Hari itu saya, Fira, dan kedua orangtua Fira duduk berempat di ruang keluarga. Saya dan Fira telah selesai mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawa ke Jakarta.
Saat PDKT dulu, Fira pernah cerita bahwa saat berusia satu tahun, Papa dan Mama Fira memutuskan untuk tidak saling mencintai lagi. Mereka bercerai. Dua tahun kemudian, mamanya pun memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berasal dari Jawa Timur. Ayah sambung Fira ini dipanggil dengan sebutan Daddy. Sedari berumur 3 tahun, Fira tinggal bersama Mama dan Daddy di Surabaya. Merekalah yang membesarkan Fira sampai dewasa. Pernikahan Mama dan Daddy ini tidak dikarunai anak, sehingga Fira dibesarkan sebagai anak tunggal.
Saya kagum kepada Fira. Meskipun berasal dari keluarga broken home, she is not a broken child. Fira selalu masuk sekolah unggulan sejak SD sampai SMA, dan masuk universitas terbaik di Surabaya. Warna kulit Fira yang putih memang menurun dari papa kandungnya, tetapi kelembutan hati dan pola pikirnya saya rasa berasal dari Daddy. Daddy Fira itu orang yang lembut, pekerja keras, jujur, dan apa adanya. Wajahnya sendiri sangat kontras dengan Fira; kulitnya sawo matang, hidungnya tidak mancung, berkumis, tapi murah senyum. Daddy ini memang hangat dan perhatian, membesarkan Fira seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan, semasa Fira kuliah, Daddy selalu mengantar-jemput karena beliau ingin memastikan Fira selalu dalam keadaan aman.
Daddy terlahir dan besar dari keluarga sederhana dari Jember. Dibandingkan dengan saudara-saudaranya, Daddy terbilang memiliki ekonomi yang lebih berkecukupan. Daddy merupakan pengusaha pupuk dan memiliki bengkel kecil dekat rumahnya. Daddy tidak merokok, tetapi dikelilingi oleh perokok, terutama di lingkungan bengkelnya. Saya juga hafal sekali kebiasaan-kebiasaan beliau. Daddy suka sekali makan makanan manis dan jeroan, kebiasaan buruk yang sulit diubahnya. Namun, beliau juga punya kebiasaan baik, yaitu selalu tidur pada awal waktu, biasanya pukul 9 malam, dan bangun tiap sepertiga malam untuk melaksanakan Tahajud.
Saat berpamitan hendak ke Jakarta, Daddy berpesan kepada kami, “Nak Gia, Nduk, kalian nanti akan tinggal bersama, bangunlah rumah tanga kalian dengan fondasi shalat berjamaah. Usahakan untuk terus melakukannya sebisa mungkin bila ada kesempatan. Khususnya shalat Shubuh, sebelum Nak Gia pergi kerja. Insya Allah, kalian akan dijauhkan dari perasaan takut kekurangan karena Allah Maha Mencukupi.” Daddy melanjutkan, “Ekonomi adalah salah satu faktor penyebab perceraian terbanyak. Susah senang harus kalian hadapi bersama.
Daddy dan Mama pernah mengalami masa-masa sulit, tapi kami hadapi bersama. Begitu pula yang Daddy harapkan dari kalian berdua. Jangan saling menyalahkan, kalian harus saling support.”
“Nah, satu lagi, kalian harus menghargai perbedaan masing-masing, seperti selera makan. Lidah India Fira sangat kental dengan makanan yang penuh rempah, minyak, dan pedas. Mungkin beda dengan Nak Gia yang senang lalapan sunda, ikan, dan lainnya. Jujur, kami berdua akan kesepian karena Fira tidak ada di rumah ini lagi. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selama kalian bahagia, kami juga bahagia,” ujar Daddy menutup wejangannya untuk kami.
Daddy melanjutkan ceritanya, “Oh iya, selama Daddy jadi ayah Fira, satu hal yang Nak Gia harus tahu sebagai suaminya. Fira ini gampang banget tertidur.” Mama Fira mengamini dan mengagguk setuju. Fira hanya tertawa mendengarnya.
“Setiap naik kendaraan, dia cepat sekali tertidur. Kalau enggak percaya, nanti kalau lagi jalan berdua, kamu hitung mundur saja, belum sampai sepuluh detik pasti dia sudah tidur. Menghitung mundur, dari angka sepuluh. Saya lalu iseng mengusap dahi Fira sambil mulai menghitung, “10 ... 9 ... 8 ... 7 ... 6 ...” Fira tertawa terbahak-bahak, “Kamu nyuruh aku tidur?”
Ketika menghitung mundur itu, saya jadi teringat ketika di Ruang Anestesi, menunggu pasien segera tertidur.
