2014
Hal yang kutangkap pertama kali saat melihat keluar jendela ketika landing adalah bandara ini termaksud kecil. Kami turun dari Pesawat menggunakan Pax Step. Kuikuti gerombolan orang yang turun dari pesawat ke ruang bagasi. Setelah mengambil barang di bagasi, aku akhirnya sadar kalau aku resmi tiba di Bandara Iskandar, Kota Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah. Aku tidak tahu apa pun tentang kota ini. Hanya ada satu orang yang harus kucari. Orang yang kukenal hanya berbekal foto yang dikirim mama sebelum aku chek-in di Kuala Namu. Perempuan ini menginjak kepala 5, yang kata mama adalah sahabatnya selama tinggal di Kalimantan
Sampai di gerbang kedatangan, beberapa orang berdiri sembari mengamati setiap manusia yang keluar. Sebagian langsung mengangkat papan nama, Sebagian berusaha membaca raut wajah. Beberapa kali aku terlibat kontak mata yang cukup lama pada mereka, kontak mata itu kemudian berhenti saat mereka menemukan orang yang benar-benar mereka cari. Sepertinya semua orang sudah kutatap dengan sungguh, tetapi tidak ada orang yang mirip dengan Perempuan di foto ini.
Hampir 10 menit aku berdiri mematung. Melirik ke kanan-kiri. Aku bersandar pada koperku. Pada saat aku hampir menyerah, mataku bertemu dengan sepasang mata yang memandangiku penuh selidik. Kami berpandangan cukup lama lalu dia berjalan mendekat dan bertanya, “Seloina Gelsey?” katanya setelah berusaha mengingat. “Anggrek hitam? Anak si Wulanita?” katanya lagi semakin berapi-api.
Setelah nama mama melejit dari mulut perempuan itu aku langsung yakin. “Tante Marta?”
Dia menepuk bahuku spontan. Dia lalu memeluk aku beserta tas ranselku.
“Ah. Cantiknya kau kayak mamakmu.” Logat batak langsung menjadi tanda pengenal dirinya.
Sekali lagi berusaha kulirik layar HP-ku. Banyak yang berubah dari Tante Marta. Mulai dari rambut hitamnya yang berubah menjadi pirang. Sampai rambut keritingnya berubah menjadi lurus.
“Bik Marta ajalah kau panggil aku, Nak. Gak usa tante-tante.”
“Buru-buru kali mamakmu bilang kau kesini—Gel?Sel?—Panggil apalah aku samamu?” tanyanya. “Seloi ajalah ya” jawabnya lagi saat belum sempat ku balas.
Di pintu keluar seorang laki-laki paruh baya langsung mengambil alih koperku. Bik Marta mengarahkan jalan, mungkin ke arah parkiran. Sejenak kuperhatikan sekelilingku. Tidak ada bedanya dengan kota-kota di Sumatera. Lingkungan di sekitar bandara cukup hijau meski panas matahari tidak bersahabat dengan kulit.
“Mau foto kau di situ? Anak muda banyak foto di situ aku liat,” katanya menunjuk sebuah tugu yang berada di tengah taman.
Aku menggeleng sembari tersenyum. Haruskah aku berfoto disitu?
“Yaudah. Langsung ajalah kuantar kau ke tempatmu.” Dia mengajakku masuk ke dalam mobil avanza hitam. “Tapi udah makan kau kan?”
“Udah tadi sebelum terbang, Bik."
Mobil melaju keluar dari area bandara. Aku tidak tahu berapa lama aku akan naik mobil, tapi misi pertamaku setelah mendarat di Kalimantan tengah adalah ‘Tidak Muntah’.
“Kita kemana, Bik?” tanyaku untuk sekedar menyiapkan ancang-ancang kalau perjalanan ini akan panjang atau apa.
“Kita ke Pasir Panjang, Sel. Mungkin 15 menit lagi sampai.”
Ada lega yang membuat sesak didadaku sedikit berkurang. Tapi hanya sedikit. Aku mulai merasakan ketakutan menjalar di tubuhku. Aku jauh dari orang-orang yang kukenal. Aku tidak tahu harus apa, aku tidak tahu harus mulai dari mana.
“Aku tidur aja ya, Bik,” kataku. Aku tidak nyaman. Dan rasa tidak nyaman hanya akan membuatku semakin ingin muntah. Sedikit banyaknya aku masih tidak percaya, alasan aku terbang dari Medan ke Kalimantan hanya karena seekor gajah. Sehari pun tidak akan mungkin aku lupa hal itu.
* * *
Jam 6 pagi, Bik Nam dan Pak Muns sudah selesai mandi. Aku benar-benar alergi air di jam-jam seperti ini. Sehabis aku mandi kami segera check out. Sekarang aku mulai penasaran kenapa mama sangat niat membawa aku ke Riau tanpa sepengetahuan papa.
Dari Pekan Baru kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kampar. Disana papa punya kebun sawit berhektar-hektar. Aku pernah kesana beberapa kali sewaktu SMP. Sepanjang ingatanku tentang perjalan menuju Kampar, perjalanan ini akan memakan waktu yang lama. Lamaaaa.
Hampir dua jam tidak ada suara apa pun diantara kami bertiga. Kejadian ini berubah drastis dari perjalanan Medan ke Riau kemarin.
"Pasangin radio, Pak," kataku menutupi sepi ini. Meski sebenarnya aku bisa saja pakai headset dan putar musik dari gadgetku. Dilakukan Pak Mun permintaanku dengan senang hati. Keadaan sepi lagi. Hanya si RG yang asik berbicara dari radio. Akhirnya aku memutuskan merubah posisi tidurku.
* * *
Begitu aku terbangun dari tidurku, Bik Nam langsung mengumumkan kalau sebentar lagi kami akan sampai di Kampar. Antara lega dan takut, aku membalas pernyataan Bik Nam dengan sebuah anggukan. Tanpa kusadari, berjam-jam aku setelah terbangun dari tidur sampai tertidur dan terbangun lagi, pemandangan yang disuguhi di sepanjang jalan hanyalah deretan pohon kepala sawit yang merimbuni tanaman di bawahnya. Aku tidak tahu ini sesuatu yang bagus atau tidak tapi rasanya ini aneh.
"Masi suka gajah, Gik?" Suara Bik Nam merusak perhatianku yang terfokus pada deretan rumah warga.
"Hah? Apa bik?"