Dia lihat tubuhnya yang telanjang, di antara dada dan perut perban terbalut. Tidak ada seorang pun di kamar itu meskipun pintunya terbuka. Teddi Beruang berusaha untuk bangkit tapi rasanya sulit memiliki tubuhnya sendiri pada saat sekarang ini. Dia hanya nyaris menggerakkan kepala sedikit.
Seorang gadis kecil masuk dari pintu kamar. Rambutnya hitam berkilau dengan poni menutupi kedua alisnya. Kulit wajahnya putih pucat dengan bibir mungil menggantung indah di bawah hidung mungilnya yang pipih dan mancung. Di rambutnya, ada bando yang terpasang dengan bunga matahari menjadi ornamen. Gadis mungil itu mengenakan pakaian terusan pendek dan rok mengembang berlipit-lipit dengan renda-renda seperti sedang merayakan ulang tahun.
Dia berjalan mendekati ranjang, menenteng baki dengan segelas air putih dan handuk kecil yang terlipat rapih.
“Akhirnya Om sadar juga,” kata gadis mungil itu. “Udah sebulan lho Om pingsan.”
Kepala Teddi Beruang berdenyut. Tidak ada bahasa di kepalanya. Dia hendak menyampaikan sesuatu kepada gadis mungil itu tapi tidak ada sebentuk kalimat pun yang tersusun.
“Om istirahat aja dulu,” kata gadis mungil itu. “Saya Tulus Marsha. Om belum sampai di surga, kok.”
Teddi Beruang kembali kehilangan kesadarannya.
Butuh tujuh hari hingga Teddi Beruang benar-benar pulih dan dapat menggerakkan tubuhnya. Hal pertama yang dilakukannya setelah dia pikir bisa menyusun sebentuk kalimat di kepala adalah bertanya kepada gadis mungil itu, di mana mereka.
“Om enggak jauh kok dari rumah Om,” kata Tulus Marsha.
Lalu, Teddi Beruang kembali bertanya, siapa gadis mungil ini.
“Tulus Marsha, Om,” kata gadis kecil itu. “Kan udah saya kasih tahu kemarin-kemarin. Ih Om gimana sih.”
“Aku tahu namamu, Tulus Marsha,” kata pria besar itu. “Aku Teddi, Teddi Beruang. Maksudku, apa yang kamu lakukan?”
“Merawat Om sampai sembuh.” Tulus Marsha tersenyum.
“Kenapa kau menyelamatkanku? Seharusnya aku sudah bersama istri dan anakku…”
Tulus Marsha tidak menjawab pertanyaan Teddi Beruang yang itu. Dia mohon permisi setelah teringat sup bening yang sedang dimasaknya di dapur. Gadis mungil itu berlari-lari kecil, dan dua menit kemudian kembali dengan membawa semangkuk sup bening. Uap mengepul-ngepul dari permukaan sup bening itu.
“Om makan dulu yah supnya,” kata gadis mungil itu. Dia duduk di tepian ranjang, dan menciduk sup bening itu dengan sendok lalu menyuapi Teddi Beruang. Sendok sudah berada di depan mulut Teddi Beruang, tapi lelaki itu hanya membungkam dan memandang sepasang mata Tulus Marsha yang terlihat tulus merawatnya.