Mengajak bepergian seorang wanita hamil tua pada tengah malam adalah ide buruk. Apalagi yang menemaninya hanyalah seorang lelaki yang gemar berkelahi dan seorang bocah empatik tapi tidak paham soal perempuan.
Bagaimana jika wanita itu tiba-tiba melahirkan di bawah langit malam, sama sekali tak terpikirkan oleh mereka. Mereka berjalan tergesa menyusuri atap-atap rumah sembari sesekali mengalihkan pandangan ke belakang punggung, khawatir kerumunan yang menggila oleh musik elektronik itu masih mengejar.
Ayu terangah-engah dan berhenti untuk menelekan tangan kiri di lutut sementara tangan kanannya memegangi perut hamilnya. Ruh berhenti untuk menoleh kepada wanita itu, sementara Jak masih terus berjalan untuk pada akhirnya menyadari dan berhenti.
“Geng,” kata Ayu mengatur napasnya. “Kita harus pergi sekarang juga?”
“Bisa lihat sendiri kan gerombolan sarap itu mau membunuh kita,” kata Jak.
“Tidakkah kau sadar benda apa yang kubawa di dalam perut ini? Ada baiknya kita nginap di suatu tempat dan melanjutkan perjalanan di pagi hari.”
Ruh menengok kepada Jak untuk meminta pendapat.
“Baiklah,” kata Jak. “Sebentar lagi kita akan sampai Tanah Tinggi dan di sana ada seorang kawan yang, mungkin saja rela berbagi tempatnya dengan kita.”
“Berapa lama lagi?” kata Ayu. “Kayaknya aku udah enggak mampu jalan.” Wanita itu mendaratkan bokongnya di atas genteng-genteng.
“Sekitar tiga kilo lagi.” Jak mendekati Ayu dan berjongkok, menawarkan pundaknya. “Kau menawarkan punggungmu? Kau pikir aku tega membiarkan bayiku peyang?” Jak garuk-garuk kepala. “Kau mau kami pandu?”
“Mengangkutku berdua di ketiak dan kaki, begitu maksudmu? Lantas kalian lempar aku ke dalam banjar?”
Jak berdecak lalu memutuskan untuk membopong Ayu dengan kedua tangannya. Meskipun kedua lengannya terbiasa digunakan untuk berkelahi dan mampu merobohkan bobot dua kali dari tubuhnya, menggendong wanita yang berbadan dua sejauh tiga kilometer adalah hal lain. Jak merasa sedang menggendong kulkas satu pintu.
Dalam keadaan itu, Jak dan Ayu berbagi tatap dan mereka terlihat canggung. Meskipun selalu terlihat garang, dengan mata setajam silet yang sanggup menyayat jantung, bisa dibilang, Jak memiliki wajah tampan jika diperhatikan saksama. Jenis wajah yang pernah lugu dan manis dan banyaknya pertarungan yang mengundang maut membentuk garis-garis rahangnya menjadi tegas, dan matanya tidak pernah lagi lengah sebab tahu maut tidak pernah permisi ketika coba menyapa.
Naluri kewanitaan Ayu tahu itu dan menikmati menatap wajah lelaki yang menggendongnya, dan sesekali mereka saling tatap sebelum Jak dengan kikuk mengalihkan pandangan ke depan. Ayu merasa terlindungi dan hangat sekaligus, mendapat dekapan tubuh yang kokoh.
“Seandainya bayiku telah lahir,” kata Ayu kepada lelaki itu, dengan tatapan kenes dan nada nakal yang malu-malu. “Bagaimana kalau kau menjadi bapaknya?”
“Apa?” kata Jak. “Menjadi bapak seorang dajjal maksudmu?”
“Iya. Menjadi bapak seorang dajjal dan kau akan membesarkannya menjadi dajjal yang baik. Tidak ada salahnya kan anakmu dajjal tapi dia baik hati dan dermawan dan suka menolong yang lemah.”
“Tidak ada dajjal yang baik hati, Nona. Dajjal ditakdirkan untuk menyesatkan orang-orang dan membuat kerusakan di bumi. Untuk itu kau datang kepada kami dan berharap takdir anakmu bisa berubah, bukan?” Jak baru tersadar. “Dengar. Aku tidak punya rencana menjadi bapak siapapun untuk masa depanmu. Lagi pula aku tidak tertarik untuk membina keluarga. Merepotkan bertengkar dengan wanita setiap hari untuk hal-hal sepele.”
“Ada masalah apa dengan kalian berdua? Bocah ini bahkan tidak berani menatap mata wanita, sedangkan kau, satu-satunya yang membuatmu bergairah mungkin menghantam orang… Dan, ngomong-ngomong bagaimana dengan kawanmu yang seorang itu?”
Di balik kacamata hitamnya Ruh menatap Jak. Ayu tahu bocah itu tidak berani menatapnya. Ruh kemudian berhenti. Jak juga menghentikan langkahnya sementara Ayu masih dalam gendongannya.
“Kau berpikir untuk kembali dan menyelamatkan Ros?” kata Jak. “Ayolah. Nanti pagi akan kita pikirkan lagi nasibnya. Lagi pula, ada baiknya sekali-sekali kita tidak mendengarkan ocehan Ros yang tidak pernah berhenti itu.”
“Aku juga tidak merasakan Einstein,” kata Ruh.
“Siapa Einstein?” kata Ayu. “Oh, hewan piaraanmu itu. Kau bisa mengetahuinya dari sini?”
“Dia bahkan bisa tahu sedang melamun apa bayi di dalam perutmu ini,” kata Jak. “Sungguhan?”
“Tidak juga,” kata Jak. “Ruh butuh koneksi kuat untuk dapat merasakan seseorang atau sesuatu dari jarak kejauhan. Semacam telepati kalau memang istilah itu yang paling tepat.”
“Aku pikir hal-hal semacam itu hanya ada di komik-komik.”
“Bagi Ruh itu kenyataan sederhana.”
“Jadi… Sudah kau putuskan untuk menjadi bapak bayiku ini? Otomatis kau akan jadi suamiku dan kita bisa membangun keluarga yang menyenangkan.”
Jak menatap sepasang mata Ayu yang memandangnya menantang. Ayu tidak tahan dan mengalihkan wajahnya sambil melengos dan meletakkan punggung tangannya di kening. “Matamu membuatku lumer. Meskipun tidak sedahsyat tatapan Ruh.”
Jak menjatuhkan Ayu begitu saja. Lelaki itu jengkel dengan kekenesan klien mereka. Ayu mengaduh sambil mengusap-usap bokongnya.
“Dengar, Wanita! Urusan kita hanya bisnis dan kalau memang kau sulit menahan hasrat genitmu, sebaiknya kau simpan untuk orang lain.”
“Aku merasa terhina. Kau harus tahu itu.” Ayu masih mengaduh. “Laki-laki mana yang tega melempar wanita hamil dari pelukannya? Belajarlah dengan Ruh untuk sedikit sensitif terhadap perasaan wanita.”
Jak memandang Ruh yang terlihat sedang bengong memerhatikan pertengkaran seperti sepasang kekasih itu.
“Gendong aku lagi,” kata Ayu mengulurkan kedua tangannya. Jak menghela napasnya dan menuruti keinginan wanita itu.