Tapak 2
Aku terbangun setelah mendengar suara berisik. Begitu aku sadar, kuyakinkan lagi bahwa aku benar-benar ada di Kalimantan tanpa Bik Nam dan Pak Mun. Kurasakan badanku remuk. Aku tidur di ruang TV hanya beralaskan tikar dan selembar selimut. Kurapikan rambutku sejenak, melipat selimut, mengangkatnya ke kamar tidur Bunda lalu meletakkan selimutku di kasur. Bunda tidur bersama satu cucunya yang sudah kelas 4 SD.
Aku berjalan ke dapur, ke asal suara berisik tadi. Bunda sedang berkutat di depan kompor gas. Aku duduk di meja makannya. Spontan ingatanku melayang pada Bik Nam. Ruangan ini memang sangat sempit dibandingkan ruangan dapurku tapi posisi ini persis seperti yang kulakukan setiap sore.
“Nyenyak, Rati?” tanyanya tanpa menoleh.
Aku hanya diam. Bunda terus saja menyebut nama Rati sejak kemarin.
“Seloina, Bun. Bukan Rati.” Aku memperjelas dari meja makan. Dia menoleh. Rambut hitam legamnya yang terurai seperti sedang menari di punggungnya. “Bunda kebiasaan panggil kamu Rati, Nak. Bunda ingatnya nama kamu itu Pandurati.” Dia tersenyum.
Aku tersenyum kaku. Bunda bercerita seakan aku sudah tinggal bersamanya dalam kurun waktu yang lama. Kembali kupandangi pemandangan yang membuatku merindu ini.
“Kamu pandai masak?” tanya Bunda sembari membawa sepiring tempe sambal merah ke hadapanku. Aku terdiam memandangi Bunda. Menggeleng pelan sekali.
“Yaudah mandi dulu, baru kita makan bareng.
Sehari sebelum aku datang kesini, mama becerita tentang hal yang akan kulakukan di Kalimantan. Aku akan menjaga orang utan di sini. Selama hidupku, aku belum pernah melihat orang utan langsung. Bisa dibilang untuk membahas orang utan pun aku tidak pernah. Aku belum tahu pasti wujud orang utan di sini. Aku juga belum membahasnya dengan Bunda.
Setelah selesai makan, Iko, cucu Bunda pergi sekolah di Pangkalan Bun. Sedangkan Bunda sudah siap-siap untuk kerja. Beberapa menit dipercakapan kami, Bunda bercerita tentang pekerjaannya. Dia bekerja di satu Organisasi Internasional dalam menangani orang utan yang dirawat dan direhabilitasi. Bunda bekerja sebagai kordinator babysitter orangutan. Ketika dia bercerita ada binar-binar yang kutangkap. Bunda pasti sangat cinta tempat ini.
Bunda sudah selesai dengan pakaian kerjanya. Dipakainya topinya padahal matahari masih jauh di timur. Dia masih memakai baju kaus dan celana jeans. Katanya dia akan ganti baju di tempat kerja. Dia juga memakai sepatu boot. Yang terlintas dikepalaku saat melihat bunda adalah kami akan melewati beberapa lembah kematian dan gunung kesengsaraan.
Bertolak belakang dengan Bunda. Kugerai rambutku, kupakai baju lengan panjang dan celana training lebih karena takut hitam dan kakiku beralaskan sendal jepit. Bunda tidak meninggalkan komentar, jadi kuanggap ini normal.
Menunggu Bunda mengunci pintu, aku duduk di kursi bambu. Baru pagi ini aku bisa mengamati rumah dan lingkungan ini dengan cukup jelas. Rumah Bunda terletak di pinggir jalan berbatu. Jalan ke kanan menuju tempat kerja Bunda dan jalan ke kiri menuju desa Pasir Panjang.
Tiba-tiba dari tas selempangku terdengar bunyi nada dering handphone ku, kurogoh isinya. Jantungku seperti diremas pelan.
“Bentar, Bun. Ditelepon papa,” kataku sebelum mengangkat telefon. Bunda lalu mengangguk-angguk dan berjalan ke pekarangan.
“Halo?” kata papa begitu kujawab panggilan itu.
“Iya, Pa?” Aku tidak sanggup mengucapkan kalau aku rindu papa saat setengah dari logikaku juga marah padanya.
“Kenapa kamu gak bilang pergi ke Kalimantan?” Suara beratnya meninggi.
“Kenapa papa gak cerita perkara sawit papa?,” kataku sinis.
Lama dia terdiam lalu kudengar suara helaan nafasnya yang begitu panjang. Hatiku kembali dikacaukan dengan marah yang terus berubah-ubah wujud menjadi rindu dan kini rasa bersalah. Hatiku kecut mengetahui akulah penyebab helaan nafas dan penat papa.
“Papa di Medan dan harus makan sendiri,” katanya dalam nada datar.
“Aku juga tiap hari gitu, Pa,” balasku hendak mengumumkan aku lebih lama hidup seperti itu.
“Papa rindu Gelsey, anak yang setiap makan ayam selalu habis sampai tulang-tulangnya.”
Pipiku berubah panas, kutarik nafasku panjang, sialnya itu sama sekali tidak berguna. Kerongkonganku memberat, semakin kucoba menarik nafas semakin air mataku bercucuran. Aku seketika merasa berdosa. Hari ini, pertama kalinya kudengar papa mengeluh.
“Papa kasi kamu waktu beberapa hari di situ. setelah itu kamu balik ke Medan. Papa tahu kamu gak akan betah.”
“Iya, Pa.
Setelah aku selesai, kugenapi isak tangisku yang sempat kuredam. Papa benar, aku merasa terjebak di sini. Papa juga benar, aku mungkin tidak akan pernah betah di sini. Tetapi tetap, ada sesuatu yang memaku kakiku di tempat ini. Janji, penebusan, dan pengharapan.
Bunda telah berdiri di depanku. Kuseka air mataku kemudian kutegakkan bahuku, aku berusaha tersenyum padanya. Dia memandangku dengan pandangan teduh, sangat bertolak belakang dengan isi kepalaku yang gaduh. Dalam keteduhan itu pula dibawanya aku ke dalam pelukannya. Dia tidak berbicara, hanya menepuk pelan bahuku.
Bunda mengajakku pergi seperti rencana sebelumnya. Tidak ada yang mencoba membuka pembicaraan, baik aku atau pun Bunda. 15 menit waktu yang kami tempuh dengan jalan kaki untuk sampai pada satu gerbang yang di atasnya tertulis. ‘WELCOME’. Di kanan gerbang itu berdiri papan informasi yang isinya belum sempat kubaca. Begitu kami sampai, penjaga gerbang langsung menyambut kami dengan sebuah anggukan.