Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #15

Perihal Jak

Ini hari ketujuh bocah itu mengikuti Begawan ke manapun lelaki tua itu pergi. Lima hari sebelumnya Begawan tidak menghiraukannya, berpikir, mungkin bocah itu akan kelelahan dan berhenti sendiri untuk mengikutinya. Toh, pikir Begawan, tidak pernah ada seorang manusia pun yang tahan mengikutinya sebab seorang pengembara sejati yang tidak memiliki rumah ataupun keluarga ataupun sahabat ataupun kekasih sudah ditakdirkan untuk menjadi serigala penyendiri.

Orang-orang akan mengiranya sinting, setidaknya untuk pertama kali melihatnya. Namun, di setiap tempat yang disinggahinya orang tidak bisa tidak untuk berterima kasih kepadanya, dan menginginkannya untuk menghentikan perjalanannya, membujuknya menjadi keluarga, seorang paman, kakak, kakek, sepupu, sepuh, orang yang dituakan.

Namun, Begawan belum menemukan apa yang dicarinya. Seseorang atau sesuatu atau tempat atau sistem atau organisasi atau entah, Begawan belum bisa memastikannya. Tapi sesuatu ini pasti ada di suatu sudut bumi. Sesuatu yang menurutnya, menjadi yang sempurna, yang hakiki. Kebahagiaan yang menurutnya, paling sejati. Untuk itulah Begawan tidak mau menghentikan langkahnya sampai sesuatu itu ditemukan. Tanda perhentiannya hanyalah napas yang sudah habis dihembuskan. Dan, sepanjang perjalanannya dari utara ke barat, ke selatan kemudian ke tengah, Begawan akhirnya sampai di timur.

Sudah delapan penjuru mata angin dia jelajahi dan sepanjang perjalanan itu, Begawan sudah meresapi apa yang dia sebut sebagai hikmah. Hikmah itu tidak hanya sesuatu yang bercokol di kepala, tapi juga menjadi laku yang dijalankannya sebagai wujud suatu pemahaman.

Meskipun hikmah yang dimilikinya dari delapan penjuru bisa sedalam samudra, tidak tergantikan oleh kekayaan sepenuh bumi dan langit, Begawan merasa masih ada satu celah kosong dalam dirinya. Sebuah kepingan yang belum dia temukan di manapun.

Begawan berdiri memandangi langit. Semenjak subuh, sepasang matanya belum sekalipun berkedip dan beranjak dari matahari yang terbit di timur dan perlahan-lahan memanjat langit di atas pucuk kepalanya. Pada saat subuh, matahari mengintip dari horizon dengan sangat indahnya, kuning keemasan berkilau-kilau di diameternya tiada henti, berputar bagai roda cahaya sebagaimana waktu yang tidak pernah berhenti.

Pria tua itu, mengebat rambutnya tepat di ubun-ubun. Rambutnya yang perak setebal kawat halus terlihat seperti sapu yang ditegakkan. Wajahnya dipenuhi dengan janggut lebat seperak rambutnya. Begitu juga sepasang alisnya yang tajam dan bertaut. Di bawah alisnya adalah sepasang mata yang, di luar penampilannya yang lusuh, adalah benda yang paling terlihat berharga. Kulit wajahnya sudah mengguratkan bilangan tahun yang panjang, di kening, sudut mata, cekung pipi, tapi hanya di sepasang mata itulah, yang berkilau-kilau, adalah jiwa kanak-kanak yang tidak pernah berhenti mencari.

Keping matahari itu, di mata Begawan, sudah tampak seperti logam perak yang kehitam-hitaman, seakan lingkaran itu adalah lubang yang menganga di langit. Dan, langit yang terhampar di sekelilingnya sudah membiaskan seluruh warna yang dapat dijumpai pada pelangi. Aurora yang bisa dipandangi tanpa perlu pergi ke belahan bumi bagian utara atau selatan, yang bias warnanya berasal dari matanya sendiri.

