Yang paling digemari Fei Wong dalam acara interogasinya adalah mengiris telinga tawanan yang menurutnya punya bentuk indah. Fei Wong akan membanding-bandingkan bentuk cuping telinga dengan jenis bunga tertentu, dan seandainya dalam menaksir wanita itu mendapatkan asosiasi bunganya, dia pun memutuskan untuk mengeratnya, kemudian menyimpannya dalam album koleksi telinga tawanan yang disimpan di kamar tidurnya.
Selain keindahan bentuk, Fei Wong juga menikmati sensasi saat peralatan bedahnya memisahkan sekeping cuping telinga dari kepala, bagai memetik sekuntum bunga. Perasaan berkarib dengan maut saat seluruh manusia ngeri kepadanya adalah, bagi Fei Wong, sesuatu yang tidak tergantikan, terutama pada saat sang tawanan menjerit histeris, merasakan ngilu yang begitu tajam hingga terasa ke hulu hati.
Mata Ros terpejam. Kepalanya sedikit condong ke kanan saat Fei Wong memegang daun telinga tawanan itu, meletakkan pisau bedah yang tipis dan tajam di belakang daun telinga. Wanita itu mulai menaruh bobot tenaga pada gagang pisaunya, menariknya perlahan mempermudah mata pisau masuk ke dalam dan melanjutkannya tanpa ragu seperti mengiris kue perayaan ulang tahun. Pelupuk mata Ros bergetar begitu wanita itu melakukannya, juga bibir bagian bawahnya. Mereka terlihat seperti sedang berada di sebuah salon rambut.
Darah mengalir dari pangkal telinga yang terpotong. Fei Wong memegang daun telinga itu dengan jempol dan jari telunjuknya. Terlihat indah seperti bunga terompet. Dia belum punya bentuk yang seperti itu dari koleksinya. Namun setelah menyadari kondisi tawanan setelah bagian dari dirinya terlepas, wanita itu jadi kesal. Sang tawanan tidak menjerit sama sekali. Tidak pun ada isyarat lenguhan penderitaan. Fakta itu, yang bagai menemukan albino pada mayoritas ras, mengguncang dalam diri Fei Wong.
“Kenapa?” kata Fei Wong kepada korbannya. “Kenapa?”
Ros tersenyum dan membuka matanya perlahan. Bola matanya mengikuti langkah gemulai Fei Wong yang berjalan, lalu berdiri di seberang meja interogasi.
“Kenapa kau tidak menjerit? Kenapa kau tidak berteriak sedikit pun?” Fei Wong menunjukkan daun telinga yang dipegangnya dengan ujung jari. “Ini bagian dirimu. Sudah seharusnya kau menjerit merasakan sakit sebagaimana semua orang.”
“Itu yang kau inginkan?” kata Ros. “Menikmati penderitaan korbanmu?” Ros meludah ke lantai. “Sekali-kali kau tidak akan mendapatkannya dariku. Tidak dariku.”
Ketenangan yang selama ini Fei Wong miliki dalam menyiksa korban-korbannya pun menguap. Wanita itu belum pernah menemukan tawanan yang ketenangannya melebihi miliknya. Dia gusar merasa dipecundangi dalam permainan kejiwaan yang singkat itu. Dia obrak-abrik peralatan yang ada di dalam koper itu untuk mencari alat penyiksaan yang lain, namun tidak satu pun dapat memuaskan imajinasinya bahwa korbannya akan menjerit begitu prosesi mutilasi berikutnya dia lakukan.
“Seandainya kemaluanku kau gergaji sekali pun, aku tidak akan berteriak.”
Fei Wong meledakkan kekesalannya dan mengibas koper itu hingga terjatuh ke lantai. Seluruh peralatan bedah dan pahat dan ukir itu berhamburan dan berserakan di lantai, menimbulkan bunyi gemerincing. Kemudian, dengan langkah kucing, wanita itu berjongkok di atas bangku dan memegangi kepala dengan kedua tangannya, menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil melantur. “Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak. Tidak. Tidak…”
“Kalau kau memang ingin informasi dariku, aku bisa memberimu cuma-cuma. Hal-hal semacam ini tidak kau butuhkan sebenarnya.”
Fei Wong menghentikan geraknya dan memandangi Ros dengan tatapan kosong.
“Kita bisa berbincang-bincang santai di kedai kopi sebagaimana pasangan yang sedang berkencan.”
Fei Wong mengambil kotak rokok di saku celananya dengan geragap, dan memantik korek gasnya dengan kesal. Korek gas itu baru bisa memantik api pada geretan ke-enam dan wanita itu menghisap rokoknya kempot dan menghembuskannya tergesa. Asap rokok terhembus dan menguar dalam terpaan pendar fluorosen.
“Kau pernah ditusuk jarum suntik?” tanya Ros. Fei Wong menggeleng.
“Kau takut jarum suntik?”
Fei Wong mengangguk.
Kemudian dia hisap rokoknya sekali lagi dengan cemas.
“Aku akan memberitahumu. Di dunia ini, tidak semua orang takut akan maut. Memang sebagian besar orang ngeri. Bayangan akan sesuatu yang tidak terbayangkan di balik sanamembuat orang-orang berpikir hidup jadi lebih berharga. Mungkin orang-orang yang selama ini kau temui adalah jenis yang demikian. Namun, saat ini kau sedang beruntung. Ini hari yang paling berarti dalam hidupmu, kau bertemu orang dari jenis yang lain. Orang sepertiku jenis yang merindukan kematian. Kangen untuk mencicipi rasa maut, dan bergairah dalam penantian akan petualangan atau penyingkapan atau pertemuan yang ada di balik sana.”