Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #10

Ruang Interogasi

Lampu fluorosen lima watt terayun-ayun di ruang interogasi yang sempit dan pengap itu. Pancaran cahaya dari sumber penerangan satu-satunya ruangan itu menciptakan bayangan yang memanjang dan memendek di wajah Ros yang terlihat babak belur dan pucat dan lemah. Lelaki itu bertelanjang dada, duduk di sebuah bangku hitam, dengan kondisi kedua tangan terikat di belakang sandarannya, kedua kaki terkebat di kaki-kaki bangku. Darah dan keringat bercampur di permukaan tubuhnya yang ramping.

Tidak ada seorang pun di ruangan itu selain Ros. Ruang interogasi itu didesain menyerupai alam kubur yang sempit dan pengap dan lembap dan gelap untuk menimbulkan imaji maut yang sedang diakrabi oleh tawanan, yang sewaktu-waktu bisa datang kepada mereka.

Selain itu, keadaan udara yang tipis menjadikannya sulit bernapas. Keadaan Ros persis di batas antara hidup dan mati, saat nyawa meregang keluar dari tubuh. Namun kali ini, nyawa tidak tercerabut dari tubuh dengan sekali hentak, melainkan pelan-pelan yang bisa berlangsung selamanya. Lelaki itu mengira, mungkin dibunuh dengan lekas lebih baik daripada mati pelan-pelan. Namun, lelaki itu masih belum mau mati.

Cahaya satu-satunya yang datang dari lampu yang terayun-ayun di atas kepalanya terus mengingatkannya akan tujuan hidup yang menjadi alasannya bergabung dengan Jak dan Ruh. Selain itu, Ros meyakini, meskipun sangat tipis, entah upayanya sendiri atau harapan kepada rekan rekannya, dia pasti bisa selamat. Persahabatan yang dalam kepada keduanya terus mendorong Ros untuk tidak begitu saja mudah mati di ruang interogasi.

Pintu ruang interogasi yang berada di belakangnya terbuka. Fei Wong berdiri di ambin pintu menyelesaikan hisapan rokoknya yang sudah sampai di pangkal filter, mencampakkannya ke lantai dan menindasnya dengan tumit sepatu butnya. Fei Wong berjalan ke dalam sambil menghembuskan asap dan menutup pintu ruang interogasi itu, menguncinya dan memasukkan anak kuncinya ke dalam kantung saku celana jins minimalisnya.

Wanita itu berjalan perlahan hingga berada di seberang meja di mana dia bisa menatap wajah Ros yang menolak untuk terkulai. Sebelah mata lelaki itu telah sembap sehingga Ros hanya mampu memandangi wanita itu dengan sebelah mata. Ros melihat Fei Wong meletakkan pentungan yang berlumaran darah di atas meja. Darahnya sendiri.

Lihat selengkapnya