“Apa yang kau lihat di atas sana?” kata bocah itu kepada Begawan. “Tidak ada apapun di atas sana selain matahari dan awan dan langit.”

Begawan tidak menjawabnya.

Bocah itu, yang sedari tadi bersembunyi di balik pohon, akhirnya berdiri di sebelah Begawan. Dia melakukan apa yang dilakukan oleh orang tua itu. Tidak sampai lama retina matanya tersengat panas dan bocah itu berpikir akan buta belaka. Memang, setelah memandangi

“Panggil aku, Begawan.”

“Aku akan tetap memanggilmu Pak Tua.” “Terserah kau. Apakah kau lapar?”

“Sangat. Aku belum makan sekali pun semenjak mengikutimu. Aku tidak pernah melihatmu makan.”

“Aku makan. Siapa bilang aku tidak makan?” “Aku tidak melihatnya.”

“Kau hanya lengah, Jak,” kata Begawan. “Dengarkan. Kau punya ketabahan yang belum pernah aku temukan di manapun.”

“Aku hanya tidak tahu lagi harus ngapain.” “Itu disebut ketabahan.”

“Bagaimana bisa tidak-tahu-lagi-harus-ngapain disebut ketabahan?” “Lihat aku,” kata Begawan. “Apa yang kau lihat?”

Jak menggeleng. “Kakek gembel, gelandangan, orang gila. Entahlah.”

Begawan tertawa, tawa renyah seorang tua. “Kau benar. Lantas tujuh hari kau terus mengikuti kakek gelandangan ini. Merasa enggak enak dan enggak ada tujuan, enggak nyaman?”

Jak mengangguk. “Banget. Aku sama sekali enggak paham apa yang kau lakukan. Aku sempat berpikir untuk tidak lagi mengikutimu. Enggak ada gunanya. Sia-sia. Tapi aku terus saja mengikutimu. Enggak tahu.”

“Harapan,” kata Begawan. “Kau tidak memahaminya, tapi kau merasakannya dengan hati kecilmu itu. dengan berpegang kepada harapan, tapi kau merasa sulit mengikutiku tapi tetap mengikutiku. Itulah keteguhan.”

Jak mengangguk, bukan berarti paham. Lalu mereka diam untuk waktu yang cukup lama. Begawan melangkahkan kakinya memberi isyarat kepada Jak untuk mengikutinya. 

“Lantas apa sekarang?” kata Jak.

“Aku akan memberimu sesuatu itu,” kata Begawan. 

“Apa?”

“Makanan. Kau belum makan, kan?” “Beluuum.”

“Untuk sementara, kita akan tinggal di sini,” kata Begawan kepada Jak.

“Sampai kapan?” tanya Jak.

“Sampai kita merasa harus meninggalkannya.” 

“Kapan?”

“Kau akan memahaminya jika saatnya tiba.”

“Bagaimana?”

“Kau akan tahu sendiri.”

Mereka berada di suatu gubuk di tepi lembah, kaki bukit sebuah gunung. Sebelum mendaki gunung mereka melewati suatu perkampungan, atau yang dulu pernah menjadi perkampungan. Mereka hanya menemukan reruntuhan rumah-rumah atau tidak bisa lagi disebut rumah-rumah. Setidaknya mereka dapat melihat ada jejak kehidupan manusia yang ramai di sana. Mungkin gunung ini pernah meletus dan abu vulkanik atau leleran lava menyapu bersih semuanya. 

Perkampungan yang pernah ramai itu sudah ditumbuhi semak-semak belukar dan tunas-tunas pohon yang bakal menjadi hutan. Jak melihat Begawan tersenyum sepanjang melewati bakal hutan itu.

“Percuma aku menjelaskannya kepadamu,” kata Begawan seperti membaca pikiran Jak.

