air itu, bahar dilalui oleh rakit-rakit dan sampan-sampan.