Mereka terkurung di bekas kantor pabrik onderdil kendaraan bermotor. Hujan tidak lagi badai, bulir-bulirnya terlihat sangat halus sehingga hujan turun perlahan, mengambang menikmati waktunya yang sendu dan muram. Mereka bukan berarti tidak bisa berangkat sekarang. Hanya saja, usai kehilangan Einstein, Ruh langsung jatuh ke dalam kondisi demam igau.
Jak dan Sartono, kawan lamanya, memandangi langit yang terhalangi hamparan kelam awan. Tidak ada celah bagi matahari untuk menyusupkan sinarnya, sedikit pun. Jak menadahkan telapak tangannya, merasakan buliran halus air hujan turun perlahan di telapak tangannya, meresap diam-diam di pori-porinya yang kebas oleh pertarungan.
“Itu hanya seekor kucing,” kata Sartono.
“Memang hanya seekor kucing,” kata Jak. “Ruh bahkan bisa menangis karena melihat seekor semut yang mati sia-sia.”
“Aku belum pernah bertemu bocah seperti dia.”
“Itulah kenapa dia selalu mengurung dirinya di gerbong dan membentengi kesadarannya dari dunia luar yang keras, dan sering kejam. Fisiknya terlalu lemah sedangkan inderanya terlalu peka. Bayangkan kau punya sesuatu seperti bocah ini. Tak tertahankan.”
“Aku tidak bisa membayangkannya. Bahkan aku tidak bisa menangis melihat ibuku meninggal di depan kepalaku.”
Ayu berjalan menuju balkon. Setelah Ruh tak sadarkan diri, wanita itu bari sekali itu meninggalkan sisi bocah itu. Dia menjadi sangat khawatir tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Jak telah berkata, “Ruh hanya perlu istirahat. Perlahan demamnya pasti hilang.” Ayu bolak-balik menyentuh kening bocah itu, memastikan demamnya turun dengan lekas. Pertama kali menyentuhnya, kening Ruh terasa panas sekali di punggung tangan Ayu, seperti travo yang terlalu dipakai sebelum korsleting. Namun, sebelum keluar menuju Jak dan kawannya yang menunggu di balkon kantor, demam Ruh sudah mereda, sehangat ketiak pecinta yang merindukan kekasihnya. Perasaan iba Ayu kepada bocah itu berubah menjadi semacam kasih-sayang ibu kepada anaknya. Sebelum melahirkan anaknya sendiri, Ayu sudah merasakan betapa berartinya seorang anak bagi ibunya. Tak tergantikan oleh apapun. Oksitosin memenuhi kepalanya, mengalir ke sentuhan punggung tangan Ayu, membantu percepatan pemulihan Ruh.
“Bagaimana kondisi Ruh?” tanya Jak.
“Lumayan,” kata Ayu. “Bagaimana kalian menjalankan pekerjaan yang unik ini sambil membawa-bawa bocah lemah sepertinya?”
“Itulah alasan ada aku dan Ros. Kami memang berbagi uang dari upah yang kami dapat setelah menyelesaikan pekerjaan. Tapi kami berdua lebih dari sekadar pengasuh bayi. Kami abang, penjaga, sekaligus mungkin—aku tidak begitu memahami kinerjanya—sejenis penetral diri Ruh yang tidak memiliki penyaring persepsi dan sensasi. Tubuh bocah itu katarsis murni. Di umurnya yang terlampau muda dan tidak punya benteng mental untuk melindungi egonya yang masih rapuh, keberadaan aku dan Ros menjadi semacam peredam.”
“Aku tidak memahaminya,” kata Ayu.
“Aku juga,” kata Sartono.
“Baguslah. Aku pun tidak begitu paham,” kata Jak. “Lantas kenapa kau beritahu kami?”
“Iya, kenapa?” kata Sartono.
“Keadaan sesungguhnya bisa lebih kompleks dari itu. Aku hanya menyampaikan garis besarnya saja, cuma sedikit puncak dari gunung es. Sederhananya, Ruh, adalah bocah yang memahami pergerakan materi pada tingkatan atom, melalui perasaannya, sedangkan akalnya belum sampai ke situ. Aku dan Ros, bagi Ruh semacam proton dan neutron yang mengelilingi nukleus pada inti atom. Bagi bocah itu, perasaannya tersambung tanpa sekat kepada materi-materi terhalus semesta, sebagaimana jejaring laba-laba. Bayangkan, seandainya sehelai jaring dipetik sebagaimana memetik senar gitar, baik getar maupun dengung yang dihasilkannya akan terasa sampai kepada diri Ruh.”
Begitu menyelesaikan kuliahnya, Jak tidak melihat Ayu di balkon. Dia sudah kembali ke dalam untuk menemani Ruh. Sartono tertidur mendengkur selagi berdiri.
Jak menghela napas. “Hal-hal sejelimet ini memang enggak untuk disampaikan. Lain kali aku simpan saja.” Pemuda itu kemudian masuk ke dalam, menengok kondisi Ruh.
Ayu duduk melipat kakinya, menempelkan telapak tangannya di kening Ruh.