Orang-orang di pasar apung menyebutnya Teddi Amuk atau Teddi Beruang, tapi mereka lebih mengakrabinya dengan sebutan Teddi Beruang. Sebab di antara mereka, dialah pedagang yang memiliki tubuh sebesar beruang, dan kalau sudah mengamuk tidak akan ada orang yang berani mendekatinya dalam jarak pandangan mata.
Dua julukan itu menjadikan kehadiran Teddi Beruang di antara pedagang menjadi semacam pasak. Tidak ada lagi iuran keamanan dari preman-preman bau kencur yang petantang-petenteng mengayuhkan sampan mengelilingi pasar, kalau tidak ingin perahu-perahu mereka tenggelam, bersama tubuh-tubuh mereka.
Kendati demikian, ada saja gerombol preman yang tidak mengetahui ketenaran pedagang daging itu, dan dengan dungu memutuskan pasar apung di utara Bekasi itu sebagai wilayah kekuasaan mereka. Tandanya adalah, mereka berlima mengencingi bahar yang menjadi lokasi pasar sembari memperlihatkan kemaluan kepada para pedagang. Setelah itu mereka akan berkeliling perahu untuk menagih dua keping Kronos untuk masing-masing perahu. Di sana, jumlah perahu yang berdagang mencapai delapan puluh unit. Dengan mengumpulkan uang dari seluruh pedagang, mereka bisa berpesta selama tujuh malam. Para pedagang tidak ada yang berani menolak untuk menyerahkan uang. Bukan hanya tampang preman mereka yang bengis, tapi juga masing-masing membawa golok yang cukup membuat genangan air bernoda merah.
Empat orang preman itu menghentikan pemalakan mereka, setelah mendengar suara benda sebesar tubuh manusia tercebur, juga sekilas jeritan. Suasana pasar apung itu menjadi hening, dan mereka mencari sumber suara itu. Setelah mereka menghitung kehadiran, mereka memahami salah satu kawan mereka menghilang. Para berandal naik pitam dan ancaman kepada siapa yang berani melakukannya tidak main-main tergurat di wajah mereka. Masing-masing memegang sandera dengan golok teracung ke leher.
“Siapa yang berani main-main?” kata salah seorang preman yang terlihat paling bengal.
Seseorang berdiri di antara seluruh pedagang yang duduk di ceruk perahu-perahu, permukaan bahar bergelombang menggoyang perahu-perahu. Seseorang bertubuh besar mengambil alih seluruh perhatian. Kemunculannya yang tiba-tiba dan penuh keyakinan itu membikin keempat preman itu bergidik. Pria bertubuh sebesar beruang itu memandang keempat preman dengan tatapan yang bengis dan ketenangan yang dalam.
“Lu berani main-main?” kata preman itu, tidak main-main.
Tanpa pikir panjang preman yang paling bengal itu menggoreskan mata goloknya di jakun pedagang yang menjadi sanderanya. Darah memancar dari batang leher sandera itu seperti pancuran yang menyembur. Kemudian preman itu melempar pedagang itu ke dalam bahar. Ketiga kawannya meniru aksi itu dan suasana pun mencekam. Para pedagang yang sebagian besar wanita-wanita tua menjerit redam menahan kepanikan. Jarak antara keempat preman itu dengan Teddi Beruang terpisah sekitar sepuluh perahu. Untuk mendekati mereka, Teddi Beruang harus melalui perahu-perahu itu. Pria bertubuh besar itu menggenggam pisau daging yang masih berlumuran darah preman pertama yang terlempar ke dalam air.
Teddi berlari melompat-lompati perahu menuju preman yang jaraknya paling dekat dengannya. Ancaman keempat preman itu tidak sampai di situ. Mereka menyandera pedagang lain untuk kemudian mereka belek leher mereka tanpa proses berpikir seraya Teddi semakin dekat dengan preman yang diincarnya. Perahu-perahu yang dia lompati terayun-ayun hebat menimbulkan gelombang yang menggoyangkan perahu-perahu di sekitarnya. Itu menjadikan pijakan keempat preman itu goyah. Begitu sampai di preman terdekat, Teddi Beruang dengan entengnya menepis dan menjangkau lengan preman yang menggenggam golok kemudian menebas lehernya. Dia ambil golok di genggaman preman itu dan membuang tubuhnya ke bahar. Tiga orang preman yang tersisa, sebab mereka tidak biasa berpikir, melanjutkan ancaman pembantaian setelah menyaksikan kawan mereka kembali terbunuh. Teddi Beruang melempar golok milik preman itu kepada salah seorang preman yang tersisa. Golok itu menancap tepat di antara sepasang mata preman itu dan membuatnya rubuh ke dalam air seketika. Salah seorang dari dua preman, berjarak empat perahu dari Teddi Beruang, coba melarikan diri dengan menceburkan diri ke dalam bahar, berenang bersembunyi di balik buritan-buritan perahu. Teddi Beruang tidak mau menyisakan mereka dan memergoki seorang preman yang masih tertinggal. Syaraf penyelamatan diri preman yang ditinggal mati tiga kawanannya, terputus, membikinnya tidak bisa bergerak. Teddi Beruang mematahkan lehernya dengan pelintiran yang ringan.
“Awaslu ya!” kata preman yang kabur.
Seorang preman yang kabur itu membawa kembali tidak kurang dari lima puluh orang kawanan keesokan harinya. Mereka mencari pedagang bernama Teddi Beruang, yang telahmembunuh empat kawannya pada hari pertama pemalakan. Berandalan-berandalan bertampang tengik itu tidak menunggu Teddi Beruang untuk muncul. Sebentar saja semenjak kemunculan mereka yang heboh sudah terjadi pembantaian massal kepada pedang-pedagang yang tidak punya perlawanan. Mereka melompati perahu-perahu dan mulai menyisir area.
Perahu Teddi Beruang terletak paling belakang kali ini dan itu membuatnya harus berlari melompat-lompati perahu untuk mencegah pembantaian lebih lanjut. Begitu sampai di gerombolan yang paling dekat, Teddi Beruang membadai untuk menumpas gerombolan preman yang melebihi batas itu.