Adalah Abdullah Majenun, seorang mursyid, yang menjadi magnet besar di perkampungan komunal itu. Murid-murid, atau para salik, menyebutnya seorang arifin.
Abdullah Majenun awalnya hanya seorang penggembala kambing, yang usahanya berkembang pesat menjadi peternakan sukses untuk menyalurkan kurban-kurban pada perayaan Kurban. Namun setelah terjadinya krisis pangan pasca banjir besar kedua, Abdullah memutuskan mendermakan seluruh ternaknya yang berjumlah seribu satu ekor.
Pekerjanya yang berjumlah sepuluh orang awalnya memprotes, beranggapan adalah sinting untuk membagi tanpa pamrih semua hartanya kepada masyarakat luas. Kendati mendapat pertentangan, Abdullah dapat merasakan kecemasan kolektik dari krisis yang meruntuhkan sendi-sendi dasar kehidupan manusia itu.
Sepuluh orang pekerja itu pun berbaiat kepada Abdullah Majenun, menobatkan mantan penggembala ini sebagai mursyid. Perlahan namun pasti perkampungan yang terletak di Kelapa Nunggal itu pun dikenal sebagai perkampungan kaum sufi.
Jantung perkampungan itu adalah sebuah pondok, kompleks masjid yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan madrasah. Sebab perkampungan itu terletak di dataran yang lebih tinggi, bahar yang menenggelamkan Jakarta Lama dan sebagian kota-kota satelit di sekitarnya, hanya sampai pada ujung tanah terendah perkampungan.
Konon, Abdullah Majenun memyimpan benda pusaka yang disebut Cermin Bening, yang dengan benda itu tarekatnya dilingkupi nuansa karismatik yang menjadikan sang mursyid dapat mendedah ayat-ayat baik yang tertulis maupun tak tertulis, baik yang tersaripati maupun terhampar, baik yang kentara maupun sembunyi.
Benda sentimentil itulah yang saat ini sedang diincar oleh pelacak takdir. Dengan memiliki Cermin Bening itu, entah bagaimana caranya, Ruh dapat mengetahui keberadaan Tulus Marsha. Cermin bening menjadi gerbang pertama agar mereka dapat menyelesaikan pekerjaan kali ini.
Ketika Ruh melakukan ritual penafsiran dengan menyentuh perut Ayu, kelebatan imaji bagaikan sentakan sambaran petir itu hanyalah Cermin Bening, dengan sosok Tulus Marsha yang memantul di permukaannya. Seorang gadis kecil yang muncul dalam mimpi bayi bermata tiga yang dialami klien mereka.
“Kita memang mesti berpakaian seperti ini?” kata Ayu begitu mereka turun dari taksi air.
“Tentu saja,” kata Jak. “Untuk menyusup di kandang domba, kita harus menjadi domba.”
Mereka menutupi tubuh masing-masing dengan kain kasar. Tubuh Ayu terlingkup secara keseluruhan dan hanya wajah, telapak tangan dan mata kaki yang terlihat. Rambutnya yang bergelombang dia kebat ke belakang kemudian dia tutupi dengan kain lusuh berbahan katun. Jak juga menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian kurung yang sama dengan Ayu, menutupi tato yang ada di lehernya dengan selendang gombal yang dililitkan. Ruh, terlihat sebagaimana mereka, meskipun masih mengenakan kacamata hitam, dan pelantang telinga motif bintang.
Meskipun sepanjang perjalanan Ruh selalu terlihat murung, Jak dapat memastikan bahwa bocah itu sedang berusaha untuk merelakan kehilangan Ros. Bagaimanapun, misi mereka harus tetap diselesaikan. Jak tidak ingin pengorbanan rekan sekaligus sahabat kentalnya itu menjadi melankolisme sia-sia dari ketiadaannya.
Selagi mereka menyusuri perkampungan menuju pondok jantung aktifitas kaum sufi, Jak dapat menyimak air wajah Ruh yang menjadi lebih tenang. Sebaliknya, kegelisahan tampak dari wajah Ayu. Wanita itu merasakan, jabang bayi yang ada di perutnya tidak lagi bisa diam, menggeliat-geliat seperti orang yang berusaha untuk tidur tapi tidak juga kunjung tertidur.
“Damai,” kata Ruh kepada dirinya sendiri.
“Apa?” tanya Jak. Dia tidak mendengar apa yang diucapkan bocah itu. “Aku merasakan, ada kedamaian melingkupi daerah ini.”
Jak menghirup napas dalam-dalam. “Sepertinya kau benar. Memasukinya aku merasakan keheningan yang dirayakan.”
“Bagaimana kalian bisa merasakan hal-hal semacam itu?” kata Ayu. “Jabang bayiku terus gelisah begitu kita menginjakkan kaki di kampung ini.”
Ruh hanya mengangkat bahu. Jak menatap wajah wanita itu.
“Nona,” kata Jak kepada Ayu. “Aku sarankan, kau tekan hasrat genitmu untuk sementara.”
