Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #9

Kucing Panggang

Einstein terkapar di atas balok kayu pipih dan lebar tempat tukang daging biasa memotong babi menjadi bagian-bagian kecil sebelum diolah di atas api. Sudah hampir satu jam kedua tukang daging yang biasa bertugas di ruangan itu hanya memandangi kucing itu, sambil mengasah pisau daging yang sudah kelewat tajam, tapi tetap mengasahnya. Kilau yang memantul dari pipih pisau daging menari-nari di wajah mereka. Sebab sudah terbiasa berada di ruangan pemotongan daging itu, tubuh mereka menguarkan bau daging babi yang menyengat, sehingga mereka sendiri sulit membedakan antara bau tubuh mereka dengan bau daging babi.

“Apakah kucing itu benar-benar sudah mati?” tanya seorang tukang daging kepada rekannya. “Tentu saja,” kata yang lainnya.

“Orang bilang kucing punya sembilan nyawa, atau bahkan tiga belas.” “Berarti sudah sembilan kali lebih dia dibunuh.”

“Aku harap sudah tiga belas kali. Aku tidak mau ketika kita kuliti kucing itu berontak dan kabur.”

“Semoga demikian.”

“Kenapa kau tidak langsung saja proses kucing itu?” “Kenapa harus aku, kenapa tidak kau?”

“Aku belum pernah menyembelih kucing sebelumnya.”

“Aku juga. Tapi sembilan tahun lalu, katanya, dapur ini kerap mengolah daging kucing, sebelum kucing sulit ditemukan di Jakarta Lama. Bos Besar sangat suka dagingnya. Katanya terasa manis dan lembut dan gurih. Sulit membedakannya dengan daging merpati.”

“Mungkinkah itu alasannya kucing menjadi punah di Jakarta Lama. Sebab semuanya sudah masuk ke dapur Wisanggeni88.”

“Tidak juga. Kau tahu, pasca banjir besar kedua, keadaan menjadi sangat krisis. Banyak orang kelaparan dan untuk bertahan hidup orang rela untuk memakan apapun yang mereka temukan. Kucing, anjing bahkan tikus. Dan semenjak tidak ada lagi kucing atau anjing yang dapat ditemukan populasi tikus meningkat drastis. Kau tahu binatang pengerat itu sulit sekali punah, sama kayak kecoa. Dan sekarang orang sudah cukup puas dengan memakan daging tikus atau kecoak.”

“Kau benar. Keluargaku adalah pecinta kucing. Kami senang memelihara mereka dan menganggapnya anggota keluarga sendiri. Bahkan ketika salah satu kucing kami meninggal, kami berkabung selama seminggu dan memberikannya pemakaman yang layak. Tapi setelah banjir besar kedua, kami menjadi sangat kelaparan dan terpaksa dua ekor kucing yang tersisa kami... kau tahu.”

“Itukah sebabnya dari tadi kau belum juga memproses kucing ini?” Tukang daging itu hanya diam.

“Untuk seseorang yang bekerja di ruang pemotongan daging selama empat tahun, ternyata kau masih menyimpan sedikit kemanusiaanmu.”

“Kamu pikir, dengan bekerja di sini kita menjadi benar-benar biadab?”

“Itu yang aku rasakan. Aku lebih dulu berada di sini daripadamu. Dan kau tahu, aku merasakan hatiku sama kebasnya dengan telapak tanganku.”

“Lalu kenapa tidak kau mulai saja menyembelih kucing itu?”

“Aku hanya tidak tahu caranya. Aku pikir kita tidak bisa memperlakukannya sama dengan babi, di mana kau tidak perlu khawatir salah memotong bagian-bagiannya. Lihatlah, di balik bulu tebalnya, kucing itu begitu kurus. Aku khawatir hanya akan membuang dagingnya yang sedikit.”

Lihat selengkapnya