“Siapa yang kebagian Stase Anestesi?” Imam, ketua senat kami waktu kuliah dulu, berteriak mengangkat tangan kanannya, sambil sibuk menengok ke kanan dan kiri.
“Gue,” kata Lando, ketua kelas saya waktu kuliah, orang yang handyman banget sekaligus helpful. Saya pernah lihat dia membetulkan lampu proyektor, membetulkan sendi meja, sampai pernah nge-jumper aki mobil seorang teman yang mogok. Isi tasnya selalu aneh-aneh. Waktu kacamata saya bautnya kendur, tiba-tiba dia mengeluarkan obeng berdiameter kecil, lalu dengan sigap mengencangkan bautnya.
“Aku,” Indah ikut tunjuk tangan. Indah ini anak berkacamata merah muda, dan berponi yang paling kalem dan misterius. Ngomongnya irit, secukupnya. Selain itu, dia bahkan dilabeli sebagai salah satu mahasiswi cantik di kampus.
“Saya, Mam,” ujar saya sembari gabung dengan mereka bertiga.
Saya lihat seluruh teman-teman saya juga sudah berkelompok dengan stasenya masing-masing.
“Sip, komplet, nih. Udah siap semua?” tanya Imam.
“Insya Allah,” jawab saya.
“Siapa yang pernah ketemu dokter Yurike?” tiba-tiba Lando menanyakan hal yang aneh.
“Ya ... belum ada yang pernahlah,” saya menimpali.
Imam dan Indah mengangguk.
“Gue pernah, sama kakak gue waktu dia koas di sini. Umurnya dokter Yurike itu sama kaya nyokap gue, matanya tajam dan dingin, tapi skill-nya dahsyat. Kata kakak gue, dia bisa nebak dengan tepat berat pasien hanya dengan melihat pasien di tempat tidur,” jelas Lando. Kami bertiga takjub walaupun enggak tahu tingkat kebenaran ceritanya.
“Dia benci koas yang pemalas dan jalannya klemar-klemer di Ruang OK,” lanjut Lando.
“Ya, sudah, itu clue yang bagus untuk kita survive di stase pertama kita. Move!” kata Imam.
“Sebenarnya itu clue yang bagus untuk kita survive di kehidupan,” Indah menimpali sambil tersenyum.
“Lo, jarang ngomong tapi sekalinya ngomong selalu benar,” Lando ikut tersenyum.
“Oke, langsung ke ruang OK, ya. Kita temuin dokter Yurike,” Imam memimpin jalan kami.
Kami melewati lorong-lorong panjang khas rumah sakit. Di kanan dan kirinya dipenuhi taman luas berpayung pepohonan rindang. Di taman, terlihat beberapa keluarga pasien yang menggelar tikar dan makan bersama. Sungguh Indonesia sekali. Pemandangan yang sudah jarang saya jumpai di rumah sakit di Jakarta.
Angin semilir nan sejuk menyapu wajah saat kami melewati bangsal-bangsal berbentuk bangunan terpisah—yang memisahkan pasien rawat penyakit dalam, bedah, anak, dan kategori-kategori lain. Beberapa kali kami dilewati perawat yang mendorong pasien di atas brankar. Kelihatannya berasal dari IGD menuju ruang rawat masing-masing, bahkan di antara kakak kelas kami, ada juga koas yang sedang mendorong pasien.
Sampai akhirnya, kami berempat tiba di ruang operasi yang terletak di sebuah gedung. Gedung dua lantai yang terlihat modern dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya. Kami masuk ke ruang koas di lantai satu, bertemu kakak-kakak kelas kami di Stase Bedah. Begitu masuk, kami langsung bersalaman dan mengenalkan diri kepada mereka.
“Dokter Yurike sudah menunggu kalian di atas, kalian ganti baju OK, lalu naik, ya,” kata seorang kakak koas.
“Oke, Bang,” jawab Imam cepat.
Kami berlima segera mengganti pakaian, lalu naik menuju ruang operasi. Saya tidak tahu apa yang teman-teman saya rasakan, tapi kalau saya pribadi rasanya semangat sekali, sebab ini akan jadi kali pertama saya melihat ruang operasi sungguhan.
Rasanya seperti mau masuk pertama kali ke Stadion Old Trafford, kandangnya Manchester United, klub bola tercinta saya. Saya sering melihatnya di TV setiap nonton pertandingan bola, tetapi rasanya pastilah berbeda dibandingkan dengan melihat secara langsung.
Kami berempat saling melirik, “Are you ready for this?” tanya Imam.
“Ready!” Lando menjawab.
“Ready!” Indah menjawab.