Begitu sampai di muka pondok, mereka menghadapi dua penjaga yang berdiri di depan pintu gerbang. Kedua penjaga itu berpakaian lusuh sama seperti mereka, dengan kepala yang dililiti serban, terlihat seperti jamur dengan akar menggantung. Sebab Jak dan Ruh dan Ayu tampak seperti satu keluarga peziarah, mereka mengizinkannya masuk dengan terlebih dahulu mengucapkan salam. Jak dan Ruh membalas salam mereka dengan kefasihan yang tidak mengundang curiga. Meskipun Ayu terbata-bata mengucapkannya. Kecanggungan Ayu mengucapkan salam mengundang sedikit curiga para penjaga.
“Tunggu dulu,” kata salah seorang penjaga, menghentikan langkah tamu mereka.
Mereka berhenti dan berbalik, bersikap sewajar mungkin untuk menyembunyikan maksud kedatangan sesungguhnya.
“Sebelum masuk, kalian harus lebih dulu mengambil air bersuci,” kata penjaga itu. “Wanita sebelah sana. Yang laki-laki arah sebaliknya.”
Jak mengucapkan terima kasih kemudian mohon diri dengan salam dan anggukan. Ruh mengikuti Jak sementara Ayu sedikit bingung. Dia memanggil Jak untuk bertanya apa yang mesti dia lakukan.
Jak menjawab dengan berbisik, “basahi wajah telapak tangan dan kakimu."
Lalu berkumpulah bersama wanita-wanita yang berkumpul.” “Bagaimana caranya,” kata Ayu.
“Tidak usah pusing, cukup kau basahi anggota badanmu yang terlihat.” Ayu mengangguk kemudian memisahkan diri. Sementara Jak dan Ruh melanjutkan langkah mereka menuju sebuah gentong besar untuk bersuci. Air dalam gentong itu seperti berasal dari air hujan yang ditampung. Mereka merasakan kesejukan di setiap permukaan tubuh yang mereka basuh.
Mereka memasuki pintu utama masjid dan mendapati hamparan manusia yang sedang bersila menunduk seperti sedang merapalkan sesuatu. Namun tidak terdengar jelas di telinga mereka selain bunyi-bunyian mendengung. Jak dan Ruh duduk bersila di celah yang tersedia di belakang dan menirukan apa yang mereka lakukan, tanpa memahami bentuk rapalan. Semua wajah tertunduk, menggoyang-goyangkan kepala mereka ke kiri dan ke kanan, dalam irama selaras yang hampir tak bercela, terlihat seperti hamparan rerumputan hijau yang dibelai angin lembut.
Jak dan Ruh mengikuti irama goyangan kepala sambil sepasang mata mereka menyelidik ke sekeliling. Jak mencondongkan wajahnya untuk melihat keadaan di depan. Dia melihat seorang kakek berhadapan dengan semua orang. Kakek itu agak sulit ditemukan sebab terlihat bersembunyi di antara celah orang-orang yang merunduk. Jak menaksir, mungkin orang tua itu adalah kepala kaum ini. Jak dapat merasakan ketenangan sebuah telaga yang menaungi wajah orang tua itu.
Sampai kapan dengung rapalan ini akan berakhir? Mereka terlihat tidak akan berhenti. Apakah ini yang mereka lakukan setiap hari? Jak melihat Ruh telah sesuai dengan irama rapalan dan goyang kepala mereka. Jak berpikir, mereka harus segera menemukan Cermin Bening itu agar mereka segera beranjak dari tempat ini. Tapi di mana, batin Jak. Dia sama sekali tidak punya petunjuk di mana letak Cermin Bening itu. Mungkin Ruh sudah mengetahuinya. Jak melihat kondisi Ruh yang sudah tidak sadar lagi dengan keberadaannya. Lelaki itu menyentak bocah itu. Rapalan Ruh terganggu. Jak berbisik di telinganya, “kau sudah tahu di mana letaknya?” Ruh mengangguk. “Kakek itu memilikinya,” kata bocah itu.
“Dia menyimpannya?” Tanya Jak.
Ruh mengangguk.
Bocah itu memusatkan perhatian ke selingkup dirinya dan merasakan, banyak celah lebar terbentuk di pondok itu. Ruh memahami orang-orang yang berkumpul ini sedang tidak berada di tempatnya. Kesadaran mereka melayang jauh entah ke mana. Bagian sebelah kanan kepalanya berdenyut, yang juga dirasakan Jak. Kerumunan itu kemudian menghentikan dengung rapalanmereka. Salah seorang yang berada di barisan paling depan berdiri dan mengumandangkan sebuah lagu. Mungkin itu panggilan untuk mendirikan ibadah, pikir Jak dan Ruh. Dan selesai kumandang, kerumunan berdiri dan melakukan semacam ritual dengan gerakan-gerakan tubuh yang Ruh dan Jak tidak pahami.