Di gubuk itu, mereka menemukan sebuah kerangka tengkorak manusia. Mungkin kerangka itu dulunya adalah petani gunung yang pernah tinggal di sini. Begawan mengajak Jak untuk menggali sebuah lubang, mengembalikannya ke tempat seharusnya. Mereka mengubur kerangka itu tepat di kaki bukit yang agak mendatar tidak jauh dari gubuk itu. Kemudian, Begawan menemukan bidang bertingkat-tingkat seperti sawah atau kebun yang sudah tak terawat lagi. Ada tanaman hortikultura liar seperti padi dan jagung dan terong-terongan dan tomat. Begawan berniat untuk menghidupkan kembali ladang itu menggunakan bibit liar yang tersedia di alam.

Berminggu-minggu Begawan dan Jak kembali menghidupkan lahan yang dipenuhi semak-semak. Mereka membuka lahan dengan cara mencabut semak-semak dan tanaman liar hingga ke akarnya. Itu diperlukan agar tanah yang akan digarap tidak terganggu oleh semak dan tumbuhan liar yang masih dapat hidup dari sisa patahan akar. Mereka menemukan peralatan pertanian tersampir di belakang gubuk, sudah berkarat. Tapi masih bisa digunakan setelah diasah. Untuk mengasahnya, Begawan menemukan sebuah sungai kecil di lereng lembah yang berpangkal pada sebuah air terjun. Di bawah air terjun itu adalah kolam yang airnya cukup dalam, yang dibatasi oleh bebatuan alam. Di belakang air terjun adalah sebuah gua yang cukup sempit, yang hanya bisa dimasuki dengan merangkak.

Di dalam celah gua itu sebuah ruangan sebesar aula terbentang dengan kolam jernih sedalam dua setengah ukuran tubuh manusia dewasa berada di pangkal, menjadi primadona. Stalaktit-stalakmit menghias langit-langit dan lantai aula gua itu. Tepat di atas kolam aula itu, di antara stalaktit adalah celah sempit tempat sinar matahari masuk dan menjadi penerangan alami gua di kala siang.

“Aku akan mengajarimu sikap diam,” kata Begawan kepada Jak suatu hari.

Semenjak mendengar kalimat itu dari Begawan, Jak merasa telah menjadi murid. Begawan tidak pernah secara resmi memberitahu Jak bahwa dia akan diajarkan sesuatu. Sebab lelaki tua itu tidak punya suatu sistem apa yang bisa disebut ajaran. Tidak pula sebelumnya dia pernah mengangkat murid, sebab dia tidak pernah membakukan apa yang akan disampaikannya adalah sebuah perguruan. Apa yang akan disampaikannya sekadar kepingan-kepingan yang menjadi sari dari hikmah-hikmah yang dimilikinya. Hikmah-hikmah yang tidak lagi menggantung di kepala, melainkan tersemat di hati. Kelak, Jak menamai apa yang dia dapat dari Begawan sebagai Delapan Penjuru. Sekadar mempermudah.

Mereka berada di dalam gua Dua Ceruk. 

“Dari tadi aku diam,” kata Jak. 

“Itu bukan diam,” kata Begawan.

Jak menatap wajah Begawan. Rambutnya yang diikat, perak mengilaukan sinar yang berasal dari celah langit-langit gua di belakangnya. Wajah gurunya itu, di mata Jak seperti memendarkan cahayanya sendiri dengan kehangatan yang dapat dirasakan kulitnya, sebagaimana bulan purnama pada malam kelam. Begawan memerintahkan Jak untuk melihat lanskap gua. “Apa yang kau lihat?”

“Gua.”

“Apa yang kau lihat?”

“Hmmm, kolam, dinding dan langit-langit gua, celah, sinar.” “Apa yang kau lihat?”

“Apa yang kau inginkan Pak Tua?” Jak meradang. “Apa yang kau lihat?”

“Kakek gembel gila!” “Masih lapar?”

Jak menggeleng. Aneh. Kenapa laparnya bisa hilang? Saat berjalan dari gubuk hingga memasuki gua itu, perutnya tidak berhenti berkeroncong, berpilin-pilin dan teremas-remas. Namun sensasi itu telah hilang dengan sendirinya.

“Sekarang apa yang kau lihat?”

Lihat selengkapnya