Tempat yang paling nyaman bagi Tolstoy untuk menggelungkan tubuhnya dan mendengkur adalah pundak Toni yang merampungkan karangannya. Perasaan nyaman yang juga dirasakan oleh lelaki itu semenjak dia berpikir dia hanyalah seorang pengarang gagal, sebab tak satu pun novel yang berhasil dirampungkannya, juga tidak ada yang dapat dilakukannya selain menulis dan terus menulis.
Menulis menurut anggapannya yang terdalam, dan telah menjadi kesimpulan pamungkasnya setelah dia menjalani berbagai pekerjaan, mulai dari koki di sebuah kapal pesiar, hingga menjadi kuli tinta di sebuah surat kabar yang pernah eksis, telah menjadi alasan dirinya untuk hidup. Benci dan cintanya sebagaimana dia membenci dan mencintai manusia dan kehidupan itu sendiri.
Toni tidak bisa menentukan dengan tegas apakah dia membenci dan mencintai satu hal. Orang dungu pun paham bahwa benci dan cinta tidak bisa dituang ke dalam satu wadah. Tapi itulah yang dirasakannya terhadap hidup, terhadap manusia, terhadap menulis, terhadap dirinya sendiri.
Namun Toni berkesimpulan, sedungu dan sesia-sia apapun masa lalu, hidup masih layak dijalani sampai menemukan alasan berarti keberadaan diri selama nyawa masih bergelayut di bulu hidung. Dorongan semacam itulah yang terus ditunggangi olehnya untuk menyeret hari-harinya yang serat sebagaimana dia menelan roti kering tanpa bantuan air: menulis untuk membuktikan tidak kepada siapapun, melainkan diri sendiri.
Dia terlalu pecundang untuk menyatakan diri ingin menulis untuk banyak orang dan mereka dapat memetik sesuatu yang bermakna dari karangannya. Toni tidak punya bakat seorang savan sastra sehingga dia berani mengaku bahwa karyanya dapat menjadi sumbangsih peradaban.
Namun, panggilan untuk menulis tidak serta-merta datang layaknya momen wahyu yang jatuh dari kerajaan langit, dan seketika memutuskan untuk menulis sesuatu yang bernas untuk disampaikannya kepada sesama. Baginya, menulis menjadi semacam alamat, yang dari balik permukaan kenyataan terus mengusiknya dengan isyarat-isyarat bahwa kau harus menulis, kau harus menulis. Ada sesuatu hanya kau yang bisa menyampaikannya dan tidak seorang pun.
Hanya kaulah yang memahaminya hingga sudut-sudut tergelap dan pemahaman samar itu layak untuk dibagikan kepada orang lain. Sebab tidak semua orang berani untuk sekadar mengintip ke dalam kegelapan yang tak berdasar dari hidupnya sendiri, terlalu menakutkan, dan terlalu sia-sia mengingat masih banyak hal penting lain.
Seorang bijak dari kaum artisan satu kali pernah memberitahunya bahwa dia punya bakat untuk berkisah. Mungkin itu yang menjadi pijakan untuknya menulis. Selain tentu saja tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukannya dengan lebih baik. Namun, ketika dia dengan cermat memikirkannya, pendapat seniman itu terdengar berlebihan. Toni hanyalah seorang pemuda pendiam, yang sulit mengutarakan isi hati dan pikirannya bahkan kepada gadis yang dia taksir sekali pun. Pendapat itu datang setelah seniman itu membaca satu artikel yang kebetulan ditulis Toni setelah dia memandang kepada sungai hitam yang memanjang di sepanjang Kali Deres sebelum terjadinya banjir besar kedua. Premis dari artikel itu adalah, sebagaimana semangat nasionalisme banal yang menggebu-gebu pada masa itu, bangsa ini belum akan bangkit sebelum sungai itu benar-benar jernih dan bersih dari racun.
Adalah alamiah Toni menjadikan sungai yang dipenuhi limbah racun itu sebagai metafora kebobrokan bangsa ini di segala kepingan hidupnya, di setiap sudutnya yang paling rahasia. Bagi Toni sungai hitam itu semacam ketaksadaran kolektif, yang bisa menenggelamkan kota yang dilaluinya pada saat yang telah ditetapkan. Namun selain seniman itu tidak ada seorang pun yang membaca artikelnya sehingga tidak ada yang menganggap bahwa apa yang ditulisnya adalah sesuatu yang bernilai.
Begitulah Toni memutuskan untuk menyeret hari-harinya hanya untuk menulis. Sebelum karya pamungkas dan satu-satunya yang dia beri judul Tentang Roh, meledak dan dibaca oleh masyarakat luas sehingga dia diciduk oleh pasukan elit Liga Perdamaian sebab, bagi kaum konglomerat buku yang tersebar itu, telah menghidupkan romantisisme Musa akan hidup yang seimbang.
