Perihal Ruh

Hizbul Ridho
Chapter #20

Labirin Ingatan

Mereka membuka pintu panti jompo lalu melangkah ke dalam kenyataan lain.

“Aku yakin barusan kita membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan, tapi ini…” kata Jak kepada Ruh dan Ayu.

“Labirin ingatan,” kata Ruh, tiba-tiba.

“Kenapa kita bisa ada di suatu labirin?” kata Ayu.

Ruh coba berpikir apakah ini ada hubungannya dengan mimpi yang dia dan Jak kunjungi bersama Abdullah Majenun. Dia teringat mimpi buruknya yang terakhir, saat dia tersesat di dunia bawah sadar yang paling dalam, sebentang lanskap melampaui konsep. Tak ada garis atau ruang atau hamparan, tak ada arah mata angin, tak ada tempat berpijak atau atap langit, tak ada ruang-waktu. Tak tergambarkan.

Namun kali ini, Ruh berpikir, mereka memasuki sesuatu yang lain. Sebuah dimensi di mana waktu berhenti pada ruang tertentu. Hamparan luas savana sejauh horizon dengan rumput berwarna nila setinggi lutut, bergoyang-goyang seperti tertiup angin yang lembut, namun mereka sendiri tidak dapat merasakan sentuhan angin di kulit. Aroma kue yang baru keluar dari oven dan daun teh kering yang direndam dengan air panas, tapi tidak terlihat beranda sore hari di sana. Langit yang jingga dan matahari yang tidak ingin tenggelam. Kotak telepon umum berdiri di tengah padang rumput nila. Keberadaannya sungguh mencolok di tengah padang rumput ini. 

Dari dalam kotak telepon itu, mereka mendengarnya, dering telepon yang memanjang, jeda sebentar sebelum berdering lagi.

“Telepon itu untuk kita?” tanya Ayu.

“Tidak ada seorang pun selain kita di sini,” kata Jak.

Mereka berjalan menyusuri padang rumput menuju kotak telepon yang terus berdering itu. Jak membuka pintunya dan benyi dering itu terdengar lebih jelas. Jak memasuki kotak itu, begitu juga Ayu dan Ruh. Mereka memampat di dalamnya.

“Kenapa semuanya harus masuk ke sini?” kata Jak. 

“Aku takut ditinggal sendirian di luar,” kata Ayu.

Ruh hanya memandangi Jak dengan wajah cemas. Dia tidak ingin tersesat lagi. Di dalam kotak itu, telepon berdering memekakkan telinga mereka. Jak kemudian mengangkatnya. Dengung halus yang panjang kemudian bunyi transmiter radio yang terputus-putus.

“Apa katanya?” kata Ayu.

“Enggak ada yang ngomong,” kata Jak.

Dia meletakkan gagang telepon itu di tempatnya semula, dan telepon itu kembali berdering. Dia kembali mengangkat gagang telepon itu.

Kali ini terdengar suara yang bising seperti orang-orang yang bercakap-cakap di kejauhan, bunyi kendaraan-kendaraan yang lalu lalang, suara klakson yang saling timpal dan bersahutan. Terdengar suara orang mendehem di baliknya.

“Halo. Halo. Siapa ini?”

“Selamat datang,” kata suara itu. Terdengar serak dan berat dan rendah. Jenis suara yang ingin kau dengar berlama-lama.

Lihat selengkapnya