Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #11

Perihal Ros

Keuntungan menjadi seorang aktor adalah, selain kau dapat terus-terusan berada di tengah sorotan lampu, kau dapat memainkan peran menjadi siapapun yang ingin kau selami jiwanya. Sorotan lampu sekadar efek dari kepiawaianmu memainkan peran apapun sesuai arahan skenario dari sang sutradara.

Bagi Ros, sorotan lampu sebenarnya menjadi sangat mengganggu. Semua orang akan memandang ke arahmu dan semua orang akan menerka-nerka jalan pikiranmu dan tindakan apa yang dapat memenuhi decak kagum mereka. Seandainya pilihanmu tidak sesuai harapan mereka, kekecewaan mereka bahwa kau bukanlah seseorang yang mereka harapkan terasa menyakitkan dan mereka meninggalkanmu tanpa peduli capaianmu sebelumnya.

Begitulah Ros hidup dengan menghidupkan tokoh-tokoh dari naskah skenario yang datang kepadanya, berusaha untuk tidak tertebak di dalam sorotan lampu. Ros dapat berperan menjadi seorang diktator pengidap megalomania, seorang seniman pengidap skizofrenia, hingga seorang pecinta yang mengidap melankolia, dan orang-orang mengagumi peran yang dimainkannya sebab penjiwaannya yang menyeluruh.

Orang-orang bilang, Ros dapat memainkan peran apapun yang disodorkan sutradara kepadanya, tapi tidak peran menjadi dirinya sendiri. Anggapan mereka, menurut Ros, hampir benar seluruhnya, meskipun hati kecilnya menyangkal sebagian kecil darinya. Untuk itulah, Ros terus memainkan peran dari skenario satu ke skenario lainnya. Mungkin dia takut untuk memahami dirinya sendiri atau mungkin tidak demikian. Mungkin, dengan memainkan banyak peran dari banyak tokoh, setidaknya sekeping demi sekeping dia dapat mengumpulkan gambaran utuh tentang dirinya sendiri.

Setidaknya itulah motivasi asalinya terjun ke dunia perfilman. Dengan menjajal beragam sepatu dari banyak tokoh, berharap ada sepasang sepatu yang tidak hanya nyaman dia pakai tapi juga menyukai bentuknya.

Di kalangan sineas yang lolos dari banjir besar kedua dan tetap berkarya—mereka beranggapan hanya kiamat yang dapat menghentikan hasrat kreatifitas mereka—Ros merupakan aktor yang diberkati. Beri dia satu peran maka dalam hitungan minggu dia sudah dapat menjiwai peran itu dengan totalitas dan orang-orang akan lupa peran sebelumnya yang pernah dimainkannya.

Di satu sisi itu adalah pujian, tapi di sisi lain adalah bentuk ejekan bahwa aktor itu tidak memahami dirinya sendiri. Seorang kritikus pernah bertanya kepadanya, dari seluruh peran yang pernah dimainkannya, mana yang paling mendekati dirinya. Ros terdiam. Pertanyaan yang sulit dan membutuhkan perenungan semalaman untuk menemukan jawabannya.

“Semuanya,” kata Ros. “Aku yang sekarang adalah akumulasi dari semua tokoh yang pernah aku mainkan.”

Ros berbohong. Dia tahu itu. Tidak ada satu pun yang merupakan dirinya atau sekadar bagian kecil dirinya. Dia terbiasa hidup dari kepura-puraan satu ke pura-puraan lainnya sehingga untuk melihat dirinya yang sejati hampir sama sekali mustahil. Mungkin itulah yang diperlukan seorang aktor murni, pikir Ros. Untuk menjadi banyak peran, kau harus sama sekali mengabaikan peran sesungguhnya dirimu di dunia.

Ide tentang dunia adalah panggung besar tempat kau mesti punya peran di dalamnya membikin ngeri dirinya sendiri. Untuk menghindari pemikiran semacam itu, yang sewaktu-waktu datang menghampiri malam sendirinya Ros harus memegang naskah skenario sutradara untuk didalami. Bagi Ros yang tidak tahu peran yang dimilikinya sendiri dalam hidup berlindung di balik peran para tokoh yang dimainkannya menjadi sejenis pelarian. Kontemplasi menakutkan, kawan, batinnya, kau tidak akan sanggup menjalaninya kecuali kau adalah seorang petapa yang berkarib dengan kesunyian. Orang-orang akan menganggapnya memiliki bakat jenius dalam berakting, sementara bagi Ros sendiri hal itu sesederhana pelarian diri.

Berbulan-bulan sudah Ros tidak menerima atau menghadiri casting dari proyek film yang ditawarkan kepadanya. Terakhir, dia memerankan seorang pecinta yang mengidap melankolia akut.

Ros suka dengan premis seorang protagonis yang cinta mati dengan wanitanya dan pada saat wanita itu menghilang, bayangan wanita itu terus menghantuinya, dan membuatnya tenggelam dalam kemurungan tak berkesudahan. Bayangan wanita itu meyeret protagonis untuk meyakini bahwa hidupnya tidak bermakna lagi setelah kehilangannya. Protagonis itu terus bertemu dengan wanita-wanita lain. Tapi ada yang ganjil dari wanita-wanita itu bahwa mereka pun memiliki bayang-bayang wanita pertamanya. Entah itu sebagian atau keseluruhan. Apakah dia hanya berhalusinasi atau memang alam bawah sadarnya membuatnya hanya tertarik pada jenis wanita yang demikian, yang lebih besar dari hidup itu sendiri, yang cahayanya lebih menyilaukan dari matahari dan keteduhannya melebihi bulan purnama.

Kenyataannya, dia tidak pernah mengalami asmara demikian. Hubungan cinta yang terakhir dia jalani hanyalah rekayasa untuk memuaskan publik yang haus akan drama kehidupan pribadinya. Bersama dengan aktris yang beradu peran dengannya di film itu, mereka bersepakat untuk menjalani percintaan yang pura-pura. Dia tidak punya niat untuk mendongkrak popularitas film tersebut. Memang aktris yang dipacarinya adalah pendatang baru, sehingga bagi aktris tersebut berpacaran dengan Ros dapat melambungkan karirnya yang baru seumur jagung.

Mereka bersepakat untuk memainkan kondisi cinta lokasi. Ros tidak pernah merasakan cinta sebenarnya kepada setiap wanita yang pernah dekat dengannya. Menjadi aktor yang bisa memainkan berbagai peran menjadikan Ros mengalami kerumitan untuk memahami apakah ada sesuatu yang disebut cinta?

Lihat selengkapnya