“Me too,” saya ikut menjawab.
“Oke,” ucap Imam sembari membuka pintu utamanya.
Aroma ruang steril bercampur obat-obatan terendus hidung. Di hadapan kami, membentang sebuah lorong yang kedua sisinya dipenuhi ruangan-ruangan. Kami terus berjalan pelan-pelan menuju ruangan dokter Yurike.
Kami sudah kuliah kedokteran selama empat tahun. Namun, kami tak dapat berhenti takjub melihat ruang operasi yang sebesar ini. Semua petugas hilir mudik di lorong itu, dan semua pakaiannya seperti kami, berseragam ruang OK dan mengenakan masker. Semua orang hectic. Tidak ada yang bergerak tanpa tujuan, semua seperti punya tugas dan fungsi masing-masing. Saat melirik ke ruangan di kanan dan kiri kami, kami dapat melihat proses operasi yang sedang berlangsung, tabungtabung berisi darah, lampu-lampu operasi yang menyilaukan, dan tim yang sedang menggunakan baju-baju steril dilengkapi dengan meja-meja penuh alat, seperti pisau bedah, klem, pinset, dan beberapa alat lain mengelilingi pasien yang sedang dioperasi.
Ruang operasi yang pertama kami lewati sedang melakukan operasi sesar. Seorang bayi dengan tangisan pecah berhasil keluar dari perut ibunya, sedangkan di ruang operasi kedua yang kami lewati adalah ruang operasi bedah tulang. Dari luar, terdengar samar-samar suara mesin bor.
Kami berempat berjalan pelan dengan mulut menganga, melirik kanan dan kiri. Persis seperti turis yang sedang mengagumi pemandangan di tempat wisata. Sampai akhirnya, tibalah kami di ujung lorong, letak ruangan dokter Yurike berada.
Kami mengetuk pintu, “Assalaamu‘alaikum, Dokter.”
“Wa‘alaikumussalaam, ayo masuk,” terdengar suara lembut dari dalam ruangan.
Kami berempat masuk. Ruangan itu rapi sekali. Rak-rak berisi jejeran buku menempel di dinding. Tidak jauh dari rak, berdiri kokoh sebuah meja besar berikut empat kursi yang terletak di depannya. Di balik meja tersebut, saya dapat menangkap sosok dokter Yurike yang sedang duduk menghadap ke arah kami.
“Silakan duduk, Anak-Anak,” beliau menunjuk kursi-kursi di depannya. “Saya dokter Yurike, Konsulen Anestesi RSUD Garut, yang akan menjadi pembimbing kalian selama di siklus ini. Silakan, perkenalkan diri kalian.”
Wajah dokter Yurike sungguh keibuan.
“Saya Imam, Dok,” ucap Imam mendahului kami semua.
“Saya Lando,” Lando melanjutkan.
“Saya Indah.”
“Saya Gia, Dok.”
“Siapa yang kerja di Garuda? Papa atau Mama?” tanya beliau mengagetkan saya.
“Papa, Dok. Dia pilot di sana. Kok, Dokter bisa tahu?”
“Saya sudah cukup berusia untuk pernah menaiki pesawat Garuda dengan kode GIA sebelum berubah menjadi GA,” jawabnya sambil tersenyum.
Saya mengangguk-angguk mengerti.
“Siapa di antara kalian yang stase ini adalah stase pertamanya?”
Kami berempat mengangkat tangan, dokter Yurike ter
belalak. “Serius?”
Kami mengangguk bersamaan.
“Oke, tugas kalian banyak. Saya tidak mungkin menemani kalian setiap saat. Ini bisa dibilang ‘stase tanpa matahari’, seluruh operasi dari hampir seluruh bagian di rumah sakit ini adalah kerjaan kalian. Saya memiliki lima orang penata anestesi yang akan membimbing kalian. Mereka berlima adalah tangan kanan saya, terserah kalian mau ikut ritme kerja mereka atau tidak. Kalau ikut, kalian akan dapat banyak pelajaran dan skill baru untuk bekal masa depan kalian, sedangkan kalau tidak ikut, kalian bukan hanya kehilangan kesempatan sebulan, melainkan kehilangan kesempatan seumur hidup.”
“Hari ini kalian belum mulai. Cukup hafalkan alat-alat, lihat seluruh pekerjaan, dan observasi apa yang belum bisa kalian lakukan dan bagian mana yang perlu kalian latih.”
“Nah, besok kalian akan mulai menjadi penghubung saya dengan operator (dokter yang melakukan operasi), kalian juga harus melakukan persiapan pre-op, memastikan data pasien benar, memastikan kondisi pasien siap untuk dioperasi, dan memasang infus.”