Menulis itu sendiri adalah sesuatu yang mengerikan baginya. Selama melakukan pekerjaan lain Toni memutuskan untuk tidak menulis dan keputusan itu hanya menggiringnya kepada demam igau. Dia jatuh sakit selama tiga hari, terbaring di atas tempat tidur dan mengigau tentang banyak hal yang bahkan tidak dia pahami, yang mengguncang pemahaman status quo akalnya. Dan ketika dia pada akhirnya memutuskan untuk menulis, daripada delirium, Toni justru hanya menemukan kegagalan demi kegalalan.
Sudah tujuh belas premis yang menurutnya berpotensi menjadi bakal novel tapi karangan-karangan itu tidak pernah sampai terselesaikan. Mulanya kata-kata lancar meluncur dari imajinasinya, mengalir deras sebagaimana banjir bandang yang sulit terbendung. Namun begitu konflik mengerucut dan Toni membutuhkan sebuah sikap bagi tokoh-tokoh rekaannya kepada sebuah resolusi untuk menyelesaikan masalah, tokoh-tokohnya gagal menemukannya. Sebagian besar tokoh-tokoh yang ditulisnya akan terbelit konflik, begitu kusut sehingga mereka tidak dapat menemukan di mana pangkal dan ujung benangnya. Satu premis pernah dipaksakannya untuk diselesaikan tapi yang terjadi adalah, cerita tersebut hanya akan berujung tragedi.
Toni begitu benci dengan kisah-kisah yang berujung tragedi. Itu hanya menggambarkan kesia-siaan hidup. Toni menginginkan tokoh-tokohnya, sedungu dan sebanyak apapun berbuat kesalahan, pada akhirnya mesti memiliki harapan sebintik zarah sekali pun. Tokoh-tokoh yang memiliki secercah semangat juang di tengah samudra pilihan-pilihan keliru.
Toni juga pernah memutuskan menulis kisah sederhana yang dapat berakhir bahagia, dengan ketegangan dari awal hingga akhir kisah, sehingga bisa dibaca dalam sekali duduk di malam yang insomnia. Namun kisah itu, menurut hemat Toni, menjadi sangat dangkal dan banal dan profan sebab hanya berisi adegan-adegan yang memanjakan syahwat dan adrenalin. Tidak lebih. Tidak diperlukan pemahaman hidup yang mendalam.
Menulis kisah yang sarat hikmah pun hanya akan menjadi lorong-lorong pasase yang membosankan, yang terlalu sulit membacanya bahkan mulai dari kalimat pertama, menenggelamkan pembaca pelan-pelan ke dalam lumpur hisap bahasa penyair mabuk yang hanya bisa dipahami melalui kontemplasi radikal di gua terpencil dan sunyi.
Kisah-kisah yang gagal untuk diselesaikan itu mendorong Toni untuk mencari seuntai tali dan mengikatnya di rangka langit-langit ruang yang cukup kokoh sehingga bisa menggantung lehernya, cukup tinggi sehingga ujung jempol kakinya tidak dapat menyentuh lantai.
Berhenti menulis atau berhenti untuk hidup? Toni pun memilih yang kedua. Lelaki di akhir tiga puluhan itu, telah berdiri di atas bangku, membentuk simpul yang dapat muat di lehernya. Toni sudah melingkarkan simpul tali itu di lehernya. Satu dorongan kaki untuk menjatuhkan bangku setidaknya dibutuhkan tidak kurang dari satu menit yang penuh siksaan hingga paru-parunya berhenti mengolah udara, dan jantungnya berhenti memompa darah.
Namun sepanjang karir kepengarangannya yang gagal, Toni lupa akan satu teknik menyelesaikan masalah. Deus ex machina. Ketika Tuhan yang Maha Pemurah rela menyelamatkan seorang tokoh dari keputusasaannya menghadapi konflik yang paling mustahil terselesaikan. Di salah satu belokan plot hidupnya, Deus ex machina adalah Tolstoy. Kucing Himalaya yang selalu menemaninya menghadapi kesunyian masif kehidupan seorang pengarang.
Tolstoy masuk dari pintu, berjalan ke arah Toni yang telah berdiri di atas bangku, mengeong dengan lembut, dan menatap sepasang mata Toni yang tidak lagi memiliki sebersit cahaya. Di antara tumpukan buku-buku yang berserak dan menggunung, penampakan Tolstoy dengan sepasang mata bulat yang berkilau cahaya, tulus memandangnya, bagai tidak pernah seorang pun atau satu makhluk pun yang pernah menatapnya semurni mata kucing itu, berhasil menggoreskan setitik harapan, yang membuhul kalbunya dengan ikatan yang kuat dan tipis dan tidak pernah lapuk dan tidak mungkin putus, tersambung erat menggapai ranah makna. Sejurus kemudian, bangku itu tergeletak di lantai kamarnya, dan Toni terjatuh di samping Tolstoy, menguraikan air mata dan mengeluarkan jeritan asali tanpa suara, yang selama ini tidak pernah ditumpahkan di sepanjang hidupnya.