Sebelum menjalankan misi, mereka duduk di bangku gerbong dansa, sebagai satu-satunya gerombolan pengunjung yang tidak bergerak mengikuti irama musik.
Berada di lantai dansa adalah bagian kebiasaan pelacak takdir sebelum bertolak. Ruh membutuhkan nuansa artifisial gerbong dansa sebelum dia melangkah ke dunia luar, agar beragam energi yang bersilir di udara tidak serta-merta mengguncang inderanya yang terlampau empatik. Ruh masih mengenakan pelantang telinganya untuk meredam dominasi musik yang tertabuh dari ampli-elektronik yang tersemat di setiap sudut gerbong.
Kecuali Ayu, mereka memakai kacamata hitam.
“Mengapa hanya kalian yang pakai kacamata hitam, sedangkan aku tidak?” kata Ayu.
“Biar terlihat keren aja,” kata Ros.
“Apa? aku enggak dengar! Musik di sini terlalu bising!” “Biar keren!”
“Oo.” Ayu mengangguk. “Kalian punya yang lain?”
Jak merogoh saku jaket kulit yang sedang dikenakan wanita itu dan memberikan kacamata hitam kepadanya. Ayu memasangnya. Kecuali Ruh, mereka bertiga menganggukkan kepala mengikuti irama musik. Memang keren, batin Ayu, tapi tidak berfaedah sama sekali.
Dari balik kacamata hitam, mereka melihat para pengunjung sudah mulai memasuki puncak ekstase. Seorang pria berkepala botak membuka bajunya, menggeliatkan tubuh memutar-mutar kaus yang berkeringat di udara. Seorang wanita melakukan salto belakang berkali-kali, akrobat yang mustahil dilakukannya dalam keadaan sadar. Seorang kakek menganimasi ulat bulu di permukaan lantai gerbong dansa.
“Mereka semakin menggila,” kata Ayu.
“Tidak pernahkah kau dengar?” kata Ros mendekatkan diri kepada Ayu. “Literatur kuno menyebut musik adalah alat Iblis untuk mengendalikan jiwa manusia.”
“Oo.”
“Tapi EDM beda. Bagi mereka,” Ros menunjuk orang-orang yang sedang menikmati musik. “Ini seperti agama.”
Ayu mengangguk, tidak peduli dengan pernyataan Ros, kemudian kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling gerbong dansa.
Semua orang berjoget tanpa kecuali para wanita. Mereka menanggalkan baju, melenguh histeris sambil menggoyangkan tubuh dalam gerakan acak yang sulit dipahami keindahannya, sulit menyebutnya sebuah dansa. Namun mereka tidak membutuhkan keindahan bentuk apapun. Mereka tidak membutuhkan pemaknaan. Mereka hanya butuh jiwa mereka terbang liar meninggalkan kungkungan cangkang tubuh yang kosong.
Ayu melempar pandangannya ke pojok lain gerbong, panggung kecil di mana duo DJ Angela Demona memainkan instrumen musik elektroniknya. Gerakan tangan duo DJ itu seirama dengan kegilaan yang hadir di tengah-tengah penikmat, seakan dari jemari mereka-lah jiwa-jiwa dikendalikan. Bunyi-bunyian monoton terdengar seperti rapalan mantra, bersembunyi di antara melodi-melodi dengan panjang-pendek, tinggi-rendah, ketuk-hentak nada-nada.
“Makin lama di sini, aku jadi bisa bersimpati kepada mereka,” kata Jak.
Jemarinya sudah menari-nari di atas pahanya. Sementara Ros sudah meliuk-liukkan kedua lengannya membentuk ombak.